Presiden Jokowi Harus Menyadari Betapa Berbahayanya Skema TPP Bagi Indonesia (Menyongsong KTT G-20 di Turki)

Bagikan artikel ini

Ketika bertemu Presiden Barrack Obama, secara mengejutkan Presiden Jokowi isyaratkan bersedia bergabung dalam Kemitraan Lintas Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP). Sebuah blok ekonomi baru di Asia Pasifik yang dimotori Amerika Serikat dan Jepang.

Bukti nyata bahwa minimnya pengalaman politik seorang presiden  bisa berakibat fatal ketika berdiplomasi dengan pemerintahan adikuasa seperti Amerika Serikat. Betapa TPP bukan sekadar soal memperluas akses bagi produk-produk Indonesia di luar negeri. Bukan juga soal ekspor dan impor. Skema TPP bisa hancurkan daulat rakyat dan porak-porandakan daulat negara Republik Indonesia!
Sekadar informasi, TPP—sebelumnya bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSE) jelas-jelas merupakan skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat. Bahkan, TPP disebut-sebut lebih berbahaya karena mencakup isu-isu World Trade Organization (WTO)-Plus.
Skema TPP yang berawal dari desakan sekitar 600 korporasi global kepada Kementerian Perdagangan AS, bakal jadi jalan masuk ke akses pasar yang lebih luas seperti Indonesia, karena memberi gambaran keuntungan yang besar di tengah terpuruknya ekonomi AS dan Eropa. Apalagi sekarang Indonesia tetap jadi sasaran pasif untuk dijadikan pasar penjualan produk-produk asing maupun investasi. Mengingat hingga kini ekonomi kita belum berbasis industri.
Lepas dari itu, setidaknya dua sektor yang jelas-jelas terkait hajat hidup rakyat bakal hancur lebur gara-gara diterapkannya skema TPP. Yaitu sektor kesehatan dan pangan. Bagi para “Pemangku Kepentingan” sektor kesehatan di Indonesia kiranya cukup beralasan untuk khawatir. Sebab jika skema HKI diterapkan di Indonesia di sektor kesehatan maka akan menghilangkan akses masyarakat untuk membeli obat-obatan dengan murah dan terjangkau. Karena melalui penerapan HKI, TPP berhak menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS) dalam World Trade Organization (WTO). Karena malalui skema TRIPS inilah, banyak negara-negara berkembang dimungkinkan untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh Perusahaan Farmasi Amerika demi kepentingan publik.
Maka dengan penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP bisa berakibat terciptanya monopoli obat-obatan yang dilakukan oleh korporasi asing dengan harga yang cukup mahal. Apalagi melalui skema TRIPS, TPP akan memberikan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun. Apalagi TPP juga akan menerapkan ekslusivitas data yang telah dipatenkan.
Tak bisa dibantah bahwa melalui skema TRIPS di TPP ini, hanya akan menguntungkan korporasi-korporasi berskala global yang bermain di bidang kesehatan.
Lantas, bagaimana halnya di sektor pertanian khususnya di sektor pangan? Ternyata juga sama mengkhawatirkannya seperti juga di sektor farmasi dan obat-obatan.   Selama ini, perusahaan benih dan pestisida asing, seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya. Karenanya, tidak memungkinkan petani kecil membudidayakan. Dengan jaminan perlindungan paten yang tinggi dalam TPP, korban-korban kasus kriminalisasi benih akan meningkat akibat diberlakukannya TPP.
Apalagi tanpa skema HKI di TPP inipun, fakta membuktikan bahwa sektor pertanian Indonesia sudah dikuasai monopoli kartel asing. Yang itu berarti, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.
Beberapa waktu lalu Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Cina, dan bawang merah dari Filipina.
Dengan begitu, yang memperoleh keuntungan di sektor pertanian Indonesia bukanlah petani atau para pemangku kepentingan pertanian pada umumnya, melainkan terpusat hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan monopoli tersebut.
Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban?  Yang jadi korban adalah para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.
Bukan itu saja. Jika Skema TPP ini diterapkan, dipastikan Indonesia akan diikat dengan kewajiban mereduksi tarifnya hingga mencapai 0 persen pada semua pos tarif di semua sektor, termasuk sektor sensitif seperti kesehatan, asuransi, dan jasa keuangan.
Dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia juga wajib menerapkan kebijakan pengurangan biaya transaksi perdagangan, kebijakan kompetisi, government procurement, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kebijakan investasi.
Selain itu, TPP juga tidak senafas dengan prinsip “Sentralisasi ASEAN” yang selama ini jadi pijakan politik luar negeri Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai  basis kelembagaan dari semua bentuk kerjasama regional.
