Cakil

Bagikan artikel ini

Hermawan Aksan

PEJABAT kita rupanya suka membuat istilah. “Cicak” dan “buaya”, yang dicetuskan Komjen Susno Duadji dan diduga digunakan untuk menggambarkan kekuatan KPK di satu pihak dan Polri di pihak lain, sudah mulai surut. Kini, dalam rentang hanya sepuluh hari dan dalam kasus yang berbeda, seorang pejabat dan mantan pejabat sama-sama melemparkan istilah “cakil”.

Pada 19 November lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji, setelah mendapat arahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta agar istilah “markus”, yang setidaknya sebulan belakangan dipakai sebagai akronim dari “makelar kasus”, jangan dipakai lagi. Alasannya, Markus adalah nama besar dalam kitab suci. Maka SBY pun mengusulkan istilah “cakas”, akronim dari “calo kasus”.

Namun Hendarman rupanya kreatif juga. Karena menganggap istilah “cakas” sulit diucapkan, Hendarman membuat istilah sendiri yang dinilainya lebih mudah. Ia menyebut para calo kasus dengan “cakil” alias “calo keliling”.

Sepuluh hari kemudian, mantan ketua MPR Amien Rais menyuarakan perlunya penonaktifan Boediono sebagai wakil presiden dan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan. Keduanya, kata Amien, diindikasi sebagai pengambil kebijakan yang bertanggung jawab atas pengucuran dana talangan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun yang diduga tak memiliki dasar hukum. Menurut Amien, Boediono dan Sri Mulyani harus menunjukkan jiwa kenegarawanan dan menunjukkan seorang ksatria, bukan “buto cakil”.

Meskipun menyebut dalam kasus yang berbeda, baik Hendarman maupun Amien Rais merujuk pada sosok yang sama: raksasa Cakil dalam pewayangan.

Cakil merupakan tokoh asli kreativitas Indonesia (khususnya Jawa), tak ada dalam Mahabarata versi India, seperti juga punakawan (Semar dan anak-anaknya). Cakil sebenarnya bukan nama, melainkan sebutan untuk raksasa yang berwajah dengan gigi taring panjang di bibir bawah hingga melewati bibir atas. Ia bisa diberi nama apa saja oleh dalang, kadang bernama Ditya Gendirpenjalin, kadang Gendringcaluring, Klanthangmimis, Kalapraceka, dan bahkan ada dalang yang menamainya Ditya Kala Plenthong.

Dalam pewayangan, Cakil bersuara kecil, melengking, dengan gaya bicara cepat. Meski yang diajak berbicara berhadap-hadapan, ia seperti bicara dengan orang di kejauhan. Cakil dipersonifikasi bukan hanya jelek wajahnya, tetapi juga perilakunya. Sebagai penjaga hutan dalam wacana pewayangan, Cakil selalu dikenal sebagai tokoh serakah, suka merampas harta orang. Biasanya ia muncul untuk berhadapan dengan ksatria (yang paling sering Arjuna dan Abimanyu) dan selalu mati oleh kerisnya sendiri.

Hendarman secara tidak langsung mengakui bahwa Cakil ada di mana-mana. Cakil, kata Hendarman, bisa masuk melalui istri, anak, cucu, ataupun mantu. Stratanya mulai dari level terendah sampai level kelas atas. Sementara itu, secara tidak langsung juga Amien Rais menilai, jika Boediono dan Sri Mulyani tidak mundur dari jabatannya sekarang, keduanya adalah Cakil.

Jangan-jangan negeri ini memang negeri para Cakil. Kalau benar begitu, memang perlu perombakan yang radikal di banyak lembaga, bukan cuma mencopot Abdul Hakim Ritonga dan Susno Duadji. (*)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com