Bung Hatta dan Pancasila

Bagikan artikel ini

Bagus Taruno Legowo

Pancasila terdiri dari 5 sila, atau sebenarnya boleh juga disebut dengan, kata seorang teman, pentasila, karena penta pun berarti 5. Tetapi tentu ini hanya untuk sekedar wacana verbal non-formal. Mengapa begitu? Karena penta adalah bahasa Yunani, untuk menyebut angka lima atau sebuah bidang geometris bersudut lima. Sementara itu sila adalah bahasa sansekerta. Jadi tidak klop. Akan konsisten kalau tetap disebut Panca, meskipun searti dengan penta.

Lima sila Pancasila pada dasarnya tidak boleh dipahami secara terpisah-pisah atau sendiri-sendiri, sebab makna dari sila-sila itu akan menjadi bias dan justru akan menghilangkan makna sesungguhnya.

Saya teringat dengan komen atau pernyataan Bung Hatta tentang Pancasila. Beliau mengatakan bahwa Pancasila itu seperti bilangan 10000. Sebuah bilangan yang terdiri dari 5 digit angka 1 dan 0, yang terangkai sehingga mempunyai nilai, yakni 10000. Tetapi, lanjut Bung Hatta, kalau angka 1 dihilangkan, sehingga tinggal 0000, angka ini menjadi deretan angka nol, yang tidak ada artinya. Apabila deretan angka nol ini ditambah lagi dengan 0 berapa pun banyaknya, tidak akan ada artinya lagi.

Yang dimaksud angka 1 oleh Bung Hatta, adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa. Dan sila kedua hingga kelima adalah angka 0 itu. Dalam pemahaman Bung Hatta seperti ini, memahami sila kedua hingga kelima tanpa memahami sila pertama, maka akan kehilangan makna sejatinya.

Sila kedua Pancasila point pentingnya adalah tentang manusia, kemanusiaan dan makna menjadi manusia, serta hak-hak dan kewajiban azasi manusia. Sila ketiga Pancasila point pentingnya adalah tentang kesatuan, persatuan, dan relasi (yang mutualistik) antara manusia dan alam (di persada nusantara). Sila keempat Pancasila point pentingnya adalah tentang proses demokrasi (kerakyatan), hikmah, kebenaran, dan musyawarah. Sila kelima Pancasila point pentingnya adalah keadilan, keseimbangan, dan kesetaraan, baik secara politik, sosial, ekonomi, maupun hukum.

Kalau kita mencermati point-point penting dari sila kedua hingga kelima dari Pancasila, kita akan melihat itu sebagai sesuatu yang amat indah, dan merupakan isyu-isyu penting dunia. Orang tidak bisa membantah hal ini.

Kita pun bisa melompat untuk langsung masuk ke materi-materi dari point-point penting dalam sila-sila Pancasila itu. Tetapi dalam perspektif Bung Hatta, hal semacam ini justru akan menghilangkan makna sejatinya atau kita akan menuju pada kehampaan apabila kita tidak memahami sila pertama Pancasila.

Dalam perspektif Bung Hatta ini, banyak orang yang berpandangan bahwa Pancasila adalah kumpulan nilai-nilai yang tidak jelas, menjadi terbantahkan. Bahkan pandangan yang menyatakan bahwa sila pertama dianggap sebagai membawa-bawa Tuhan dalam negara, sesuatu yang dianggap tidak singkron, juga merupakan pernyataan yang amat naif dan nampak tidak mengerti.

Bung Hatta jelas mengatakan bahwa yang utama dari Pancasila adalah sila pertama, karena justru dengan sila pertama itu, sila-sila yang lain mendapatkan makna-makna sejatinya. Mengapa demikian?

Coba Anda perhatikan bunyi sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa. Mengapa tidak ditulis dengan Tuhan Yang Mahaesa? Sila pertama Pancasila ini banyak disalah-pahami atau dipahami secara simplistik. Ada yang mengatakan dengan sila pertama itu memberikan petunjuk tentang bentuk pengakuan bangsa Indonesia kepada Tuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa sila pertama itu merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama (religius) dan bertuhan.

Yang skeptis, mengatakan sebaliknya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang ambigu, tidak jelas, karena memasukkan sesuatu yang gak jelas dalam konteks negara. Bahkan menganjurkan agar Indonesia mestinya harus tegas untuk memisahkan soal Tuhan dan negara atau agama dan negara. Artinya Indonesia harus menganut sekularisme dan Indonesia harus menjadi negara sekuler kalau ingin maju atau ingin lebih sejahtera karena sebuah survey menunjukkan negara yang menganut sekularisme ternyata lebih sejahtera!
Apakah benar harus demikian?

Dalam perspektif Bung Hatta tentu saja jelas salah.

Kembali ke bunyi sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa yang tidak ditulis dengan Tuhan Yang Mahaesa. Sepatutnya kita bertanya apa arti Ketuhanan Yang Mahaesa itu.

Ketuhanan memiliki akar kata Tuhan. Kita bisa berdebat dengan kata Tuhan ini dari mana asalnya, tetapi bukan disini tempatnya berdebat soal itu. Kita perlu sepakati bahwa yang dimaksud dengan Tuhan adalah Supreme Power yang menguasai hidup, membuat hidup, dan menciptakan hidup. Lalu apa makna Ketuhanan, yakni kata Tuhan yang diberi imbuhan ke – an, sehingga membentuk Ketuhanan? Sebenarnya kita mudah sekali memahami makna kata ini, yakni hal-hal yang terkait dengan Tuhan. Sama dengan apabila Anda tahu kata biasa yang kemudian diberi imbuhan ke-an, maka menjadi kata baru kebiasaan yang berarti hal-hal yang biasa, sesuatu yang sudah maklum, diketahui oleh semua, dan karenanya orang mafhum.

Nah, ketuhanan adalah hal-hal yang terkait dengan Tuhan. Apa itu? Yaitu Nama-nama, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan (Af’al) Tuhan, yang bersifat manunggal. Artinya antara nama, sifat dan perbuatan adalah satu. Apabila Tuhan memiliki nama Yang Mahaadil (AlAdl), maka sifat dan perbuatannya juga Mahaadil. Tidak mungkin (mustahil) bagi Tuhan, namanya Mahaadil, sifat dan perbuatannya tidak Mahaadil. Kita tahu bahwa Tuhan itu adalah Mahapemberi rejeki (Ar Razak), Mahapengasih-penyayang (ArRahman-ArRahim), Mahakuasa (Al Qowiyu), Maha menghakimi (Al Hukm), dan banyak lagi yang lain.

Jadi kalau kita cermati betul, perumus Pancasila itu sungguh amat arif, cerdas dan brilyan. Pancasila tidak menyebut Tuhan tetapi Ketuhanan, yakni Nama-nama, Sifat-sifat, dan Perbuatan-perbuatan Tuhan. Karena tidak menyebut Tuhan, maka kita terhindar dari berdebatan ini Tuhan siapa, itu Tuhan siapa. Tetapi kita membicarakan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan semua agama mengajarkan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan ini, dan yang menjadi lebih indah adalah bahwa Nama-nama atau Sifat-sifat Tuhan yang ada atau diajarkan di semua agama yang ada memiliki makna atau arti yang sama.

Bermula dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan itulah kita mendapatkan makna-makna derivatif (turunan) sebagaimana kita bisa peroleh di dalam sila-sila Pancasila itu. Artinya sila pertama Pancasila adalah nilai sumber, atau paradigma dimana makna-makna derivatifnya berakar. Itulah sebabnya Bung Hatta berkata bahwa sila kedua hingga kelima akan kehilangan maknanya apabila tidak berakar pada sila pertama.

Demikian pula dengan perspektif Bung Hatta ini, kita pun bisa memahami mengapa dalam Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 ditulis Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Mahaesa. Ayat ini bukanlah sebuah pernyataan simplistik yang menyatakan bahwa negara melindungi semua agama. Itu sudah dengan sendirinya. Makna yang benar adalah bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang mengemban esensi yang terkandung di dalam Ketuhanan (Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan) itu. Satu contoh, Tuhan adalah Mahapemberi rejeki, yang membawa kita pada pengertian yang mudah sekali dipahami mengapa sebuah negara harus mengatur atau mengelola aspek-aspek ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya, dan tidak melepas bebas seperti halnya ekonomi liberal.

Dalam perspektif ini pula kita bisa membuat daftar deretan Nama-nama Tuhan yang harusnya diemban oleh negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya negara harusnya mengemban esensi-esesni ketuhanan ini. Jadi, dalam hal ini Bung Hatta sangat brilyan dalam menjelaskan makna di balik Pancasila. Dan itulah sesungguhnya Indonesia dengan Pancasilanya. Mengapa ya masih banyak orang yang meributkan Pancasila bahkan ingin menggantinya? Pancasilanya yang salah atau orangnya yang tidak mengerti hakekat Pancasila?

Bagaimana menurut Anda?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com