Sikap tegas kembali ditunjukkan pemerintah Indonesia dalam diskusi informal di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sebagai bagian dari komitmen untuk menciptakan perdamaian dunia, Indonesia, melalui Menlu Retno Marsudi, menyerukan penghentian pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina.
Menlu menyatakan sepak terjang Isreal yang terus melanjutkan berlangsungnya pembangunan permukiman ilegal wilayah pendudukan Palestina menjadi hal yang tidak bisa diterima.
Pernyataan tersebut disampaikan Menlu RI di hadapan anggota Dewan Keamanan PBB saat memimpin pertemuan informal dalam format “Arria Formula” dan diselenggarakan Indonesia bersama dengan Kuwait dan Afrika Selatan, juga dihadiri oleh Menlu Palestina Riyad al-Maliki.
Dalam pernyataam Menlu, permukiman ilegal Israel terus bertambah dari sekitar 110 ribu pada 1993 menjadi sekitar 620 ribu pada 2017. Dengan demikian, boleh jadi misi pembangunan ini tidak lain adalah bagian dari rencana besar pembentukan Israel Raya yang yang merupakan titik tolak faksi Zionis yang kuat di dalam pemerintahan Netanyahu saat ini, partai Likud, dan juga di dalam badan militer dan intelijen Israel.
Atas pernyataan sikap yang ditunjukkan pemerintah Indonesia tersebut, Presiden AS Donald Trump mengirim utusannya Jason Greenblatt untuk melakukan kunjungan mendadak ke Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang pada saat itu Indonesia memimpin pertemuan informal Dewan Keamanan PBB, untuk mengutuk pendudukan Israel atas wilayah Palestina, Kamis (9/5).
Sebagaimana dilaporkan berbagai media arus utama dunia seperti AFP, AP dan Reuters, pernyataan sikap pemerintah Indonesia semakin menegaskan perlunya kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya untuk Palestina.
Atas inisiatif pemerintah Indonesia, komunitas internasional terutama terutama negara-negera Muslim di Timur Tengah harus satu komando dalam menentang aksi Israel atas pembangunan permukiman ilegal di Palestina.
Sebagaimana dinyatakan di awal, bahwa bukan tanpa alasan kalau Presiden AS Donald Trump melalui utusannya tersebut ingin memberi sinyal kepada dunia bahwa pembangunan permukiman Israel di wilayah Pestina tersebut menjadi menjadi hal yang didukung demi terwujudnya Israel Raya.
Lihat saja misalnya dukungan de facto terhadap proyek “Israel Raya” (Greater Israel) sebagaimana dirumuskan dalam Rencana Yinon, dilakukan dengan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan mengizinkan perluasan permukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan dan sekitarnya.
Ingat, desain ini tidak sepenuhnya merupakan Proyek Zionis untuk Timur Tengah, ini adalah bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dimaksudkan untuk memicu ketidakstabilan politik di seluruh wilayah.1
Menurut bapak pendiri Zionisme Theodore Herzl, “wilayah Negara Yahudi membentang:” Dari Sungai Mesir sampai sungai Efrat. “Menurut Rabbi Fischmann,” Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Mesir sampai ke Efrat, itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon.”
Jika dilihat dalam konteks saat ini, Rencana Zionis untuk Timur Tengah berkaitan erat dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.
Proyek “Israel Raya” bertujuan untuk melemahkan dan akhirnya membuat negara-negara Arab tetangga menjadi bagian dari proyek ekspansionis AS-Israel, dengan dukungan NATO dan Arab Saudi. Dalam kaitan ini, pendekatan yang dilakukan oleh Saudi-Israel berasal dari sudut pandang Netanyahu sebagai sarana untuk memperluas wilayah pengaruh Israel di Timur Tengah, termasuk juga dalam menghadapi Iran. Tak perlu diragukan lagi, proyek “Israel Raya” konsisten dengan desain kekaisaran Amerika.
“Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba.
Sejumlah Zionis menginginkan lebih – tanah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.”
Proyek Zionis mendukung gerakan permukiman Yahudi. Secara lebih luas, ini melibatkan sebuah kebijakan untuk mengecualikan orang-orang Palestina dari negerinya hingga mengarah pada aneksasi terakhir, yaitu Tepi Barat dan Gaza ke Negara Israel.
Dengan demikian, sikap tegas pemerintahan Indonesia harus mendapatkan dukungan dari dunia internasional untuk mendukung penghentian pembangunan permukiman ilegal milik Israel di Palestina.
Mengingat, pembangunan permukiman ilegal Israel itu menjadi sumber berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina.
Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)