Demokrasi sebagai Pola Keseimbangan dan Kewajaran dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Bagikan artikel ini

Undrizon, SH, Praktisi Hukum pada Undrizon, SH And Associates, Jakarta

Sebagai negara yang berdaulat dan merdeka, Indonesia mempunyai riwayat tersendiri dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang hendak dibangun tentunya harus diletakkan pada pilar-pilar ideologi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Itulah yang membedakannya disbanding dengan bangsa lain!

Hal itu kemudian akan teruji di dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk fenomena dan responsifitas sebagai akibat pengambilan keputusan akhir tentang RUU Pilkada melalui mekanisme voting, pada sidang paripurna DPR RI, Jum’at 26 September 2014. Utamanya, terkait dengan kerangka upaya dalam pengesahaan dua opsi tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan atau melalui DPRD. Akhirnya, Dewan mengambil keputusan untuk mensahkan UU Pilkada melalui DPRD.

Di atas syair politik maka akan ada lagu kebijaksanaan, sehingga di setiap persimpangan konflik kepentingan selalu mengharuskan kemudian adanya suatu solusi yang konstruktif. Itulah gambaran dari dialektika kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala kompleksitasnya.

Tidak ada pihak yang perlu disalahkan serta saling-menyalahkan terkait pilihan Dewan tersebut, selama tujuannya memang tetap bagi penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apabila ada pihak yang belum sepakat, masih inkonsistensi sikap, dan masih saling-menyalahkan atau belum mantap menerima substansi atas keputusan tersebut, maka dalam konteks ini, dapat diambil pelajaran dari seorang motivator kawakan, Mario Teguh, pernah mengatakan : ’kemarahan gunakan untuk tidak-tidur dan belajar untuk kesuksesan, bila dalam posisi benar jangan rendahkan diri karena pihak lain sebenarnya keliru maka tetap pada kebenaran yang kita bawa’.

Sesungguhnya itulah kebijaksanaan legislasi yang harus diambil pada akhir masa jabatan Anggota DPR RI periode 2009-2014, dalam upayanya untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan sistem serta kultur kehidupan politik dalam ketatanegaraan di era demokrasi Pancasila yang semakin baik. Maka itu, di dalam pemerintahan (government) tidak ada istilah saling memperbudak – yang ada hanyalah mekanisme pembagian tugas sesuai posisi atau bidang kekuasaan (Check And Balances) untuk satu tujuan NKRI.

Bahkan layak pula dalam konteks untuk mencermat laporan dari The Commission on Global Governance, yang menyebutkan : integrity is the basis of trust that is necessary in relationships among people and organization as well as between them. Vital to the orderly functioning of any organization or society, it is of paramount importance in systems of governance at all levels. The quality of governance depends to a crucial degree on policy makers and those in position of authority adhering to the highest principles and ideals.

Masyarakat Indonesia harus bersyukur, karena sebenarnya wujud demokrasi atas mekanisme pemilihan langsung pun telah diberikan ruang oleh konstitusi. Sehingga atasnama kedaulatan rakyat maka konstitusi nasional (UUD 1945), khususnya pada Pasal 22E, maka pemilihan langsung oleh rakyat tersebut telah difasilitasi untuk memilih : Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, dan DPRD.

Untuk suatu keseimbangan dan kewajaran dalam dinamika politik maka diperlukan adanya jiwa bangsa melalui para pemimpinnya untuk berkidmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sehingga perlunya memilih pemimpin daerah secara tepat dan demokratis. Ciri musyawarah untuk mufakat melalui UU Pilkada yang baru disahkan ini hendaknya sekaligus tercapai dengan adanya mekanisme kerja atas kekuatan representasi rakyat melalui Anggota DPRD yang telah dipilih secara langsung sebelumnya. Maka itu, Pemerintah Daerah adalah aparatur pemerintah yang menjalankan fungsinya secara bersama-sama dengan unsur pimpinan daerah yang lain seperti : DPRD, Kepolisian Daerah, TNI, dan seterusnya.

Oleh karena itu, pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baik, selanjutnya harus diselenggarakan dengan suatu mekanisme yang produktif dan efektif sejalan dengan posisi keterwakilan rakyat (representasi) yang berada di DPRD tersebut! Tentunya upaya itu harus didasari dari pemahaman yang komprehensif atas realitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kearifan lokal yang berkembang dengan senantiasa menjunjungtinggi supremasi hukum.

