Tujuan berdirinya Koalisi Merah Putih adalah menjadi benteng pertahanan bangsa Indonesia terhadap liberalisme dan jatuhnya kendali Indonesia ke tangan asing serta ideologi selain Pancasila. Jika hal ini akan mereka laksanakan dengan tulus dan konsisten, jangan kaget jika revolusi akan bermula dari gedung parlemen. Apalagi DPR baru 2014-2019 melalui beberapa anggotanya, mencanangkan akan meninjau ulang sekitar 200 UU yang dipandang sarat campur tangan dan kendali asing.
Maka itu, untuk mendiagnosa akar masalahnya, perlu menelisik secara skematik yang dilakukan pihak asing dalam mengembangkan kepentingan kapitalisme globalnya di Indonesia. Strategi penghancuran perekonomian Indonesia. Tidak saja pada strukturnya, melainkan juga fondasi ekonomi Indonesia itu sendiri.
Menyadari bahwa benteng kapitalisme global adalam sektor perbankan, maka penghancuran sektor perbankan Indonesia menjadi sasaran strategis Amerika dan sekutu-sekutu eropanya, terutama Inggris. Caranya, dengan menekan pemerintahan Presiden Suharto sejak 1988, yang kemudian diteruskan di era Reformasi sejak BJ Habibie hinga SBY, untuk melakukan liberalisasi perbankan. Yang berakibat munculnya puluhan bank swasta.
Maraknya kemunculan bank-bank swasta melalui payung hukum Kebijakan Pakto 88, sehingga berdirilah secara besar-besaran beberapa bank swasta. Pada 1992, 4 tahun sejak diberlakukannya Pakto 88, beberapa pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta sebagai kendaraannya.
Meskipun pemerintahan Orde Baru kala itu telah membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut, namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta . Sementara PKLN hanya berhasil membendung pertumbuhan utang BUMN.
Mayoritas utang pengusaha swasta Indonesia dijamin oleh commercial paper yang memiliki jatuh tempo 5 tahun. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada 1997, terjadilah gejolak moneter yang cukup dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut tidak mampu mengembalikan hutanya, sehingga berakiat merosotnya nilai tukar rupiah.
Begitulah. Gara-gara Pakto 88, kemudian timbullah kredit macet yang cukup besar, sehingga liberaliasi sektor perbankan berdasarkan arahan dari IMF dan Bank Dunia melalui Kebijakan Pakto 88, maka hancurlah fondasi ekonomi Indonesia.
Nah di sinilah, jebakan batman yang dilancarkan oleh IMF dan Bank Dunia pada krisis moneter 1997-1998, tidak saja dimaksudkan untuk menjatuhkan Presiden Suharto. Tapi lebih substansial daripada itu, telah menjadikan kejatuhan Suharto sebagai “pintu masuk” liberaliasi ekonomi nasional Indonesia dari hulu sampai ke hilir.
Maka pada era pasca Suharto yang dimulai sejak kepresidenan BJ Habibie, adalah menyusun strategi-strategi lanjutan untuk memperkokoh posisinya. Pertama, para pemilik modal negara-negara kapitalis adalah dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan Indonesia yang telah bangkrut dan tidak mampu membayar utang melalui sistem debt to equity swap.
Melalui cara seperti ini, mayoritas saham perusahaan-perusahaan nasional akan jatuh ke tangan asing. Yang paling agresif dan gencar melancarkan modus operandi ini adalah Amerika Serikat dan Inggris. Gejala ini kalau kita amati secara jeli, terlihat jelas betapa besarnya peran Citybank (milik Amerika) dan Standard Chartered Bank (milik Inggris). Hal ini terlihat jelas melalui keterlibatan dua bank besar AS dan Inggris tersebut dalam proses penanganan restrukturisasi perbankan dan utang-utang perusahaan yang dilakukan oleh BPPN.
Anehnya, para pengutang/debitur BLBI yang notabene melibatkan beberapa konglomerat hitam Cina, malah masih lolos dari jeratan hukum. Dan bahkan akumulasi utang BLBI yang kabarnya telah mencapai Rp 600 triliun itu, telah dijadikan utang abadi. Dan bunga tahunannya, dijadikan obyek bagi-bagi rejeki bagi para aparat birokrasi dari semua tingkatan.
Para anggota DPR dari Koalisi Merah Putih, kiranya penting untuk mencermati modus maupun pola pengambil-alihan yang besar kemungkinan akan berlanjut terus dalam beberapa waktu ke depan. Betapa upaya imperialisme dan kolonialisme asing saat ini, terus dilancarkan melalui infiltrasi modal asing dan penguasaan aset industri.
Maka itu, langkah strategis DPR RI-2014-2019 untuk meninjau ulang beberapa UU yang pro asing atau dipenetrasi kepentingan asing, sudah sepatutnya kita dukung sepenuhnya. Dan mendapatkan pengawalan secara menyeluruh dari berbagai elemen strategis bangsa.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)