Teguh Santosa MA, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial-Politik jurusan Hubungan Internasional, UniversitaUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Presentasi di depan Focus Group Discussion (FGD) dengan Topik Indonesia Bergabung BRICS: Peluang dan Tantangan).
Isu tentang blok kerja sama ekonomi-perdagangan yang kita kenal sebagai BRICS memang marak akhir-akhir ini jadi bahan perbincangan dari berbagai kalangan. Sayapun yang selama juga mendalami berbagai isu internasional maupun sebagai pelaku media, juga banyak dimintai tanggapan.
Kalau menurut saya alangkah baiknya jika sebelum survei dilakukan, terlebih dahulu mengundang para para pakar seperti Pak Dian Wirengjurit atau Pak Edy Prasetyono, sehingga bisa lebih mendalam lagi. Tapi saya bisa paham bahwa survei merupakan salah satu bagian dari upaya untuk memberi maasukan pada pemerintah.
Tapi kalau saya boleh berpendapat, terkait BRICS ataupun berbagai bentuk kerja sama multilateral lainnya, bangsa kita latah. Maka itu satu hal yang mau saya sampaikan, jika kita ingin mengaplikasikan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, kita harus punya kemandirian. Seperti Bung Karno, presiden pertama kita pernah bilang, agar bisa ikut mengatur isu-isu strategis global, kita sebagai bangsa tidak boleh tergantung pada negara-negara besar. Kalau tidak, maka bangs kita hanya akan jadi agen-agen proksi negara-negara adikuasa yang mana kita bergantung padanya.
Nah untuk bisa bergabung dengan BRICS atau organisasi-organisasi internasional lainnya, maka pertanyaan pentingnya adalah, kita sebagai bangsa bisanya apa? Dengan kata lain apa keunggulan komparatif yang kita punya? Mampukah bangsa kita membangun suatu kemandirian? Bisakah kita mandiri dari segi politik, ekonomi dan kebudayaan?
Dengan kata lain, terlepas kita menjalin kerja sama dengan negara lain atas dasar bilateral ataupun multilateral, tetap pertanyaan strategisnya apa yang jadi tumpuan keunggulan kita dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Kalau tidak, kerja sama yang terjalin di level manapun kita, Cuma akan jadi event organization saja seperti tuan rumah G-20 atau KTT ASEAN. Selama kita sebagai bangsa hanya bersifat konsumtif, maka kerja sama internasional pada level manapun tak gunanya.
Tantangan bagi kita sebagai bangsa, bisakah eksistensi kita di berbagai forum internasional diakui keberadaannya. Masalah krusial saat ini bangs tak punya produk, tidak punya teknologi. Kita hanya solid karena negara kita merupakan pangsa pasar. Coba tengok Cina, sekarang fokus pada hardware/perangkat keras. India, fokus pada software/perangkat lunak. Jadi sekali lagi saya tegaskan, Politik Luar Negeri RI Bebas dan Aktif harus bertumpu pada kemandirian kita sebagai bangsa. Atau menurut istilah Bung Karno, Berdiri di atas kaki sendiri.
Disusun oleh Tim Redaksi Global Review