Biarkanlah rakyat hidup secara wajar, jangan lagi ada pihak yang menyalahkan atas pilihan keputusan di Parlemen tersebut. Kemudian, kepada para elite bangsa jangan terlalu gampang mengatasnamakan rakyat, kalau ternyata tujuan suatu agendanya hanya untuk kepentingan tertentu/golongan?

Posisi rakyat dalam mekanisme Pilkada Langsung hanya terkesan menjadi ‘sebatas tukang-pilih’ dari suatu periode Pemilu ke periode berikutnya. Tentunya partisipasi itu sesungguhnya merupakan bangunan kreatifitas masyarakat dalam berkontribusi secara luas menurut hukum bagi kemakmuran bangsa dan negara sesuai dengan bidang atau sektor yang mereka geluti masing-masing.

Semoga Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) – kemudian, bisa tercerahkan, bersatu-padu dan hidup dalam alam demokrasi yang seimbang, produktif, wajar, dan senantiasa berperadaban Pancasilais sejati.

Penyeimbang Keselarasan

Terkadang banyak pihak bisa berbicara tentang Pancasila, namun ternyata penerapan ideologinya belum bisa membumikan satu sila pun dari Pancasila. Kemudian, demokrasi terkadang juga diartikan sebatas partisipasi rakyat dengan mekanisme pasar atau liberalisme (kompetisi bebas). Lantas, UUD 1945 terkadang juga dianggap sebatas konstitusi yang tidak up to date. Sehingga rakyat kemudian dianggap pula hanya sebatas massa aksi yang hanya dipersiapkan untuk kemudian dimanfaatkan untuk mendorong pencapaian kekuasaan.

Maka itu, hendaklah demokrasi harus dapat berdiri di dalam kesadaran dan kecerdasan masyarakat. Sehingga dalam konteks ini diperlukan adanya praktek politik yang beretika sejalan dengan tumbuhnya kualitas peradaban politik nasional di tengah pergaulan global. Bahwa, Indonesia merupakan entitas tersendiri yang harus diperhitungkan serta kompetitif sebagai bangsa dan negara.

Patut dikhawatirkan dari adanya kecenderungan global, bahwa dunia tengah membangun masyarakat sosialis baru yang berpotensi menjadi kekuatan revolusi sosial untuk tujuan kekuasaan. Meskipun kekuatan kapitalis sangat menentukan tetapi daya kritik yang tak wajar membangun kondisi yang pseudo democratic, sebagai upaya mencari legitimasi publik untuk suatu gerakan mengatasnamakan rakyat. Itulah sebabnya, Indonesia yang kuat secara demokratis maka jangan sampai bangsa dan negara Indonesia tercerabut dari akar inti (national core) demokrasi sesuai dengan nalar kebangsaan Indonesia itu sendiri.

Keseimbangan adalah kewajaran, maka itu, disahkannya UU Pilkada melalui sidang paripurna DPR RI yang berujung voting, meskipun terjadi dalam suasana yang hangat tetapi tetap terkendali. Sehingga menjadikan peristiwa tersebut amat penting dan bersejarah terkait upaya pematangan demokrasi di tanah air. Sekaligus segala ragam upaya untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan yang semakin konstruktif dan produktif dengan karakteristik Indonesia di tengah-tengah pergaulan global. Artinya, laju dinamika politik harus selalu dapat dievaluasi dan dimantapkan sesuai visi dan tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajar kiranya, kalau banyak pihak yang mengapresiasi putusan paripurna tersebut, sebagai langkah penguatan terhadap kepemimpinan daerah dalam semangat kedaulatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ingat, bahwa daerah seyogyanya menjadi pancang dan pilar utama kemajuan nasional. Otomatis daerah berperan sangat strategis di era global, ketika negara dan bangsa sudah menjadi kampung-kampung  global (global villages), maka itu, think globaly but act locally and globaly. Itulah sebabnya masyarakat harus semakin matang dan tidak perlu tergerus rasa solidaritas sosial dan kebangsaannya hanya karena agenda Pilkada yang begitu sering diselenggarakan di berbagai pelosok tanah air.

Disatu sisi kecerdasan dan keterlibatan masyarakat secara langsung untuk memilih pemimpinnya akan tergerus dan cenderung kontraproduktif terhadap realitas kehidupan mereka yang harus membangun kehidupan ekonomi untuk kesejahteraan keluarganya. Tetapi kesibukan dan kepenatan akibat proses Pilkada membuat masyarakat hidup dalam pseudo democratic.

