Dimitri K.Simes dalam America’s Imperial Dilemma menyatakan bagaimana dunia internasional melihat politik luar negeri Amerika Serikat, dan sinisme terhadapnya:
“Any realistic discussion begin with of US foreign policy must begin with the recognition that, notwithstanding American’s views and preferences, most of the world sees the United States as a nascent imperial power. Some nations support the United States precisly because of this, viewing it as a benign liberal empire that can protect them against ambitious regional powers. Others resent it because it stands in the way of their goals. Still others acquiesce to US imperial predominance as a fact of life that cannot be changed and must be accepted.”1
Pembentukan imaji-imaji dengan varian-varian tertentu semisal ungkapan Simes diatas merupakan refleksi negara-negara di dunia internasional dalam semantik yang sama yaitu Amerika Serikat adalah negara imperium. Dalam hal itu, Noam Chomsky dalam What We Say Goes; Interview with David Barsamian, mengungkapkan secara tegas bahwa penamaan Amerika Serikat sebagai imperium merupakan suatu tema yang paling ambigu (Empire is an ambiquest term). 2 Ambiguitas terjadi karena, meminjam kata-kata K.E.Boulding, “People whose decisions determines the polices and actions of nations do not respond to the ‘objective’ fact of the situation. 3 Masalahnya adalah kekeliruan itu dapat berdampak buruk terhadap negara-negara tersebut, dan juga situasi internasional.
“Objective fact of the situations” yang dikemukakan Boulding tersebut sangat penting dalam memahami kebijakan luar negeri dan juga politik luar negeri Amerika Serikat pasca pemilihan umum november 2016 ini. Permasalahannya adalah bagaimana seorang presiden yang telah terpilih, mencitrakan Amerika Serikat di dunia internasional. Konstitusi Amerika Serikat (pasal II/Ayat 1) menempatkan presiden terpilih sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan milisi dari beberapa negara bagian. Posisi tertinggi diperkuat dengan pernyataan bahwa “When called into the actual service of the United States; he may require the opinion, in writing, of the principal officers in each of the excecutive departments.”
Kalimat sederhana yang tertuang dalam Ayat 1 itu secara implisit memberikan kekuasaan preogratif kepada seorang presiden Amerika Serikat apabila presiden dihadapkan pada suatu situasi yang dianggapnya menyinggung keamanan nasional Amerika Serikat. Penggunaan kekuasaan preogratif dengan baik dan berhasil akan menciptkan suatu mata rantai reaksi politik yang positif. Rakyat Amerika, dan partai presiden akan mendukung kebijakannya. Sebaliknya, kaum oposisi di Kongres terpecah belah, dan cenderung mendukung kebijakan presiden.
Pemanfaatan kekuasaan preogratif yang dipola untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan nasional dan keamanan Amerika Serikat yang dilakukan secara non-kompromi, dan secara langsung untuk mencapai “The ultimate good,” meminjam istilah Barack Obama, disebut American Maximalism. Maksimalis Amerika mencirikan imaji bangsa ini. Imaji terhadap Amerika tidak dibuat oleh negara-negara luar, tapi oleh seorang presiden terpilih.
Doktrin Maksimalisme
Penjelasan doktrin Maksimalisme dalam perumusan politik luar negeri Amerika Serikat menekankan pada pencapaian tuntutan semaksimum mungkin; baik secara langsung atau revolusioner, tanpa kompromi. Di sini artinya mazhab realisme menjadi roh dalam penggunaannya. Meminjam ungkapan Thomas Schelling “kekuatan yang kejam berhasil ketika digunakan, sedangkan kekuatan untuk melukai paling berhasil ketika disimpan. Ini adalah ancaman perusakan yang dapat membuat seseorang menyerah atau menurut.”4 Hal itu dipergunakan untuk mencapai terobosan strategis guna mentransformasikan suatu situasi yang mampu menopang pengaruh Amerika Serikat secara berkesinambungan.
Lebih dari itu, Kagan menyatakan ciri Maksimalis sebagai berikut: ” They have been impatient with the status quo. They have seen America as a catalyst for change in human affairs, and they have employed the strategies and tactics of ‘maximalism’ seeking revlutionary rather than gradual solution to problem.” 5 Dalam masa-masa Perang Dingin, maksimalisme ini sangat dominan dalam diplomasi Amerika Serikat mengeliminir kekuatan nuklir Uni Soviet. Hal itu tampak dalam kebijakan “Zero Option”, dan Strategic Defence Initiative” Ronald Reagan. Perundingan-perundingan memang dilakukan, tetapi itu tidak dianggap sebagai instrumen penyelesaian masalah.