Bocoran Wikileaks Tentang TPP
TPP pada hakekatnya merupakan kesepakatan rahasia beberapa negara untuk menguasai perdagangan global di kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui skema TPP ini bermaksud menjadikan dirinya sebagai Kutub Tunggal.
Pada 2 Juli 2015 lalu, Wikileaks kembali mengungkap beberapa fakta penting mengenai beberapa draft kesepakatan rahasia antarnegara dalam skema Trade in Services Agreement (TiSA) yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa. Menurut data yang dirilis oleh Wikileaks, hingga kini ada 23 negara sudah melakukan negosiasi yaitu Australia, Kanada, Chile, Taiwan, Kolombia, Kostarika, Hongkong, Iceland, Israel, Jepang, Liechtenstein, Meksiko Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Pakistan, Panama, Uruguay, Paraguay, Peru, Korea Selatan, Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa (mewakili 28 negara, termasuk Inggris).
Dari 17 draf dokumen penting skema TISA yang saat ini masih dalam negosiasi yang sifatnya rahasia dan tertutup, dokumen tersebut menyiratkan beberapa kesepakatan penting untuk menghiangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa antarnegara.
Wikileaks menulis:
“While the proposed Trans Pacific Partnerhship (TPP) and the Transatlantic Trade and Investment Pact (TTIP) have become well known in recent months, the TISA is the largest component of the United States strategic neoliberal trade treaty triumvirate. Together, the three treaties form not only a new legal order shaped for transnational corporations, but a new economic grand enclosure, which excludes China and all other BRICS countries.”
Tak pelak lagi TiSA merupakan komponen strategis untuk memainkan skema ekonomi neoliberal AS terhadap berbagai negara. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika TiSA dan TPP merupakan sebuah kesepakatan yang tingkatan daya rusaknya melebihi WTO dan NAFTA.
Dalam sebuah laporannya yang berjudul TiSA versus Public Services, Public Services International, sebuah organisasi federasi lembaga persatuan pekerja publik internasional yang beranggotakan sekitar 20 juta pekerja publik yang tersebar di 154 negara, antara lain menulis sebagai berikut:
“Current treaties have developed into constitutional-style documents that tie governments’ heads in many areas only loosely related to trade. These include patent protections for drugs, local government purchasing, foreign investor rights, public services and public interest regulation, which can have consequences in areas such as labour, the environment and Internet Freedom.”
Selain itu, dengan merujuk pada artikel dari Emma Woolacott, kontributor forbes.com, ada dugaan kuat bahwa dalam sebuah klausulnya, setiap negara yang ikut meratifikasi TiSA diwajibkan untuk mengizinkan data base kependudukannya untuk diakses oleh negara, lembaga, perusahaan atau individu negara lain.
Namun, apa agenda tersembunyi dari TiSA kiranya yang jauh lebih penting untuk diungkap. Berdasarkan diskusi terbatas antar beberapa peneliti senior Global Future Institute, tujuan TiSA nampaknya bukan sekadar untuk meliberalisasi perdagangan jasa antarnegara anggota TiSA. Lebih dalam dari itu, sepertinya TiSA bertujuan untuk memaksa negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), maupun negara-negara yang tergabung dalam ASEAN serta beberapa negara berkembang lainnya, agar tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh TiSA.
Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai kutub tunggal dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan alternatif di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri yang patut diperhitungkan. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN sudah sewajarnya untuk terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP.
Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai kutub tunggal dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan alternatif di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri yang patut diperhitungkan. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN sudah sewajarnya untuk terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP.
Apalagi dalam perhitungan negara-negara yang tergabung TiSA, jika total perdagangan jasa antarnegara yang tergabung dalam TiSA digabung menjadi satu, maka diperkirakan TiSA akan menguasai dua pertiga GDP global.
Karena itu menarik menyorot beberapa poin yang jadi dasar penolakan Indonesia for Global Justice.  Antaranya, TPP mendorong negara-negara untuk membuka sektor publiknya untuk dapat dimasuki oleh investasi asing, khususnya Amerika, hingga 100 persen. Segala bentuk daftar negatif investasi di sektor ini diminimalisasi. Tentu penguasaan sektor publik oleh korporasi akan berdampak terhadap hilangnya akses masyarakat terhadap sektor publik strategi secara murah, seperti air dan listrik.
Juga, TPP mendorong agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat diakses oleh perusahaan asing sehingga TPP mengatur tentang perlunya prinsip nondiskriminasi dan national treatment untuk perusahaan asing dalam kegiatan ini. Hal ini karena AS mengincar bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS.
Di sektor BUMN, skema TPP juga bisa bikin babak belur. Sebab TPP hendak memastikan negara tidak akan memberikan banyak subsidi untuk BUMN sehingga korporasi asing bisa memenangkan kompetisi. Selama ini, BUMN dianggap telah memonopoli bisnis di level domestik melalui dukungan negara, baik dalam bentuk pinjaman yang murah, pengecualian pajak, maupun kemewahan untuk dapat mengecualikan sebuah undang-undang. TPP akan menerapkan prinsip nondiskriminasi serta hukum kompetisi yang ketat bagi BUMN.
Dan jangan anggap enteng soal Hak Kekayaan Intelektual. Penerapan standar perlindungan paten dalam aturan hak kekayaan intelektual (HKI) dalam TPP telah menghilangkan akses masyarakat terhadap obat-obatan yang murah. Hal ini karena TPP menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights(TRIPS) dalam WTO,  yang selama ini digunakan banyak negara untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi Amerika demi kepentingan publik.
Penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP mengakibatkan monopoli obat-obatan oleh korporasi asing dengan harga mahal. Apalagi TPP menerapkan standar perlindungan lebih tinggi dari TRIPS di WTO, yakni dengan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun. Selain itu, TPP juga menerapkan eksklusivitas data yang telah dipatenkan.
Sektor perburuhan barang tentu tak kalah mengkhawatirkan. Sebab Skema TPP hendak melarang negara membuat regulasi yang melindungi buruh, bahkan tidak menginginkan adanya proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan dalam rangka menguntungkan investor. Selain itu, arus bebas tenaga kerja asing untuk tenaga kerja profesional juga menjadi salah satu agendanya.
Lantas bagaimana nasib pengusaha menengah dan kecil dengan adanya TPP? Bisa dipastikan akan mematikan bisnis mereka. Betapa tidak. Penghapusan tarif hingga batas serendah-rendahnya akan memudahkan produk AS dan negara industri lainnya masuk, ketimbang masuknya produk barang Indonesia ke sana. Apalagi standar akses pasar yang tinggi dalam TPP akan berpotensi menghilangkan kemampuan sektor usaha kecil Indonesia untuk dapat masuk ke pasar negara-negara TPP.
Mau yang lebih menyeramkan lagi? Baiklah. Jika Indonesia bergabung dengan TPP, penghapusan hambatan tarif tidak akan memberi dampak positif dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya di tengah situasi pelemahan ekonomi global saat ini.
Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP, 80 persen di antaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan.
Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukkan defisit, seperti Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam. Bahkan, ada beberapa negara yang menunjukkan tren perdagangan Indonesia dengan mitranya ini di sepanjang 2010-2014. Hal itu menunjukkan kecenderungan negatif, seperti dengan Amerika Serikat (-0,11 persen), Brunei (-9,42 persen), Cile (-6,86 persen), dan Jepang (2,57 persen).
Dan di atas itu semua, diberlakukannya TPP akan menghancurkan daulat hukum nasional Indonesia. Sebab melalui TPP, korporasi-korporasi global itu akan memasukkan aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara Investor dan negara, atau dikenal dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
Masuknya ISDS dalam TPP akan membuka peluang Indonesia digugat oleh investor senilai triliunan dolar AS di lembaga arbitrase internasional akibat mengganti ataupun mengubah regulasi nasionalnya yang dianggap merugikan kepentingan investor asing. Ancaman gugatan ini mengakibatkan Indonesia tersandera dan enggan membuat undang-undang yang melindungi kepentingan rakyat.
Maka, tidak saja daulat rakyat akan hancur, daulat negara pun porak poranda.
Hancurnya Daulat Rakyat dan Daulat Negara
Menyadari hal tersebut di atas, maka Global Future Institute merasa perlu menginatkan Presiden Jokowi bahwa jika Indonesia tetap bersikukuh untuk bergabung dengan TPP, maka daulat ekonomi Indonesia berada dalam bahaya, mengingat beberapa ancaman TPP berikut ini:
  1. Lingkup Liberalisasi sangat luas, melampaui sektor perdagangan dan investasi semata.
  2. TPP menuntut perubahan dalam level undang-undang negara anggota agar sesuai dengan misi liberalisasi TPP.
  3. Tidak ada perlakuan khusus terhadap sektor yang dianggap vital oleh negara anggota.
  4. TPP memberikan hak kepada investor asing untuk menggugat pemerintah ke arbitrase internasional.
  5. TPP mensyaratkan perusahaan asing boleh terlibat dalam pengadaan barang/jasa di lingkup pemerintahan. Termasuk yang nilainya di bawah Rp 100 miliar. Tiap tahun sampai 30%-40% dari dana APBN digunakan untuk pengadaan barang dan jasa. Klausul ini membuka resiko 30%-40% dana APBN justru diserap asing.
