Dahsyatnya Peradaban Nusantara

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute

Masih ingatkah kita akan sejarah Peradaban Wangsa Keling yang konon menguasai hampir 2/3 penjuru dunia? Wilayah kekuasaannya terbentang mulai dari benua Amerika (Suku Indian), Amerika Latin, Mesir, India, Hawai hingga ujung Lautan Teduh (kutub utara) yang dikemudian hari di era kejayaan Medang Kamulyan/Kamulan mereka ini disebut sebagai Sansekerta atau Wangsa Kerta atau 4 (empat) Bangsa besar penghuni nusantara.

Kalau menengok ke kata Keling maka identik dengan manusianya yang “kuat”, dalam artian kuat baik secara fisik maupun mata batiniah. Keling sendiri artinya ya kuat yang digambarkan bahwa tiap-tiap diri manusia nusantara zaman itu seolah-olah seperti Nabi Musa As, bisa menjembatani urusan langit dan bumi. Mereka (Keling) bisa bicara dengan Tuhannya!!!

Konon karena saking saktinya hingga kalau kita ziarah/anjang-sana ke tiap-tiap suku di hampir pelosok bumi ini selalu mendapatkan tokoh yang dimaksud yang terukir dalam berbagai bahasa “Sanepo/Kiasan” atau Candi/Sandi yang ada dan melekat dalam masyarakat sekitarnya.

Ada yang diwujudkan sebagai sosok dewa Wisnu, Brahmana, Siwa ataupun sosok Budha, ataupun sosok Khong ataupun Siang Te (Siang Di atau Sandi) yang merupakan ujud utusan dari langit (Thian atau Tuhan). Konon di masyarakat China sendiri sosok Khong ini mulai luntur pada era dinasti Song (980 – 1230) dan konon arti Tian atau Thian atau Tuhan sudah melebar kemana-mana dan puncaknya pada dinasti Qing, sebutan Siang Te dilarang diseluruh upacara keagamaan.

Wisnu misalnya, dalam ujud aslinya beliau dianggap sebagai dewa dengan menggunakan kencana (kendaraan) berupa burung raksasa yang dalam artian Islam dinamakan sebagai Buroq. Maksudnya bahwa orang-orang nusantara saat itu sudah biasa lepas raga alias raga suksma guna menuju alam nirwarna (Sidratul Muntaha) guna bercengkerama dengan Tuhannya ataupun menuju alam kayangan (alam malakut/malaikat) guna menanyakan sesuatu hal urusan atau persoalan manusia.

Ilmu terbang waktu zaman Keling merupakan hal yang lumrah dimiliki oleh tiap-tiap warga masyarakatnya dan merupakan ilmu wajib yang harus diselesaikan sebelum mereka menginjak dewasa (Memayu Hayuning Bumi) agar nantinya selaras antara tindakan (perilaku), pikiran dan hati serta selaras dengan alam semesta ini.

Begitu juga penggambaran masyarakatnya dalam ujud sebagai Siwa maupun Brahmana yang tugas utamanya adalah menyelesaikan urusan masalah di bumi (khalifah), mereka sebagian besar hidupnya membantu memecahkan masalah, mencari solusi terbaik untuk rakyatnya tanpa pandang bulu ras, suku maupun agama yang mereka anut.

Makanya disetiap negeri yang mereka datangi, para Wangsa keeling ini selalui diingat dan “DIRUPA” dalam bentuk sebuah Candi, Batu, Relief ataupun ujud Patung berikut sifat-sifat-nya.

Karena itulah tak mengherankan kalau kita melihat berbagai Local Wisdom yang ada dihampir seluruh penjuru dunia ini semuanya mengerucut ke bumi Nusantara ini.

Adalah sebuah bentuk penyesatan (deception) tatkala pihak luar atau penjajah yang masuk nusantara ini tiba-tiba begitu gencarnya memposisikan keturunan nusantara ini sebagai bangsa yang “Belum” mengenal Tuhannya, hidup terbelakang sebagai bangsa bar-bar atau pemakan manusia, penyembah animisme hingga akhirnya muncul agama baru yang datang sebagai penetrasi nusantara seperti Hindu, Budha, Konghucu, Islam ataupun Kristen. Baik datang lewat peperangan, perkawinan, perbudakan, penjajahan ataupun lewat jalur perniagaan.

Apapun itu, bukti-bukti otentik yang berbentuk “SANEPO/Kiasan” nusantara seperti di atas tampaknya tak perlu diragukan lagi keasliannya.

Benang merah dari tiap-tiap local wisdom/kebijakan setempat sejatinya justru semakin mempererat tali silaturahmi kenusantaraan kita, negeri dengan ribuan budaya, adat istiadat dan tradisi yang semakin menegaskan akan luasnya khasanah keilmuwan yang doeloe pernah dimiliki rakyat penghuni nusantara ini.

