Demokrasi Kongsi dan Politik Ijon

Bagikan artikel ini

Bondan Arion Prakoso, Pemerhati Masalah Demokrasi dan Bangsa

Pilpres 2014 akan terjadi politik kongsi  (jual beli suara) diantara parpol untuk meraih kemenangan. Partai-partai akan menjual suara (kursi parlemen) yang mereka peroleh kepada para capres atau cawapres untuk duduk di dua jabatan tersebut. Informasi yang berkembang harga penawaraan satu suara DPR kepada para capres dan cawapres mencapai Rp.5 s.d 10 miliar rupiah. Jika partai punya 100 kursi di DPR maka harganya sekitar Rp.500 miliar – 1 triliun rupiah, “wow..fantasitis” tidak ada idiologi, strategi dan program yang menjadi landasan dalam proses pencalonaan capres dan cawapres, yang ada hanyalah …negosiasi, transakasi dan tawar menawar harga setiap satu suara wakil-wakil rakyat. Apa yang terjadi dengan pemerintahan 2014?.. sudah pasti rakyat akan dipimpin sindikat (partai politik), para pedagang (capres) dengan saudagar (cawapres) beserta para badar/cukong yang berbaris di belakang mereka yang mau mematuk “wong cilik”. “Awalnya kita berjuang untuk rakyat, tapi kemudian mulai melupakan rakyat, akhirnya rakyat memutuskan untuk menjadikan status kita kembali menjadi “rakyat”.

Terkait “politik sistem ijon”, petualang politik di Indonesia rupanya banyak juga yang mengadopsi strategi ala tersebut, dimana ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, mereka tidak segan membeli suara dari konstituen. Sementara itu, sebagian besar konstituen yang awam menganggap, jika tidak sekarang kapan lagi dapat menikmati uang mereka. Apakah ini suatu kesalahan bagi masyarakat awam? “Siapapun yang menang, paling kita masih juga sopir angkot…kalau bukan sekarang kita nikmati kapan lagi, mumpung ingat…nanti kalau sudah menang lupa daratan lupa lautan”, perkataan tersebut atau yang serupa sering terdengar keluar dari mulut masyarakat awam. “Politisi merancang dan mengarahkan kehidupan sedemikian mungkin, tapi kehidupan selalu melakukan keinginannya sendiri, selalu ada hal tak terduga”.

Antara masyarakat awam dan bakal calon kepala daerah atau calon anggota legislatif telah terjalin simbiosis mutualisme, yaitu suatu simbiosis yang saling menguntungkan antar simbion. Namun pada konteks Demokrasi, hal tersebut dapat merusak tatanan demokrasi ideal yang selama ini diharapkan dapat menjembatani terciptanya “Good Governance“. Proses adalah tahapan dalam  sistem, jika proses sudah salah maka output dapat dipastikan buruk apalagi dengan Input yang diselimuti dengan kepentingan Partai. Pasti deh…pernyataan ini akan dibantah para politikus yang merasa tersinggung. “Nilai-nilai kebaikan seharusnya mudah dimasukkan ke dalam dunia politik. Tapi jika nilai itu sulit memasukinya, berarti anda harus mengeluarkan nilai-nilai jelek terlebih dahulu”.

Terkait pengaruh perubahan dari partai-partai parpol pada saat dahulu kental idiologinya beralih kepada partai-partai yang pexwold sehingga membutuhkan marketing politik tidak hanya sekedar menjual idiologi tetapi memang menjual sesuatu yang dirasa menguntungkan untuk setiap masyarakatnya, sehingga fungsi-fungsi dari pemilu adalah bagaimana sebagai prosedur legal rakyat memilih dan berpastisipasi dan juga mengawasi pemerintahan oleh karena itu pemilu ini dirasa perlu sebagai dampak apa efek pemerintahan yang demokratis. Bagaimana agar pemerintahan diamana metode pemilihannya adalah pemilu bukan kudeta, Peralihan atau pergantian elit-elit Politik. Adanya peralihan partai-partai berbasiskan ideologi yang saat ini sudah hampir tidak ada lagi.

