Membunuh UUD 1945, Mengubur Pancasila!

Bagikan artikel ini
Tafsir dan pointers tulisan Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri berjudul: ‘Beramai – ramai Membunuh Kebenaran, Agar Bersama-sama Hidup dalam Aib’, niscaya relevan hingga kapanpun. Pesan moral yang disampaikan, mungkin pas untuk memotret situasi dan kondisi yang tengah dihadapi oleh bangsa ini dalam lingkup besar.
Substansi tulisan Pak Kiki begini:
Tatkala pasukan lawan memasuki kampung, ada satu perempuan berani melawan saat ia mau diperkosa oleh tentara musuh. Bahkan, tentara yang hendak memperkosa pun dibunuhnya, “Bagiku hanya ada satu jalan keluar, berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan!” Kata wanita perkasa itu.
Namun, sungguh celaka. Sosok perkasa itu justru dibunuh beramai-ramai oleh wanita-wanita lainnya —para pecundang— sedang mereka tak melawan ketika tentara musuh merudapaksa kehormatannya.
Motif pembunuhan terhadap perempuan perkasa tersebut, tak lain — rasa khawatir jika para suami bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati daripada hidup ternoda, tanpa kehormatan?”
Nah, potret hitam atas motif pembunuhan tersebut, bahwa kaum pecundang sengaja membunuh kebenaran agar dapat bertahan hidup dalam aib, serta dalam fatamorgana bersama. Itu poinnya.
Analogi cerita singkat di atas, bila ditarik ke level lebih tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama ketika UUD 1945 diamandemen (1999-2002) oleh kelompok reformis gadungan (kaum neoliberal alias neolib), ada benang merah kemiripan narasi, apa itu?
Segelintir neolib telah ‘membunuh’ UUD 1945 Naskah Asli rumusan Pendiri Bangsa (the Founding Fathers) dengan modus mengganti 97% pasal-pasal di Batang Tubuh UUD 1945, lalu ‘mengubur’ Pancasila yang termuat dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD.
Sejak diamandemen, praktik keduanya (Pembukaan dan Batang Tubuh) selain tak nyambung, juga mengubah wajah konstitusi menjadi liberal, individualis dan kapitalistik. Uraian ini bukanlah karangan bebas atau opini penulis, tetapi bersumber dari poin kajian Laboratorium Pancasila UGM, Jogja, oleh Prof Kaelan dkk.
Maka, sebagaimana motif para (perempuan) pecundang yang membunuh wanita perkasa agar mereka bertahan hidup dalam aib dan fatamorgana. Pun demikian dengan bangsa ini. Memang analogi ini agak lebay. Namun, sekali lagi, usai UUD 1945 karya the Founding Fathers dibunuh oleh kaum neolib, lalu mengubur Pancasila dalam praktik bernegara, bangsa ini seperti hidup dalam ‘aib’. Penuh cela, noda, gaduh, salah dan keliru. Mengapa? Sebab, kita menjalankan UUD liberal yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Tak selaras dengan nilai musyawarah, gotong royong, guyub dan seterusnya warisan leluhur.
Sudah tentu, UUD liberal membidani turunan yang liberal pula, contoh, demokrasi ala Barat (one man one vote) dijalankan justru menimbulkan perpecahan di berbagai lapis sosial; demokrasi liberal itu sarat kecurangan karena orientasinya banyak-banyakan suara; merebak money politic guna menjaring suara; framing media; fabrikasi isu; industri pencitraan tumbuh subur, sementara pencitraan itu sendiri tak nyata, hanya realitas semu, dan lain-lain.
Contoh konkrit lain yang melenceng jauh dari rumusan Pendiri Bangsa, misalnya, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya DIKUASAI oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Nah, pasal tersebut — oleh kaum neolib ditambah dengan ayat (4) dan ayat (5) dimana kedua ayat tambahan itu justru menganulir ayat (3). Hal ini identik dengan ‘mematikan’ ayat (3) alias membunuhnya.
Ayat (4) berbunyi:
“Perekonomian nasional DISELENGGARAKAN berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Ayat (5):
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam Undang-Undang”.
Lantas, praktik penyimpangannya dimana?
Ya. Perekonomian nasional kini diserahkan kepada pasar bebas. Survival of the fittest. “Siapa yang paling kuat dan cepat melakukan adaptasi, ia mampu bertahan hidup”.
Nah, di sini (pada ayat 4), NEGARA TIDAK HADIR. Sebab, hajat hidup orang banyak tidak lagi DIKUASAI oleh negara, tetapi DISELENGGARAKAN. Sontoloyo. Dari sisi bahasa saja sudah keliru. Mirip wedding party saja, diselenggarakan. Lho, memangnya diselenggarakan oleh siapa? Mungkin oleh panitia, atau EO (Event Organizer). Geblek!
Bagaimana mungkin, petani-petani kecil dan/atau UKM gurem misalnya, mampu bersaing dan berhadapan dengan korporasi global? Ibarat raksasa melawan liliput. Atau, Elly Pical versus Mike Tyson. Pical pasti Knock Out (KO). Tumbang. Dua kekeliruan menyeruak. Negara tidak hadir di satu sisi, sedang pada sisi lain, EO-nya ngawur!
Inilah yang kini berlangsung sejak konstitusi diamandemen empat kali (1999-2002). UUD 1945 rumusan the Founding Fathers dibunuh, lalu Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dikubur dalam-dalam. Silakan cermati keluhan Buya Syafii Maarif (almarhum) tentang Pancasila:
“Pancasila dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, namun dikhianati dalam perbuatan”.
Entah kapan keduanya dihidupkan lagi oleh segenap anak bangsa. Digali kembali serta dipraktikkan secara murni dan konsekuen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menggali Pancasila yang telah dikubur oleh kaum neolib, artinya mengembalikan lagi marwah kedaulatannya. Sebab, jika Pancasila berdaulat, bangsa akan selamat. Sebaliknya, apabila Pancasila tidak berdaulat, bangsa tak akan selamat. Itu kuncinya.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com