Derwin Pereira Yang Saya Kenal, Pelobi Bertarif USD 80.000,-

Bagikan artikel ini

Derek Manangka

Gara-gara nama saya muncul di paling depan oleh “tag” Budi Setiawan tentang artikel “Perusahaan Lobby Dibalik Kunjungan Jokowi”, banyak sahabat yang bertanya ihwal apa yang terjadi yang oleh sementara orang disebut sebagai “Skandal dan Kegaduhan Diplomasi”. Selain melalui WA, juga ada yang menelpon langsung. Bahkan kemarin, Minggu siang, sewaktu menghadiri acara ulang tahun Ibu Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI (2004 – 2009), di resto “Bunga Rampai”, berbagai pertanyaan seputar skandal itu, masih diajukan oleh beberapa undangan.

Tautan yang dibuat Budi Setiawan itu nampaknya menimbulkan kesan bahwa saya di-tag, karena merupakan salah seorang yang tahu, banyak tahu bahkan mungkin mengenal siapa yang terlibat dalam “skandal” tersebut.

Tentang Budi Setiawan, memang kami saling kenal baik. Berawal dari ketika Budi menjadi produser di Radio Trijaya 104,7 FM, Jakarta hampir duapuluh tahun silam. Sementara saat itu saya menjadi pemandu “talk show” bertajuk “Jakarta Round Up” kemudian “Jakarta First Channel”.

Sekalipun sudah jarang bertemu, tapi mantan personel Radio Singapura dan Channel News Asia Singapura itu, terus mengirim pesan di inbox facebook. Terutama untuk mengkomunikasikan hal yang sifatnya pribadi. Budi memanggil saya abang.

Saya sangat mengapreasiasi inisiatif Budi Setiawan yang secara spontan menerjemahkan artikel “Waiting in the White House Lobby” yang ditulis Dr. Michael Buehler. Sebab artikel itu memberikan gambaran baru tentang apa yang ada, apa yang terjadi dan kejadian penting yang disembunyikan dibalik kunjungan Presiden Joko Widodo akhir bulan lalu ke Amerika Serikat.

Walaupun setelah membacanya timbul beberapa pertanyaan ; apakah Budi Setiawan secara kebetulan menemukan artikel tersebut ? Atau ada seseorang atau pihak tertentu yang memberi tahu Budi Setiawan tentang keberadaan artikel tersebut ?

Dari segi aktualitas, artikel itu tidak lagi terlalu baru. Sebab artikel itu mengulas kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS akhir Oktober 2015. Pernak-pernik kunjungan itu sudah mulai dilupakan orang. Pembaca atau sahabat facebook mulai dingin membicarakan topik tersebut. Sejalan dengan mulai dinginnya temperatur dan tensi – akibat dari hujan yang sudah beberapa kali turun.

Kendati begitu, artikel itu mampu menaikan tensi perhatian lagi. Boleh jadi karena kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS itu masih menyisahkan berbagai pertanyaan yang tidak dijawab. Masih banyak kalangan yang penasaran.

Misalnya kunjungan ini berakhir di tengah jalan, tidak seluruh agenda yang sudah ditetapkan dipenuhi Presiden Joko Widodo. Dugaan penhyebabnya terjadi tarik menarik yang kuat antara pihak yang mengatur kunjungan tersebut.

Pasalnya, demikian rumor analisa yang beredar – bahwa kunjungan Presiden RI ini diatur oleh dua kelompok pro Amerika Serikat. Sekalipun sama-sama pro AS, tapi kepentingan (bisnis) mereka berbeda. Yaitu kelompok Sofyan Wanandi, Kepala Staf Wakil Presiden dan di sisi lain Luhut Binsar Panjaitan, mantan Kepala Staf Presiden.

Pertanyaan atas rumor ini belum terjawab sudah muncul pertanyaan baru : apakah benar kunjungan Presiden Jokowi ibarat “penjatahan”. Kemudian “penjatahan” itu coba ditata atau dibagi rata oleh RI-1

Untuk pertemuan dengan Presiden Obama, itu “jatah”nya Luhut Panjaitan.

Bagi Luhut perjalanan ke AS, sangat penting. Apapun yang terjadi di Indonesia, Jokowi harus ke AS bertemu dengan Obama. Pertemuan itu merupakan simbol. Bagi Luhut yang saat ini oleh beberapa pengamat dilukiskan sebagai “RI Satu Setengah”, kepresidenan Joko Widodo belum legitimate sebelum bertemu dengan orang nomor satu di Gedung Putih. “RI Satu Setengah” maksudnya posisinya lebih tinggi sedikit dengan Wapres tetapi lebih rendah sedikit pula dengan Presiden.

Untuk pertemuan dengan para pebisnis di Pantai Barat Amerika seperti CEO Google, Facebook dan Apple, itu “jatah”nya Sofyan Wanandi dan pengaturannya didelegasikan kepada puteranya Edward Wanandi.

Spekulasi tentang pengelompokan dan jatah-jatahan ini semakin menguat, manakala Presiden Jokowi mempersingkat kunjungannya di AS.

Dan pemendekan kunjungan itu atas inisiatif Luhut Panjaitan. Dengan pemendekan itu kemudian disimpulkan bahwa pada akhirnya pihak Luhut Panjaitan-lah yang lebih berhasil atau memenangkan pertarungan antara dua kelompok pro AS ini.

Sebab seusai Presiden Joko Widodo bertemu Presiden Obama, adalah Luhut yang kini menjabat Menko Polhukam yang langsung menelponnya. Luhut melaporkan situasi keamanan di dalam negeri dan menyarankan agar Presiden mempersingkat kunjungannya di AS. Presiden RI pun membatalkan pertemuannnya dengan sejumlah pebisnis di Pantai Barat AS.

Dipersingkatnya kunjungan Presiden menimbulkan kerugian materi, citra dan kepercayaan bagi kelompok Sofyan Wanandi. Tapi apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur.

Nah munculnya artikel Dr. Michael Buehler ini, apakah bukan sebuah serangan balik terhadap Luhut Panjaitan ? Mengingat yang disebut-sebut sebagai kontak persen Derwin Pereirea, pelobi Singapura adalah Luhut Panjaitan.

Sulit menjawab pertanyaan di atas. Sulit memastikan kebenaran kebenaran spekulasi tersebut. Akan tetapi inilah dinamika politik Indoneia atau manuver politik yang sebetulnya cukup menarik untuk dicermati.

Akan halnya Derwin Pererira, bekas wartawan harian “The Straits Times” Singapura ini, memang saya kenal sebagai salah seorang pelobi asing aktif di Indonesia.

Derwin Pereira yang pernah menjabat Kepala Biro “The Straits Times” di Washington, diperkenalkan oleh almarhum Tafuiq Kiemas kepada saya tahun 2006. Saat itu Taufiq sedang mempersiapkan kunjungan Megawati Soekarnoputri, isterinya yang menjabat Presiden RI 2001 -2004, ke AS. Tujuannya untuk melobi tokoh-tokh berpengaruh di negara itu antara lain Henry Kisinger dan kalangan media agar dalam Pilpres 2009, AS bisa mengalihkan dukungannya dari SBY ke Megawati.

“Deal” yang diminta Derwin Pereira, kalau dia berhasil dan Megawati pun terpilih sebagai Presiden RI periode 2009- 2014, Taufiq akan merekomendasikannya sebagai Duta Besar Singapura untuk Indonesia.

Obsesi Derwin Pereira sebagaimana yang saya tangkap dalam beberapa kali pertemuan kami, dia ingin menjadi diplomat Singapura yang melegenda. Kalau bukan seperti Lee Khon Chooi yah seperti Edward Lee.

Lee Khon Choi, Dubes Singapura untuk Indonesia di tahun 70-an, juga mantan wartawan. Dia terkenal dengan bukunya “Indonesia Between Myth and Reality”. Sedangkan Edward Lee, Dubes Singapura yang bertugas selama 13 tahun di Indonesia.

Tapi “jasa” Derwin Pereira sebagai mediator atau pelobi bagi Tafuiq untuk AS, di menit-menit terakhir dianulir. Sebab pada akhirnya Taufiq direkomendasikan untuk menggunakan jasa seorang wanita Amerika yang disebut-sebut sebagai mantan pacarnya Dino Pati Djalal (terakhir Dubes RI untuk AS).

Akibat pembatalan itu Derwin yang dari wajahnya berdarah India, sangat marah kepada saya. Dia menganggap saya tidak becus menerjemahkan tugas Taufiq Kiemas. Kamipun putus kontak.

Baru pada tahun 2013 kami dipertemukan kembali oleh seorang sahabat. Berhubung kepentingannya di Indonesia oleh sahabat saya disebut akan lebih berhasil bila menggunakan jaringan saya, Derwin pun melupakan kemarahannya tujuh tahun silam.

Karena saya ingin tahu banyak tentang dirinya, diapun mulai bercerita. Jejaka tua itu makin tertarik bersahabat dengan saya dengan iming-iming agar saya bisa memperkenalkan kepadanya gadis “bening”. Kalau bisa gadis asal Manado, daerah kelahiran saya.

Dia banyak bercerita tentang peranannya yang menjadikan Jokowi sebagai Walikota Solo menjadi salah seorang tokoh populer Indonesia untuk kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI.

Begitu juga dengan peranannya bersama Gita Wiryawan menjadikan Presiden SBY sebagai tokoh yang selalu disambut hangat oleh media-media di AS. Salah satu pekerjaan konsultasi yang dibanggakannnya ketika berhasil menjadikan putera SBY, Agus Harymurti sebagai mahasiswa di Harvard.

Duetnya dengan Gita Wiryawan tidak berlangsung lama. Tahun 2009, keduanya masih menyewa kantor di Indofood Plaza, Jl. Sudirman. Tapi tahun 2013, ketika kami bertemu di Pulman Hotel dan dua atau tiga kali di Kepinski Hotel, Jakarta, Derwin mengaku sudah berkantor di Singapura.

“Wah Gita marah sekali sama saya. Dia berjanji, kalau dia jadi Presiden RI, maka orang pertama yang dia akan cekal, saya….”, jawab Derwin sambil tertawa ketika saya tanya apa yang menyebabkan kongsinya dengan bekas Kepala BKPM dan Menteri Perdagangan di era SBY itu, pecah.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com