Terkait pasangan pemimpin (wapres) di Indonesia yang harus memiliki chemistry yang kuat untuk menuntun dan menyelesaikan program-program pembangunan secara nyata. Karena berdasarkan sejarah, kepemimpinan di Indonesia selama ini belum bisa disebut sebagai pasangan pemimpin yang harmonis dalam rentang masa jabatan. Persamaan persepsi di antara dua opsi tertinggi (pemimpin) mesti menjadi alasan dalam menempatkan capres dan wakilnya, karena nantinya ketika terpilih akan membentuk kekompakan. Selayaknya sosok cawapres mesti mengedepankan kemampuan dan chemistry sebagai orang yang membantu presiden dan mampu menjadi problem solver bagi pemerintah di masa depan.

Terkait Politik uang (money politic) kerap mewarnai suatu pemilu dan pemilukada yang dilakukan oleh para calon peserta. Padahal politik uang itu, ibarat dalam ilmu jual beli adalah sistem ijon, sehingga pelaku money politik bila terpilih dalam suatu pemilu akan melakukan ijon korupsi guna mengembalikan modal yang telah di keluarkan. Selalu saja terjadi dan bukan merupakan rahasia umum, jika kita amati gugatan sengketa Pemilukada yang masuk ke MK maka politik uang hampir pasti masuk dalam daftar materi gugatan. Perkara terbukti atau tidak di mata hukum, sesungguhnya itu hanya kelihaian permainan dari masing-masing baik tergugat maupun penggugat, apalagi jika kasus ditangani hakim-hakim miskin dan ingin kaya seperti layaknya kehidupan glamour di Metropolitan. Pedas…pedas…Andai kata politik uang ini terus berjalan dan terjadi pembiaran dengan tidak adanya upaya perbaikan sistem pemilu/pemilukada maka reformasi tetap tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapan, ‘”yang banyak uang yang menang” dapat dipostulasikan saat ini dalam kancah demokrasi Indonesia era reformasi. “Kita menciptakan sistem, tapi sistem yang kita ciptakan selalu memerlukan penyempurnaan. Dalam proses penyempurnaannya kita terkadang menjadikannya justru lebih buruk”.

Jika dibiarkan terus Indonesia menuju negara Korporatokrasi dan pemikiran masyarakat sekarang tidak memperdulikan apa yang akan terjadi kedepannya. Peradaban material yaitu kehidupan materialistik, kesenjangan, dehumanisasi, rakyat terdzalimi, kehancuran fasad, negara menjadi instrumen kepentingan bisnis, keputusan politik mengabdi pada kepentingan bisnis, kolaborasi politikus pengusaha makin menonjol, parpol makin pragmatis, less ideology, menuju sifat kapitalistik liberalistik dan peraturan perundangangan dan kebijakan makin kapitalistik- liberalistik. Untuk itu perlu perubahan bermula dari kesadaran setiap individu elit politik dan masyarakat untuk membangun demokrasi yang prima dan cerdas.Terkait kapitalisme yang masuk diperguruan tinggi kaum-kaum inteluktual ternyata banyak terpirusi kapitalisme menjadi sasaran empuk, sehingga tidak ada satu partai yang membicarakan secara serius masalah reformasi pendidikan. Partai politik semuanya bangga berbicara ekonomi, tetapi pendidikan sebagai dasar untuk hidup itu tidak pernah dibahas oleh partai politik.

“Perhatikanlah rakyat, fokuslah kepada rakyat, dan rakyat itu bukan hanya 1 orang ataupun 1 kelompok ataupun satu daerah”. Lupakan segala dendam-dendam politik ini, dan marilah kita kembali bermain dengan jujur serta marilah fokus pada kebaikan-kebaikan yang menjadi tujuan awal kita”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com