Dari Desa Jelekong Menyebar Lukisan ke Lima Benua

Bagikan artikel ini

M Anis, mantan Redaktur Pelaksana Tabloid Detak

Sebagaimana  kebanyakan desa di daerah Jawa Barat, Desa Jelekong berada di lereng bukit kecil, di kaki Gunung Geulis. Jalan utama desa naik turun, dan banyak menikung. Selintas desa yang  masuk wilayah Kecamatan Bale Endah, Kabupaten  Bandung dan terletak sekitar 17 kilometer sebelah timur kota Bandung ini tidak terlalu istimewa. Gerobak penjual bakso dan batagor ada hampir di setiap tikungan.  Konter penjual pulsa  tak terhitung jumlahnya, nyaris saling berhimpitan, meskipun tak sebanyak poster dan baliho bergambar tokoh-tokoh lokal yang mencoba peruntungan mau jadi anggota dewan.

Rumah-rumah penduduk kelihatan bagus meskipun tak terlalu mewah, menunjukkan tingkat perekonomian warga desa juga bagus. Jelekong  berpenduduk hampir 20 ribu jiwa,  kelihatannya memang seperti desa-desa lainnya di Indonesia. Tetapi sebenarnya Jelekong adalah sebuah desa yang amat istimewa, terutama bagi bangunan seni lukis Indonesia. Sebab dari desa inilah menyebar ‘virus’ ke seluruh Indonesia, bahkan juga sampai ke manca negara. Virus itu berupa karya lukis Mbandungan yang sangat terkenal karena harganya sangat murah.

Di Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Semarang,  Jakarta,  Pekanbaru,  Palembang, Bali  dan di mana-mana, saya selalu bertemu dengan  lukisan Jalekong. Tidak hanya dijajar di sepanjang Jl. Braga Bandung, tapi di Bali, lukisan Mbandungan  juga dijual di toko-toko souvenir, termasuk di pasar seni Sukawati di Kabupaten Gianyar.  Kalau suatu komoditas sudah menguasai pasar Bali, itu artinya komoditas tersebut sudah menyebar ke lima benua.

Di  megamarket terkenal di Singapura, Mustafa, dan di pusat perbelanjaan Bukit Bintang di Kuala Lumpur, Malaysia, saya juga melihat lukisan Jelekong dipajang dan dijajakan. Juga di toko-toko souvenir di Pattaya, Thailand.

Di Indonesia, harga yang ditawarkan para pedagang beragam. Untuk ukuran 85 x 135 centimeter, bila sudah berpigura, ditawarkan sekitar satu juta rupiah, meskipun mungkin pada akhirnya akan dilepas dengan harga 500  ribu rupiah.  Lukisan dari Jelekong begitu dahsyat  penyebarannya.

Bandar atau juragan

Berjalan-jalan ke Jelekong pertengahan pekan lalu, hati saya merasa lebih kaya dari sebelumnya.  Di sepanjang jalan desa ada beberapa  toko  atau sebut saja galeri yang memajang lukisan berbagai tema dan ukuran.  Ada yang berbingkai, ada yang tanpa bingkai dan dibiarkan menumpuk di atas lantai. Ada pula yang didisplai asal-asalan di pagar tepi jalan.

“Kalau hari Sabtu dan Minggu banyak mobil dari Bandung dan Jakarta yang datang ke mari,” kata Atman, tukang ojek yang  sejak pagi hingga menjelang Maghrib menemani saya bertamasya ke Desa Jelekong.  Banyak mobil datang, maksud Atman tentu banyak orang yang datang untuk membeli lukisan. Atman juga yang kemudian mengantarkan saya menemui banyak pelukis dan juragan.

Blusukan jalan kaki keluar masuk gang-gang sempit di belakang jalan desa sungguh sangat  menarik. Di teras-teras rumah yang amat sederhana, nampak orang-orang sedang melukis. Melukis apa saja, kebanyakan bertema panen, bunga dan ikan koi. Ada juga yang sedang melukis abstrak. Mereka, tidak sedikit yang terdiri dari anggota keluarga, melukis sambil saling berbicara degan bahasa Sunda. Bagi keluarga yang sedikit lebih mampu, melukisnya bukan di depan rumah tetapi di samping atau di belakang dengan membangun sebuah ruangan khusus berdinding anyaman bambu berlantai tanah.

“Saya mah cuma kerja pada bandar, bayarannya tergantung berapa lukisan yang bisa saya selesaikan,” kata Dedi, yang bersama dua temannya sedang melukis di sebuah ruangan, anggap  saja sebagai studio. Mereka bekerja pada seorang bandar atau juragan. “Satu lukisan ukuran 135 x 85 ongkosnya antara 30 sampai 40 ribu rupiah,” kata Deni. Semua bahan mulai dari kanvas, cat, minyak dan sebagainya disediakan bandar. “Sehari mah kalau lagi enak badan ya bisa setor empat lukisan. Tapi kalau lagi tidak enak ya selesai dua lukisan sudah lumayan, tergantung sayanya saja bagaimana,” katanya dengan dialeg Sunda yang kental.

Untuk ukuran yang lebih kecil ongkosnya tentu juga lebih murah. “Kalau  80 x 60 centimeter ongkosnya antara 10 sampai 15 ribu rupiah, lihat gambarnya saja.  Gambar ikan koi di kolam dengan bunga teratai bisa 15 ribu, kalau bunga  mawar atau anggrek 10 ribu, tambah Angga, teman Dedi yang sedang melukis ikan koi pada kanvas ukuran 135 X 85 centimeter.

Bagi sebagian masyarakat Jelekong, melukis adalah bekerja. Tidak lebih.  “Saya melukis terus terang untuk menyambung hidup. Kalau ada pekerjaan lain yang hasilnya lebih bagus mah saya mau ganti pekerjaan,” kata Dedi.  Anjeun henteuh oyong janten pelukis ageing, tanya saya.  “Tidak!” Jawabnya mengejutkan.  “Saya tidak mau jadi pelukis besar. Saya melukis hanya untuk kebutuhan hidup. Sehari  bisa dapat saratus rebu saya sudah bilang alhamdulillah,” tambahnya. Saya diam. Tak ada pertanyaan lagi yang bisa saya ajukan kepadanya.   Tetapi dalam hati saya memastikan, Dedi adalah seorang seniman.

Dwi Matra

Di sudut lain Desa Jelekong, Osan, 46 tahun, nampak sedang menggulung 100 lembar lukisan ukuran 85 x 60 centimeter. Di dinding rumahnya yang menurun tajam dari jalan desa, bersandar gulungan 100 lembar lukisan. “Hari  ini saya mau kirim 200 lembar lukisan ke Bali,” katanya. Minggu lalu saya sudah kirim 300 lembar, tapi ‘lubang’ saya di sana minta kiriman lagi,” tambahnya.

Di samping bangunan utama rumah Osan ada sebuah stuudio sederhana. Empat pemuda nampak sedang melukis. “Seminggu rata-rata saya kirim 250 lukisan, tergantung permintaannya apa. Saat ini lagi banyak permintaan gambar bunga anggrek, ya kita perbanyak anggreknya. Kalau minta abstrak juga kita buatkan,tapi kami jarang dapat pesanan abstrak ,” jelasnya.

Berapa harganya?  “Kalau ukuran 85 x 60 seperti ini ya sekitar 35 ribu rupiah per lembar,” katanya sambil menunjukkan setumpuk lukisan.  “Kalau ukuran 135 x 85 saya jual antara 90 sampai 100 ribu rupiah. Ya begitulah. Dapat untung sedikit tidak apa asal lancar,” jelasnya. Yang dimaksud untung sedikit antara 10 sampai 15 ribu/lembar.

“Kalau mengerjakan di tempat saya seperti anak-anak ini mah semua bahan  kami yang sediakan, termasuk kopi dan makan siang. Tapi banyak juga orang yang bekerja di rumahnya sendiri. Mereka datang, ambil kanvas terus dibawa pulang. Pakai cat dan minyak mereka sendiri, ongkosnya tentu beda dengan yang dikerjakan di rumah saya,” jelas Osan.

Di Jelekong, sedikitnya ada 12 orang bandar seperti Osan. Mereka bukan cuma menampung pelukis di rumahnya, tetapi juga menyediakan kanvas kosong untuk dikerjakan para pelukis di rumah masing-masing, kadang bersama anggota keluarga.  Mereka yang melukis di rumah masing-masing tidakmemiliki ikatan dengan satu atau dua bandar. Dia bebas mengambil kanvas dari siapa saja, bahkan bebas pula misalnya pada saat yang bersamaan mengambil kanvas dari beberapa bandar. Ini aturan tak tertulis, dan semua yang terlibat sama-sama tahu dan tidak mempersoalkannya. Lebih merdekanya lagi, tidak ada aturan dalam hal jiplak menjiplak karya.

Saat ini  di Jelekong terdapat sekitar 400 orang yang aktif  melukis, ditambah sekitar 300 lainnya yang kurang aktif. Angka ini tentu mendekati akurat, karena diperoleh dari Asep Sancang, seorang pelukis yang sejak tahun 90an beralih fungsi menjadi bandar sekaligus pemilik Dwi Matra, satu-satunya toko  perlengkapan melukis di Jelekong.

Di tokonya yang cukup besar di tepi jalan desa, Asep menjual segala macam barang untuk melukis mulai dari kanvas, cat, minyak, spanram, kuas, palet  dan sebagainya. Menariknya, menurut alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Bandung (kini Uniba), semua pelukis itu asli dari Jelekong. Ada memang beberapa orang pendatang, tetapi mereka telah menikah dengan penduduk setempat dan telah menjadi warga Jelekong.