Presiden Bill Clinton, contoh lainnya, dalam menyelasaikan konflik Bosnia dengan Military Power. Sementara itu, presiden George W.Bush tidak terlepas dari kebijakan unilateralnya terhadap Afganistan, dan Iraq, adalah seorang maksimalis sejati. Memasuki rezim Obama pun, predikat maksimalis begitu terlihat tatkala mengamati gejolak konflik yang tengah berkecamuk di Timur Tengah, terlebih dengan dinamika konflik di Syria, serta pula fenomena ISIS yang mengharuskan diplomasi militer ditempuh oleh Amerika Serikat. Jadi, ciri utama dari tradisi maksimalis adalah bahwa setiap pemerintahan harus mampu bertindak menyelamatkan tradisi diplomasi maksimalis tersebut dari kelalaian yang dibuat oleh para pendahulu-pendahulunya.
Reagan, Clinton, Bush, dan Obama adalah presiden-presiden Amerika Serikat yang berasal dari dua partai besar Amerika Republik dan Demokrat dalam menerapkan politik luar negeri mereka dilandaskan pada maksimalisme. Mereka berhasil menciptakan imaji-imaji Amerika seperti Hegemon Tunggal atau The Lonely Super Power dan Bangsa yang dibutuhkan. Dalam hal ini, Fareed Zakaria sebagai scholars neorealisme pun dalam Zakaria: What Obama Should Say On Iraq menyatakan: “The test of a commander in chief is not to focus obsesively on one battlefield but to keep all of them in view and to use resources and tactics in away that creates an overall strategy, one that keeps the American people safe.”6 “Kata “Resources” yang diungkapkan Zakaria dapat diartikan sebagai kekuatan militer.
Doktin Maksimalisme Ala Partai Republik
Kalau dilihat dari intra Partai Republik dan Partai Demokrat, terdapat suatu kesepahaman bahwa pasca Perang Dingin telah menempatkan Amerika Serikat sebagai negara yang unggul atau prima di dunia. Paradigma primasi dalam Partai Republik mengacu pada “liberalisme nasional”. Bush sebagai presiden dari Partai Republik sebelum Trump terpilih mencerminkan Maksimalisme Amerika sejati (1) Amerika Serikat bebas melakukan tindakan awal terhadap teroris dan negara-negara yang memilki senjata pembunuh massal; (2) Tidak ada satupun negara di dunia atau gabungan negara-negara tersebut diizinkan menentang superioritas militer Amerika Serikat, (3) Tindakan sepeihak adalah lebih baik dari traktat-traktat internasional dan organisasi-organisasi internasional dalam pencegahan meluasnya senjata nuklir.
Doktin Maksimalisme Ala Partai Demokrat
Strategi Partai Demokrat adalah internasionalisme liberal. Pada dasarnya adalah sama dengan Partai Republik. Perbedaannya terletak pada sumber legitimasi bertindak. Menurut Partai demokrat bahwa legitimasi berarti suatu tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat atau bersama-sama dengan sekutunya dapat diterima oleh negara-negara lain tanpa menghiraukan apakah mereka setuju atau tidak. Paradigma ini merefleksikan konsep diplomasi Henry Kissinger: “The best and most prideful expressions of American purposes in the world have been those in which we acted in concert with others. Our influence in this situation has depended on achieving a reputation as a member of such concert.”7 Tetapi, dalam melindungi bangsa dan National Interests Amerika Serikat, visi Partai Demokrat identik dengan visi Partai Republlik.
Maka dari itu, Partai Demokrat juga bersedia untuk pendanaan pertahanan dan penggunaan kekuatan militer bila diperlukan. Tetapi, maksimalisme itu diimbangi dengan penempatan Amerika di dunia internasional secara terhormat, disamping ditakuti. Ini berarti mempertegas perang terhadap terorisme dengan kekuatan militer dirangkai dengan visi peningkatan kemakmuran masyarkat global yang mana Amerika Serikat berperan di dalamnya.
Konotasi dari paradigma Partai Demokrat ini adalah mengacu kepada pada kekuatan militer Amerika Serikat yang mampu menghadapi ancaman, dan kesinambungan politik luar negerinya di dunia internasional. Chuck Hagel dalam artikelnya “A Republican Foreign Policy” secara jelas mengungkapkan maksimalisme yang simetrik dengan paradigma Partai Demokrat: “Traditionally, a Republican foreign policy has been anchored by a commitment to a strong national defense, that a succesful foreign policy must be not only strong but suistanable.”8
Perspektif Donald Trump
Adapun The New President of United States Donald J. Trump dalam kaitannya dengan tradisi politik luar negeri Maksimalisme, dapat kita amati melalui visi nya dalam ruang lingkup National Defense dan Foreign Policy. Hal ini sebangun dengan visi Trump yang dilansir dari situs resmi pemenangannya, adalah sebagai berikut:
National Defense Context
1. “Work with Congress to fully repeal the defense sequester and submit a new budget to rebuild our depleted military.
2. Increase the size of the U.S. Army to 540,000 active duty soldiers, which the Army Chief of Staff says he needs to execute current missions.
3. Rebuild the U.S. Navy toward a goal of 350 ships, as the bipartisan National Defense Panel has recommended.
4. Provide the U.S. Air Force with the 1,200 fighter aircraft they need.
5. Grow the U.S. Marine Corps to 36 battalions.
6. Invest in a serious missile defense system to meet growing threats by modernizing our Navy’s cruisers and procuring additional, modern destroyers to counter the ballistic missile threat from Iran and North Korea.
7. Emphasize cyber warfare and require a comprehensive review from the Joint Chiefs of Staff and all relevant federal agencies to identify our cyber vulnerabilities and to protect all vital infrastructure and to create a state-of-the-art cyber defense and offense.
8. Pay for this necessary rebuilding of our national defense by conducting a full audit of the Pentagon, eliminating incorrect payments, reducing duplicative bureaucracy, collecting unpaid taxes, and ending unwanted and unauthorized federal programs.”9
Melalui delapan butir visi diatas, Trump terasa senada dengan para pendahulunya yang mencirikan maksimalis. Terutama dari Partai Republik yang menekankan akan penguatan kekuatan militer sebagai basis utama dalam sekup keamanan nasional maupun sebagai representational force seperti Henry Kissinger katakan bagi setiap negara yang ingin bertarung dalam percaturan politik internasional.
Sedangkan dalam ruang lingkup Foreign Policy itu sendiri, Trump sangat menekankan dengan upaya menghancurkan ISIS, adalah sebagai berikut:
Foreign Policy and Defeating ISIS Context
1. “Peace through strength will be at the center of our foreign policy. We will achieve a stable, peaceful world with less conflict and more common ground.
2. Advance America’s core national interests, promote regional stability, and produce an easing of tensions in the world. Work with Congress to fully repeal the defense sequester and submit a new budget to rebuild our depleted military.
3. Rebuild our military, enhance and improve intelligence and cyber capabilities.
4. End the current strategy of nation-building and regime change.
5. Ensure our security procedures and refugee policy takes into account the security of the American people.
6. Work with our Arab allies and friends in the Middle East in the fight against ISIS.
7. Pursue aggressive joint and coalition military operations to crush and destroy ISIS, international cooperation to cutoff their funding, expand intelligence sharing, and cyberwarfare to disrupt and disable their propaganda and recruiting.
8. Defeat the ideology of radical Islamic terrorism just as we won the Cold War.
9. Establish new screening procedures and enforce our immigration laws to keep terrorists out of the United States.
10. Suspend, on a temporary basis, immigration from some of the most dangerous and volatile regions of the world that have a history of exporting terrorism.
11. Establish a Commission on Radical Islam to identify and explain to the American public the core convictions and beliefs of Radical Islam, to identify the warning signs of radicalization, and to expose the networks in our society that support radicalization.”10
Melalui 11 butir visi dalam ruang lingkup Foreign Policy ini, Trump konsen akan menumpas segala pergerakan radikalisme dan terorisme, baik secara internal Amerika Serikat ataupun dunia internasional. Jikalau semua butir demi butir visi diatas terealisasi, maka tidak terasa berlebihan tradisi doktrin maksimalisme yang berazazkan mazhab realisme berserta turunanya neorealisme ini menjadi sebuah keniscayaan yang akan tetap berlanjut dalam roh politik luar negeri Amerika Serikat. Could he Makes America Great Again? Just Wait and See.
Catatan Pustaka
1.https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2003-11-01/americas-imperial-dilemma
2.Chomsky,Noam. (2007). What We Say Goes; Interview with David Barsamian. American Empire Project: Metropolitan Books; 1st edition
3.Evangelista Matthew. (2005). K.E.Boulding on National Images International Systems at Peace Studies: Critical concepts in political science. New York: Routledege
4.Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (2013). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
5.https://www.coursehero.com/file/p42hkkg/3-They-have-amassed-power-and-influence-and-deployed-them-in-ever-widening-arcs/
6.http://www.newsweek.com/zakaria-what-obama-should-say-iraq-90821
7.Foreign Relations of United States.(2003). Foundation of Foreign Policy books 1969-1972. Washington: United States Government Printing Office.
8.https://www.foreignaffairs.com/articles/2004-07-01/republican-foreign-policy
9.https://www.donaldjtrump.com/policies/national-defense/
10.https://www.donaldjtrump.com/policies/foreign-policy-and-defeating-isis/
Penulis : Rohman Wibowo, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Nasional dan Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments