Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (1)

Bagikan artikel ini

Pasca Perang Dunia (PD) I, PD II, Perang Salib, Perang Candu, Perang Dingin (Cold War), dll kelak bakal terjadi perang-perang besar lainnya. Entah ujudnya perang apa. Mungkin perang mata uang (currency war) —- meskipun kini sebenarnya ia kerap dijadikan modus oleh Barat guna melemahkan ekonomi negara-negara target. Atau barangkali peperangan sumberdaya alam (SDA), perang geopolitik, dan lain-lain. Atau, jangan-jangan malah kembali lagi ke friksi militer secara terbuka semacam PD I dan PD II tempo doeloe? Nah, tulisan tak ilmiah ini mencoba mengurai benang merahnya.

Tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten di bidangnya, kecuali sekedar sharing pemahaman terkait tindak-tanduk geopolitik (geostrategi dan geoekonomi) di Jalur Sutera dari masa ke masa. Bila ada silang pendapat baik kalimat, terminologi maupun isi (substansi) paragraf yang tidak cocok entah arti, maksud dan makna, anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam. Tulisan ini hanya garis-garis besar saja. Sesuai judul di atas, uraian sederhana ini sebatas bacaan secara out of the box tentang hal-hal yang sudah, sedang dan akan terjadi di Jalur Sutera — tentunya berbasis geopolitik, perspektif tulisan ini.

Jalur Sutera

Prolog dimulai dari “skema kuno” yang akan, sedang dan terus diperebutkan oleh para adidaya dunia. Itulah The Silk Road atau Jalur Sutera yang merupakan rute ekonomi, budaya dan jalur militer dunia semenjak abad ke 2 hingga sekarang, kendati keberadaannya kini seperti ‘dirahasiakan’.

Meski sebelumnya ia cuma jalur perdagangan biasa yang menghubungkan antara Cina Utara dan Cina Selatan, namun seiring berjalannya sang waktu, geliat ekonomi, sosial budaya dan terutama dinamika politik — manfaatnya kian meluas menjadi sebuah jalur antarnegara bahkan lintas benua. Sekali lagi, itulah Jalur Sutera. Istilah atau sebutan jalur tersebut baru diperkenalkan kali pertama oleh Geografer Jerman, Ferdinand von Richthofen sekitar abad ke-19 karena merujuk nama komoditas unggulan yang diperdagangkan kala itu yakni KAIN SUTERA dari Cina.

Di internal Cina sendiri, ia berujung di Changan atau Xian, ibukota kerajaan. Ke arah barat melewati koridor Gansu, menuju Dun-huang di sisi Gurun Taklimakan. Jalur Utara mulai dari Dun-huang dan Yu-men Guan, menyeberangi Gurun Gobi menuju Hami (Kumul), lalu menyisir kaki Tian-shan di bagian utara Taklimakan. Setelah Oasis Turfan, menuju Urumqi dan Lembah Fergana untuk masuk Eropa hingga Laut Mati. Jalur ini bercabang di Turfan, ke Oasis Kucha, menuju Kashgar di kaki Pamirs.

Jalur Selatan mulai Dun-huang, melewati Yang Guan, menyusuri sisi selatan Taklimakan, melalui Miran, Hetian (Khotan) dan Shache (Yarkand), menuju utara lalu menuju Kashgar. Masih ada beberapa cabang jalur, salah satunya bercabang dari Jalur Selatan menuju sisi timur Gurun Taklimakan ke kota Loulan, bergabung dengan Jalur Utara di Korla. Dari Kashgar simpang lalu lintas Asia, ada jalur menyeberangi Pamirs menuju Samarkand dan menuju ke Laut Kaspia; atau jalur ke selatan melewati Karakorum menuju India; dan sebuah jalur lain menuju Kuqa, menyeberangi Tian-shan, menuju Laut Kaspia melalui Tashkent.

Ia terhampar sekitar 7000-an kilometer mulai dari Cina, Timur Tengah, Asia Tengah sampai Eropa dan melintas Afrika Utara. Terdiri atas banyak cabang, namun secara garis besar ada tiga (cabang) jalur di utara, tengah dan selatan : (1) Jalur Utara misalnya, menghubungkan antara Cina – Eropa hingga Laut Mati melalui Urumqi dan Lembah Fergana; (2) Jalur Tengah meliputi  Cina – Eropa hingga tepian Laut Mediterania, melalui Dun-huang, Kocha, Kashgar, menuju Persia/Iraq; (3) Jalur Selatan terdiri atas Cina – Afghanistan, Iran dan India melalui Dun-huang dan Khotan menuju Bachtra dan Kashmir. Inilah rute permulaan Jalur Sutera sebelum akhirnya ia mengglobal.