  6. TPP menerapkan standar yang harus diadopsi dalam Undang-Undang negara anggota terkait perlindungan Hak Kekayaan Intelektual(HAKI) yang lebih menguntungkan kepentingan negara maju.
  7. Ketentuan HAKI dan paten dalam TPP akan menghapuskan keberadaan obat generic yang murah dan masih dibutuhkan oleh negara berkembang.
  8. 8. BUMN dan perusahaan asing berkedudukan setara. BUMN tidak akan lagi mendapatkan banyak fasilitas seperti subsidi atau kredit ringan. Negara anggota harus bersikap non-diskriminatif dan tidak mendukung BUMN.
  9. Negara makin kehilangan kontrol terhadap sektor publik yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 33 UUD 1945.
AS dan Uni Eropa Mulai Khawatir terhadap BRICS dan Kebangkitan Asia?
Beberapa waktu lalu memang beredar informasi bahwa Cina sedang dirangkul oleh Uni Eropa untuk bersama-sama menguasai perekonomian ASEAN melalui apa yang dinamakan “Europe’s Smart Asian Pivot”. Menurut beberapa data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, Asia sudah menjadi trading partner penting yang mengusai sepertiga perdagangan internasional Uni Eropa. Berarti ini sudah berhasil menyalip tingkat perdagangannnya dengan Amerika Utara. Bahkan perdagangannya dengan Cina saja, sudah mencapai lebih dari 1 juta Euro per hari. Jelaslah ini merupakan catatan yang maha penting.
Sementara itu, negara-negara yang tergabung dalam BRICS menolak menjadi anggota TiSA. Penolakan negara-negara yang tergabung dalam skema BRICS untuk bergabung dengan TiSA bisa dibaca sebagai sebagai bukti bahwa BRICS sudah menjadi kekuatan keseimbangan baru di medan perekonomian global di luar lingkup pengaruh dan orbit dari TiSA dan TPP yang dimotori AS dan Uni Eropa.
Dalam konteks tren global terbaru inilah, pertemuan tingkat tinggi tiga negara (Korea Selatan, Cina dan Jepang) Minggu 1 November lalu, bisa dibaca sebagai suatu langkah strategis membangun kekuatan keseimbangan baru antar negara-negara Asia, untuk mengimbangi manuver Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui TPP dan TiSA.
Bagi Indonesia, menyikapi skema TPP yang dimotori oleh AS tersebut, hendaknya mewaspadai kata indah di balik frase “Free Trade” dan “More Transparancy” dalam skema TPP. Sebab, “Deal is not about trade, it is about corporate control.”
Nampaknya memang begitulah adanya. Pertarungan Kepentingan antar Korporasi-Korporasi Global. Maka itu, Indonesia harus punya kontra skema untuk bisa ikut bemain secara aktif di tengah pusaran pertarungan antar korporasi global tersebut.
Karen itu, Indonesia sudah saatnya untuk menyerap inspirasi dari Skema Kerjasama BRICS untuk membangun kekuatan-kekuatan baru sekaligus kekuatan penyeimbang dalam pertarungan global saat ini.
Sebagai pemimpin bangsa yang besar, sudah semestinya Presiden Jokowi berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut atau obyek pasif dari berbagai kepentingan global negara-negara adikuasa baik Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, maupun Cina.
Selain itu, Indonesia harus memelopori usaha untuk  mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus mengupayakan kerjasama ekonomi dalam kerangka kerjasama ASEAN, yang secara jelas dan terang-benderang tercantum dalam Piagam ASEAN dan menjadi bagian dari politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Terkait dengan gagasan tersebut, pertemuan tingkat tinggi tiga negara (Jepang, Korea Selatan dan Cina) Minggu 1 November lalu, kiranya bisa kita jadikan momentum untuk memprakarsai lingkup kerjasama strategis bersifat multilateral yang lebih luas di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Tidak ada salahnya jika kita merujuk pada konsepsi Presiden Pertama RI Sukarno ketika melontarkan gagasan PAN ASIANISME atau PAN ASIA RAYA, sebagai landasan untuk membangun kerjasama antar negara Asia atas dasar semangat The New Emerging Forces (NEFOS) yang dikembangkan Bung Karno pada 1964.
Sayangnya, gagasan Bung Karno untuk menggulirkan persekutuan strategis antar negara-negara yang baru merdeka dan berkembang yang rencananya akan diresmikan pada Conefo Agustus 1966, gagal terlaksana akibat meletusnya Gerakan 30 September 1965, yang berakibat lumpuhnya pemerintahan Sukarno sejak 1966.

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com