Adapun kalau ada yang menyebutkan bahwa nenek moyang kita dulunya seorang hinduism atau berfaham hindu ataupun budhaism (berfaham/aliran budha) ya tak apalah, sah-sah saja karena itulah kenyataannya bahwa sifat-sifat yang melekat pada diri manusia Keling nusantara doeloe itu tak lain memang laksana (seperti) dewa-dewa langit, menjembatani urusan dunia dan akherat, jembatan pembawa risalah bagi kaum yang miskin ilmu ataupun miskin wawasan, sumber dari segala sumber permintaan tanpa imbalan.

Sebutan nama-nama itu memang sesuai kultur (budaya) masyarakatnya.

Apapun nama dibalik itu semuanya pasti akan kembali kepada inti ajaran Ketauhidan atau Peng-ESA-an Allah, Tuhan seluruh alam semesta ini yang doeloe pernah diajarkan oleh bapak Nabi Adam As kepada keturunannya Nabi Sis (Semar) As agar nantinya bisa kembali lagi kepada Tuhannya, sama seperti Nabi Adam tatkala terusir dari kenikmatan surga maka yang pertama kali diminta sebelum turun ke bumi ini tiada lain adalah Kalimat-Nya, Kalimat Tauhid.

Intisari pengajaran Tauhid di era Wangsa Keling menitikberatkan kepada totalitas kepasrahan kepada Tuhannya agar manusia benar-benar tunduk patuh kepada Yang Maha Pencipta (Aslama) sehingga selamatlah dia (ISLAM). Pokok-pokok ajaran Islam itu sejatinya bukan Ideologi melainkan Agama. Kalau ideologi merupakan hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya, sedangkan Islam ialah “tuntunan” hidup manusia menurut petunjuk-Nya atau dalam bahasa arab disebut Mir-Robbihiim atau dari Tuhannya.

Pertanyaannya adalah bukankah yang pertama kali diharapkan oleh manusia adalah mendapatkan SALAM dari Tuhan-Nya agar ia selamat adanya?

Saudaraku semua, jawabannya sederhana yaitu SALAMAH atau ISLAM. Salamah artinya pasrah, dan yang kedua Islam artinya Selamat. Sederhana ’kan?

Ya, bahwa setiap jiwa dipermukaan bumi ini dari mulai kucing, gajah, kadal dan sebagainya (binatang) sampai dengan yang disebut manusia. Mulai dari yang tak beragama (tidak mengenal Tuhannya) hingga orang-orang yang mengerti tentang agama (Budha, Hindu, Kristen, Islam dst) maka sesungguhnya yang pertama kali diharapkan oleh mereka yang ber-JIWA ialah ke-SELAMAT-an (Islam)!

Kepingin selamat itu merupakan sifat dasar setiap mahluk hidup dipermukaan bumi ini.

Walaupun nanti dalam prakteknya memang manusia cenderung ingkar (menyalahi janji) kepada Tuhannya dengan mencari-cari kebenaran semu atau benar menurut hawa nafsunya sendiri atau kalau dalam bahasa arabnya disebut “Mindzaalika” yang artinya demikian itu, semau gue.

Maka jelaslah disini — bahwa Islam itu milik Tuhan, bukan milik siapa-siapa. Dalam bahasa Arabnya “Innaa ddiien naa Indaallah hil Islam” (Yang artinya: Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah adalah Islam).

Islam itu artinya SELAMAT.

Selamat dalam artian minta keselamatan baik di dunia maupun di akherat kelak dan terhindar dari siksa api neraka. Neraka akherat adalah urusan Tuhan saya sedang neraka dunia kalau bukan kita yang menanganinya lantas siapa lagi? Makanya masyarakat Keling saat itu kehidupannya sangat makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.

Adalah aneh apabila ada sebagian manusia bahkan bangsa atau sebuah negeri yang justru lebih memilih masuk neraka (dunia) dan akherat kelak. Tapi sudah menjadi kodrat manusia bahwasanya manusia ini sukanya nyasar-nyasar atau mencari jalan pintas guna meraih gemerlapnya dunia tanpa perlu usaha atau istilahnya kepingin benar dan benar tapi menurut hawa nafsunya sendiri dan bukannya mengikuti kebenaran menurut tata cara Tuhannya.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa kita bangsa nusantara ini sudah dua kali mengalami masa kejayaan yang konon terjadi setiap periode 7 abad (700 tahun) lamanya:

a. Periode I di abad ke 7 disebut Nusantara I, Sriwijaya namanya

b. Periode II di abad ke 14 disebut Nusantara II, Majapahit namanya,

c. Periode III, di abad 21 disebut Nusantara III, Indonesia Jaya.

Jika kelak saat kejayaan Nusantara III ini benar-benar “TERBIT” di abad 21 ini, maka ada satu ungkapan lama yang bakal menjadi ciri bagi pemimpin bangsa ini yaitu SATRIA PINANDITA SINISIHAN WAHYU yaitu sosok seorang pemimpin yang amat sangat religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum atau petunjuk Gusti Allah (Sinisihan Wahyu).

Dengan selalu bersandar hanya kepada Kekuasaan Gusti Allah dan gotong royong seluruh lapisan masyarakatnya, bangsa ini diharapkan akan mencapai zaman keemasan yang sejati.

Dan itu artinya perulangan Wangsa Keling bakal terjadi lagi di negeri ini.

SEMOGA….

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com