Bahkan Jalur Sutera (khusus perairan) kini diklaim melewati perairan Cina, Selat Malaka, Lautan India, Teluk Aden, lanjut masuk ke Laut Mediterania via Laut Merah – Terusan Suez, dll. Konsekuensi logis yang timbul atas meluasnya kawasan tersebut hingga lewat perairan ialah semakin beragamnya komoditas barang dan jasa seperti emas, minyak, rempah-rempah, besi, gading, tanaman, jasa keamanan, angkutan dan lain-lain.

Menurut David Rockefeller, jalur itu membentang antara Maroko (ujung Afrika Utara) hingga perbatasan Cina dan Rusia. Bung Karno (BK) dahulu menyebutnya sebagai “Garis Hidup Imperialisme,” dimana pernah ia gelorakan di Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Inilah cuplikan pidatonya:

“Saudara-saudara, betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang  mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.” Sekali lagi, itulah nama lain Jalur Sutera.

Sedangkan asumsi Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, jalur legenda ini membujur antara perbatasan Rusia dan Cina – via UTARA melalui Kirgistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, SYRIA, Turki dan selanjutnya ke Eropa; sedang via SELATAN membentang di antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, SYRIA, Mesir dan berlanjut ke negara-negara Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah kedua Jalur Sutera baik utara dan selatan adalah SYRIA.

Selanjutnya jalur (tambahan atau pengembangan) di perairan meliputi atas Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, Laut Merah, dan Laut Mediterania, dst sebagaimana dijelaskan di atas. Dugaan penulis, perairan Indonesia masuk dalam penggalan jalur legenda ini karena letak geoposisi silang Indonesia di antara dua samudera dan dua benua.

Keuniqan jalur ini, selain rute ekonomi, budaya dan militer lintas benua — bahwa hampir semua negara di kawasan ini adalah penghasil emas, nikel, minyak dan gas (migas) dan jenis tambang lainnya, juga ia dianggap sebagai “garis batas” antara Dunia Barat yang cenderung material, hedonis, individual, dsb dengan Dunia Timur yang lebih condong pada batin, spiritual, gotong royong, dll. Tak dapat dipungkiri bersama, inilah ‘jalur basah’ incaran negeri-negeri Barat, poros kapitalisme global. Dan tampaknya, ini pula yang dianggap “skema kuno” yang disembunyikan oleh para adidaya.

Sekilas PD I (1914-1918)

Meski fakta empirik PD I berlokasi serta terpusat di beberapa negara Eropa (peristiwa skala regional), namun karena faktor jajahan Eropa itu ada di hampir seluruh penjuru dunia, maka peperangan tersebut layak disebut Perang Dunia.

Menyingkat paparan, tanpa mengabaikan urgensi breakdown perihal apa penyebab, siapa pemicu dan bagaimana proses PD itu sendiri, sekurang-kurangnya ada empat efek akibat perang tersebut, antara lain:

Pertama, kehancuran sistem ekonomi, politik dan industri. Inilah kelumpuhan kaum monarki di Eropa sebab pilar-pilar penyangga kekuasaannya jatuh berkeping-keping; kedua, revolusi kelompok Yahudi Rusia yang berideologi komunisme; ketiga, lahirnya fasisme di Jerman, Italia dan Jepang; dan keempat, muncul benih-benih kebangkitan Pan Islamisme di kelompok negara Islam di Jalur Sutera.

Kendati pada catatan ini, jujur saya kurang sependapat dengan terminologi ‘Islamisme’ sebagaimana Barat mengistilahkan, kenapa? Oleh karena Islam adalah agama (langit), bukan ideologi atau isme-isme (aliran) hasil olah pikir manusia yang lahir dan tumbuh di bumi. Islam itu milik Tuhan bukan semacam ideologi (bikinan manusia). Tapi perdebatkan tentang hal ini kita tunda dahulu. Lain waktu dibahas.

Bahwa akibat PD I selain mengubah peran —masa keemasan— kemonarkian Eropa menuju/ ke kapitalisme, komunisme, fasisme serta Islamisme. Berganti peran. Juga perlu dipahami bersama, sebelum PD I hampir seluruh dunia dalam cengkeraman kolonialisme Eropa. Meletusnya PD I ialah titik mula kelahiran kekuatan-kekuatan baru di luar Eropa itu sendiri, dan kelak mengambilalih peran lebih besar pada gerak laju geopolitik selanjutnya. Siapa kekuatan-kekuatan baru di luar Eropa pasca PD I?

Bersambung ke 2 ..

Jalur Sutera yang membatasi antara Dunia Barat dan Dunia Timur

Jalur Sutera yang membatasi antara Dunia Barat dan Dunia Timur

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com