Dari kondisi yang akan terbangun sebagai akibat disahkannya UU Pilkada melalui DPRD, maka akan terjadi perimbangan kekuatan dalam kepemimpinan daerah (Check and Balances). Demokrasi menjadi kian produktif bagi rakyat karena terhindar dari potensi pergolakan atau konflik-konflik yang kontraproduktif, sehingga kegiatan masyarakat tidak terganggu oleh tarik-menarik kepentingan tertentu. Kedaulatan rakyat merupakan sandaran yang harus berpedoman kepada ideologi negara (Pancasila), UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

Karena Rakyat tidak langsung memimpin, maka mereka harus menunjuk pemimpin sebagai penjelmaan kehendak rakyat. Bukan justru demokrasi liberal yang kemudian memobilisasi rakyat untuk tujuan tertentu yang otomatis kemudian dapat berpotensi membelah kesadaran sosial kemasyarakatan sehingga harus larut kedalam proses dukung-mendukung berdasarkan kepingan-kepingan kepentingan tertentu pula.

Klain atas nama rakyat juga berpotensi timbulnya resistensi politik oleh sebagian masyarakat yang lain sesuai dengan pengkotak-kotakan kepentingan. Sedangkan para pendiri bangsa telah meletakan pemikiran kebudayaan politik nasional secara terstruktur dengan bingkai Pasal 18 UUD 45. Sehingga DPR RI atau DPRD diharapkan mampu menjadi representasi rakyat secara maksimal. Karena mereka berasal dari Partai Politik, maka jangan sampai kepentingan yang diperjuangkan melalui Parlemen sebatas kepentingan Partai Politik, tetapi benar-benar representasi yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Wajar kalau sebelumnya banyak pengamat dan publik menyalahkan eksistensi Parpol, tetapi keberadaan Parpol adalah keniscayaan dalam alam demokrasi Pancasila. Bahkan di negara liberal sekalipun mereka berpartai politik. Tinggal bagaimana memperkuat eksistensi parpol tersebut dalam membingkai keutuhan NKRI.

Kepemimpinan Daerah

Pemerintahan kedepan disinyalir berpotensi pencitraan, apabila tidak diimbangi dengan semangat dan kemampuan konsolidasi serta rekonsiliasi politik. Karena itu, dengan pemerintahan yang terpilih untuk periode kepemimpinan 2014-2019 maka harus mempertahankan dan mengembangkan upaya-upaya pendidikan politik yang baik, profesionalisme aparatur, menguatkan fungsi pengawasan oleh publik, menguatkan fungsi-fungsi diplomasi global, menyadarkan hak dan kewajiban warga-bangsa, memperkuat eksistensi masyarakat madani, membangun kesadaran sektoral serta mereduksi ego sektoral, dan lain sebagainya.

Masih perlu digali lebih-lanjut, tentang adanya kecenderungan ketika demokrasi mati – maka, potensi conflict of interests makin banyak, sekaligus tekanan dari kekuatan eksternal dapat menghilangkan jati-diri bangsa. Selanjutnya, harus membangun kembali sikap masyarakat yang realistis sehingga tidak tergoyahkan sebagai akibat imajinasi kebijakan yang tidak pada tempatnya.

Upaya yang tidak kalah pentingnya ialah perlunya suatu komunikasi publik pemerintah yang baik, sehingga salah-satunya perlu membenahi kapasitas Juru Bicara (Jubir) atau bidang hubungan masyarakat di berbagai kelembagaan negara. Pentingnya peranan para Jubir untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan bobot kebijakan dan peranan kelembagaan negara. Selama ini baru beberapa Jubir kelembagaan negara yang sudah dianggap baik, seperti: Jubir KPK, TNI, dan POLRI. Kenapa Jubir kelembagaan negara yang strategis lainnya di era demokrasi ini belum berfungsi maksimal, seperti: Kejagung, BPK RI, BPKP, KOMNASHAM, Kemenkumham RI, dan lain sebagainya – belum maksimal adanya.

Hal itu dimaksudkan agar pemerintah mampu mengimbangi arus informasi dan komunikasi yang dibangun oleh pers atau media massa, dan menyikapi berkembangnya media sosial yang seringkali dikeluhkan dalam jagat komunikasi publik di tanah air, bahkan di berbagai negara lainnya.

Termasuk, kemungkinan adanya upaya perampingan struktur pemerintahan dengan meninjau kembali eksistensi dan produktifitas kelembagaan negara, karena selain masih terjadinya kondisi yang tumpang-tindih, bahkan juga terkadang terkesan posisinya sekadar lips services atas nama bangsa dan negara. hal-hal seperti itu perlu kembali dikaji ulang, sejalan dengan kesadaran untuk evaluasi dan upaya ’berbenah/bersih-bersih’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi, tidak ada lagi elite bangsa yang sekadar ’cari muka’ atas nama rakyat. Rakyat Indonesia juga sudah lebih jauh belajar berdemokrasi yang baik, khususnya selama era paska 1999 hingga 10 tahun kepemimpinan SBY. Semoga kepemimpinan selanjutnya juga mampu mengerucutkan pencapaian tujuan pembangunan nasional dalam karakteristik kabinet kerja yang ingin diketengahkan dan yang digadang-gadang berfungsi sebagai solusi bangsa dan negara Republik Indonesia.

Lantas, tinggal bagaimana adanya upaya yang konkret agar semakin mampu mematangkan kehidupan demokrasi di tanah air. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu ‘try and error’ dalam perjalanan suatu roda kepemimpinan tersebut, justru yang dibutuhkan bangsa ini selanjutnya ialah suatu perbaikan secara keberlanjutan terhadap aspek-aspek kehidupan nasional yang dinilai masih dianggap kurang baik, merawat segala bentuk pencapaian oleh pemerintah sebelumnya yang telah baik, dan selanjutnya dibutuhkan suatu skala prioritas dalam percepatan pembangunan – maka, ’yang tidak gatal jangan lagi digaruk-garuk’!

Potensi dari pseudo democratic juga dapat berujung pada ‘proxy war’, sebab antar golongan masyarakat yang saling klaim paling benar maka bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk agenda terselubung. Seharusnya demokrasi disandarkan atas nama negara bukan pada angan-angan kekuasaan oleh sebagian elite. Masyarakat harus cerdas dalam melihat dan memahami ideologi Pancasila dan UUD 1945, jangan sampai bangsa ini tercerabut serta terombang-ambing dari akar budaya setelah kemudian dijelaskan secara gamblang di dalam Sila Keempat Pancasila tentang kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan maka seluruh entitas bangsa seharusnya berdemokrasi dengan karakteristik itu. Tentu saja inovasi dan daya transformasi dibutuhkan untuk mengikuti trend perubahan dengan jati-diri dan karakteristik kebangsaan yang luhur.

Netralitas media massa amat dibutuhkan sebagai wadah pembelajaran serta pencerahan bagi masyarakat, sehingga jangan sampai Pers terseret dalam posisi keberpihakan dalam irama kepentingan.

Ingat, bahwa spektrum dalam paradigma kapitalis akan senantiasa memerlukan legitimasi sosial masyarakat yang berciri sosialis. Terkadang untuk mencapai itu maka kapitalis akan berupaya agar mempertahankan, menjaga, dan mencairkan kebekuan aset, human capital, dan entitasnya sehingga tetap bergerak dinamis dan produktif. Disinilah letak strategisnya posisi Indonesia yang digagas oleh pendiri negeri ini, bahwa kita berdemokrasi Pancasila, sehingga dapat memposisikan diri sebagai irisan dalam konflik kepentingan dunia dalam berbagai skala serta intensitasnya.

Tinggal bagaimana membenahi mekanisme pelaksanaan Pilkada melalui DPRD tersebut secara aspiratif, sehingga dapat disempurnakan dengan kebijakan berjenjang dan peraturan pelaksanaan lainnya. Maka itu, termasuk aspek pengawasan publik, penegakan hukum, integritas Anggota Dewan, merumuskan model uji publik yang menjadi aspek tersendiri dan sangat relevan untuk kembangkan lebih-lanjut.

Mengucapkan selamat, terimakasih, dan apresiasi kepada segenap Anggota DPR RI tersebut sebagai pendekar politik/negarawan Indonesia, khususnya yang berjuang di Parlemen (DPR RI), karena atas pengorbanan serta kejernihan hati dalam Perjuangan Politik Parlemen untuk memutuskan bahwa Pilkada dilaksanakan melalui DPRD, demi masa depan seluruh Rakyat, bangsa dan negara.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com