“Dengan jumlah pelukis yang sekian itu, Jelekong menghasilkan  antara 800 sampai 100 lukisan tiap hari,” tambah Asep Sancang. Luar Biasa. Boleh jadi, tidak ada di dunia suatu wilayah atau komunitas yang memproduksi lukisan sebanyak itu. Anggap saja tiap hari dihasilkan 800 lukisan, maka setiap bulannya warga Jelekeong memproduksi 24 ribu lembar lukisan berbagai ukuran. “Lukisan adalah kehidupan kami sehari-hari, sama pentingnya dengan nafas kami,” kata bandar Asep berfilsafat.

Oding Rusyadi

Kapan dan bagaimana lukisan mulai tumbuh di Jelekong? Ini adalah pertanyaan  utama yang saya bawa, sebab lukisan dari Jelekong benar-benar mengusik benak saya sejak lama.  “Awal tahun 70an, ada seorang pelukis dari Jelekong yang cukup terkenal. Dia sering ikut pameran di Jakarta dan Bandung, namanya Oding Rusyadi, sudah lama almarhum,” cerita Asep Sancang di lantai dua rumahnya.

Tahun delapan puluhan Rusyadi  mendidik anak dan beberapa keponakannya melukis. “Keluarga itulah yang saya anggap sebagai cikal bakal, karena beberapa tetangga kemudian juga tertarik untuk melukis. Ketika itu tidak terpikirkan  bahwa melukis akan menjadi sumber hidup utama penduduk Jelekong,” tambahnya.

Antara tahun 1983 – 1985, datanglah seorang pengusaha dari Bandung ke Jelekong. Dia kemudian membawa 13 pemuda Jelekong ke rumahnya di Bandung, dan mengajarinya melukis dengan cepat. “Hasil karya anak-anak itu dikirim ke Bali, dan kemudian permintaan mulai berdatangan. Sebagian anak-anak itu akhirnya  kembali ke Jelekong dan tetap melukis, sedang sebagiannya lagi malah merantau ke Bali. Mulailah lukisan Jelekong mendapat pasar di Bali,” cerita Asep Sancang.

Meskipun orang menyebut  produk Jelekong adalah lukisan kelas bawah, tetapi sebenarnya ada juga karya-karya dari Jelekong yang masuk katagori lukisan atas. Beberapa pelukis yang saat ini masih hidup bisa menghasilkan karya yang harganya antara 2 sampai 15 juta rupiah. “Para pelukis kelas  atas di Jelekong itu seperti Kusmana, Dede, Ririn dan Tata sampai sekarang masih terus melukis. Karya mereka  biasanya masuk galeri di Bandung dan Jakarta. Saya  mah tidak main di karya-karya mereka,” kata Osan.

Bahkan Asep Sancang punya satu lukisan ukuran 110 x 80 centimeter yang katanya, sudah ditawar 25 juta rupiah tapi tidak ia lepas. “Ini lukisan pemuda Jelekong yang dibuat tahun 2004, seminggu setelah terjadinya tsunami hebat di Aceh. Saya terkesima melihat Masjid Baiturrahman di Banda Aveh yang tetap berdiri kokoh meskipun kena gempa dan tsunami. Lalu foto masjid itu saya berikan pada seorang pelukis, dan jadilah lukisan itu,” katanya sambil menunjuk lukisan yang menempel di dinding tokonya.

Lukisan itu nampak tidak terawat. Debu dan bercak kotoran menempel di kanvas dan pigura. Asep seakan bisa membaca pikiran saya. “Saya memang biarkan lukisan itu tidak terawat, biar kelihatan makin kuno sehingga makin kelihatan misterinya,”katanya sambil tersenyum.

“Pernah ada seorang dari Jakarta datang ke sini, dan ketika melihat lukisan ini dia mau membelinya berapapun saya minta. Saya tidak mau jual, karena saya senang pada lukisan ini  untuk mengenang peristiwa yang memilukan itu. Tetapi dia memaksa terus, dan saya diminta  untuk menyebut angka. Maka sekenanya saya bilang  75 juta. Orang itu nawar 25 juta tapi tidak saya berikan. Jadi lukisan ini  tetap saya simpan sampai sekarang,” jelasnya.

Di Jelekong memang terdapat katagori lukisan bawah, menengah dan lukisan atas. Pengkatagorian itu bisa saja dianggap  penting, bisa pula dianggap tidak penting. Tapi bagaimanapun, Desa Jelekong adalah bagian dari wilayah Nusantara. Masyarakatnya menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dan buah tangan mereka ikut mewarnai khasanah seni rupa kita. Bagaimanapun, saya bangga punya Jelekong.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com