Telaah Kecil atas Gimik Demi Bangsa dan Negara
Siapapun Presiden RI, selama republik ini masih menggunakan UUD NRI 1945 produk amandemen (1999-2002) —kerap disebut UUD 2002— maka kalimat ‘demi bangsa dan negara’ hanya semata gimik (gimmick). “Omon-omon belaka”. Inilah asumsi keprihatinan yang melatarbelakangi telaah kecil ini.
Kenapa demikian?
Oleh sebab, rezim (maksudnya: sistem dan aturan)-nya memang menggiring rakyat agar tetap dalam ‘kebodohan’. Bahkan lebih sadis lagi, selain rakyat ‘dimiskinkan’ secara struktural supaya tetap menjadi ‘pasar’ dalam pemilihan umum (Pemilu), juga rezim kini cenderung menggelar karpet merah terhadap bisnis para oligarki setiap lima tahunan, baik oligarki politik, sosial budaya, terutama oligarki ekonomi.
Bentuk dan contohnya seperti apa?
Tak pelak, status MPR yang diturunkan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi setingkat DPD, MA, BPK dan seterusnya, serta konsekuensi Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 alias UUD2002 yang berbunyi:
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.
Maka, dua hal di atas menimbulkan dampak langsung terhadap mekanisme sistem bernegara, antara lain:
1. Rakyat cq MPR selaku penjelmaan rakyat sekarang tak berdaulat. Tidak ada lagi kedaulatan rakyat. Kendati disuratkan pada Pasal 1 Ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Akan tetapi, dalam praktik tidak ada satu pun ayat yang membahasnya serta tidak ada penjelasan/keterangan bagaimana mekanisme kedaulatan rakyat harus dijalankan. Hal ini berbeda sewaktu MPR masih sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dimana mekanisme operasional dalam menjalankan kedaulatan rakyat sangat jelas. Terang benderang. Seperti memilih Presiden, misalnya, atau membuat GBHN dan lain-lain. Kedaulatan kini justru berada di tangan partai politik (Parpol) vide Pasal 6A Ayat (2);
2. Parpol merupakan pemegang saham (politik) satu-satunya di republik ini, contoh narasinya, usulan serta pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dari negara berpenduduk 270-an juta jiwa hanya ditentukan oleh beberapa Ketua Parpol yang lolos di Senayan. Dan kerap, hanya terpilih dua, tiga, atau empat pasangan calon saja. Inilah narasi tersirat, bahwa kedaulatan rakyat telah dirampas oleh Parpol vide Pasal 6A Ayat (2).
Melambung sejenak. Hasil penelitian Prof Kaelan di Laboratorium Pancasila, UGM, Jogja, terhadap UUD NRI 1945 produk amandemen alias UUD2002 menyatakan, bahwa amandemen empat kali (1999-2002) telah mengganti 97% isi UUD 1945 naskah asli, rumusan the Founding Fathers. Gila! Pemikiran para pendiri bangsa cuma disisakan 3% saja. Sedangkan pada Sidang Paripurna DPD RI 14 Juli 2023 terungkap, bahwa studi dan kajian akademik atas perubahan UUD 1945 pada 1999 hingga 2002, menghasilkan konstitusi yang telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Sekali lagi, ini yang sesungguhnya terjadi. Pasca amandemen empat kali, UUD sekarang berubah menjadi individualis, liberal lagi kapitalistik karena menafikan local wisdom leluhur.
Kembali ke clue telaah ini. Tatkala ada politisi, pejabat, atau siapapun mengatakan/bersumpah: ‘demi bangsa dan negara’. Pertanyaannya ialah, “Bagaimana ujud bangsa dan negara itu sendiri?”
Jika ujud negara meliputi teritori, penduduk, pengakuan internasional dan lainnya, lantas ujud bangsa itu semacam apa? Tak lain, bangsa adalah wajah dari sebuah negara. Wajah negara – negara di Barat misalnya, tampilan (wajah)-nya cenderung ‘sepilis’ (sekuler, pluralis dan liberalis) dengan jargon individualisme sebagai titik pijak. Tak boleh dipungkiri, wajah (sepilis) seperti itulah yang kini melekat pada UUD 1945 produk amandemen. Sedangkan wajah asli warga Indonesia yang tepa selira, toleransi, gotong royong, cinta damai, guyub dan lain-lain kini diganti wajah intolerans, galak, ‘individualis’, ego, mudah dihasut dan lainnya.
Memang belum ada penelitiannya, namun sejak republik tercinta ini menjalankan UUD2002, wajah asli negara (bangsa) ini telah dicorat-coret sedemikian rupa dengan beragam warna dan nilai-nilai impor yang justru bertentangan dengan local wisdom leluhur. Itu poin pokoknya.
Maka tugas berat Presiden Terpilih usai dilantik 20 Oktober 2024 kelak, bukanlah memenuhi program makan siang gratis, misalnya, atau menyelesaikan tumpukan utang, penguatan rupiah terhadap dolar dst, itu tak keliru. Tidak salah. Tetapi, mengembalikan wajah negara sesuai bentuk aslinya justru lebih urgen, yakni kembali menjadi bangsa yang ramah, penuh toleransi, guyub, tepa selira, cinta damai dan lain-lain.
Titik awal dari semua upaya di atas ialah kembali ke UUD 1945 naskah asli melalui teknik adendum. Artinya, adanya perubahan yang bersifat penguatan dan/atau penyempurnaan untuk menyikapi perubahan lingkungan strategis diletak pada adendum atau lampiran, sehingga naskah aslinya tetap utuh. Orisinal.
Bentuk perubahan/penguatan/penyempurnaan, seperti bubarkan MK, misalnya, atau MK tetap dipertahankan namun dimasukkan dalam salah satu kamar di MA; atau, bubarkan KPK pada satu sisi, namun di sisi lain, ada penguatan independensi Kejagung dan Polri via Densus Antikorupsi; ataupun bubarkan jabatan Wamen biar tidak boros struktur; bubarkan DPD di satu sisi, sedang pada sisi lain ada perwakilan di DPR dari perorangan dan seterusnya. Ini sekedar contoh. Banyak hal lain yang perlu diperkuat dan disempurnakan atas nama perubahan, namun ditempatkan di adendum.
Tanpa langkah awal kembali ke UUD 1945 sesuai naskah asli sebagai titik awal, percayalah, wajah negara (bangsa) ini akan tetap penuh corat-coret tak berkesudahan. Kenapa? Sebab, coretan-coretan tersebut justru berasal serta diciptakan oleh sistem politik (bernegara) itu sendiri.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang dari rerumpun kembang sore dan bunga – bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments