Energi Alternatif Menjadi Project Belaka

Bagikan artikel ini

Anugrah Saputra, Tutor di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB dan Peneliti di  Program Magister Studi Pembangunan-ITB

Perjalanan saya menyusuri Desa Cibunar Kabupaten Garut memberikan kesan tersendiri. Menyusuri jalan raya yang melewati hamparan sawah kering karena tidak terairi seluruhnya oleh saluran irigasi. Waktu tempuh dari Kota Garut ke desa tersebut sekira 45 menit melewati jalur Wanaraja. Melalui perjalanan itu, saya tiba di satu daerah yang bernama Kampung Cileles.  Saya menemukan sebuah bangunan yang terlihat terbengkali. Rasa penasaran pun semakin mengayuti saya. Ketika saya dekati lagi dan bertanya ke orang yang kebetulan melintas berkata “oh, eta teh pabrik kanggo ngadamel ethanol ti sampeu” ucap penduduk setempat. Pabrik yang sekira berukuran  12 x 15 Meter, di dalamya lengkap dengan peralatan pemarut singkong, pembuburan, destilator, sampai pemurnian kadar pati singkong. Namun sungguh sayang ketika melihat dan bertanya langsung, ternyata pabrik itu tidak berproduksi lagi akhir 2010.

Penasaran dengan hal itu beberapa waktu kemudian melalui penelusuran ternyata diketahui bahwa daerah Garut dipilih menjadi salah satu “Desa Mandiri Energi” yang ditunjuk oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tentu itu proyek pemerintah pusat mengenai ketahanan dan kemandirian energi nasional yang berbasis nabati. Mengapa nyatanya kok tidak berjalan lagi ya? Padahal infrastrukturnya (berupa pabrik dan bibitnya) sudah ada dan lahan demplot sudah tersedia.

Melongok Apa Yang Terjadi

Krisis energi menghantui negara ini 10 tahun ke depan, diperkirakan cadangan minyak bumi akan habis. Ketergantungan terhadap minyak bumi selama ini di Indonesia semakin meningkat, sementara itu di lain pihak persediaan minyak bumi domestik semakin berkurang dan disertai harga di pasar dunia yang fluktuatif hingga mencacapai USD 100 per barel. Maka perlu secara simultan dikembangkan sumber energi alternatif terbarukan lainya (angin, matahari, mikrohidro, bio massa, panas bumi, dan gas).

Terbitnya kebijakan tentang energi tanggal 25 januari 2006 lalu oleh pemerintah RI merupakan langkah awal bagi pengembangan kebijakan bioenergi, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati atau Biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Untuk menyelaraskan dua keputusan tersebut, Presiden SBY kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2006 tertanggal 24 Juli 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengembangan BBN untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.

Kebijakan energi nasional mengenai penggunaan dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) lalu dicetuskan oleh pemerintah pusat melalui program Desa Mandiri Energi (DME). Basis pengembangan energi tersebut bertumpu di wilayah pedesaaan—salah satu yang kebetulan saya kunjungi Desa Cibunar, Garut. Wilayah itu konon dipilih dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan yang cukup. Pengembangan inovasi energi tersebut diselaraskan dengan desakan pengembangan energi baru terbarukan yang salah satunya berbasis tanaman nabati—singkong. Gagasan tersebut oleh pemerintah pusat selain mengurangi ketergantungan terhadap energi  fosil, juga diselaraskan dengan penciptaan lapangan pekerjaan di perdesaan. Selain itu misi lainya dengan mengintroduksi inovasi energi berbahan baku nabati di level masyarakat lokal agar dapat mandiri secara energi.

Proses pengenalan pengetahuan mengenai energi yang berasal dari bahan tanaman nabati di Desa Cibunar dilakukan oleh Kementrian ESDM. Usaha itu dilakukan pada 2008 akhir dengan pemanfaatan tanaman yang sudah dikenal oleh masyarakat yaitu singkong. Seiring waktu berjalan introduksi singkong sebagai bahan baku etanol mulai dilakukan. Pabrik untuk memproduksi etanol didirikan dan petani diinstruksikan oleh perangkat desa setempat dan ketua-ketua kelompok tani untuk menanam singkong. Bibit diberikan oleh  Kementrian ESDM yang dikenal oleh masyarakat denga jenis Sampeu Bogor. Proses tanam yang baik untuk menghasilkan singkong yang berkualitas musti dirawat dan dipanen antara 8 – 10 bulan. Jika panen tiba, diharapkan petani menjual hasilnya ke pengolah pabrik etanol.

Persoalanya kemudian, panen belum kunjung datang namun diinstruksikan berproduksi oleh Kementrian ESDM. Maka singkong yang belum layak panen dicabut dan juga diambil jenis singkong dari daerah lain seperti dari Malangbong dan Wanaraja. Padahal jenis singkong yang dibutuhkan untuk menghasilkan kadar pati yang baik tidak biasa sembarangan. Di pabrik etanol Desa Cibunar untuk menghasilkan etanol 1 liter harus mengekstraksi 8 – 12 Kg singkong. Jika jenis singkong yang berkadar pati baik (mencapai 30%) hanya butuh 5-6 Kg saja untuk menghasilkan etanol per liter dengan kadar alkohol diatas 95%.

Karena ketersedian bahan baku tidak stabil dan harga fluktuatif, menyebabkan pabrik etanol kesulitan berproduksi. Kondisi itu ditambah dengan teknologi pembuatan etanol yang rumit.  Karena dengan melakukan penggodokan, pembuburan, dan destilasi singkong memerlukan tekanan dan panas yang tinggi dari gas elpiji ukuran 12 Kg sebanyak tiga tabung. Belum lagi ditambah enjim khusus yang dibeli dipasaran agar kadar alkohol etanol meningkat. Namun pada kenyataannya kadar alkohol maksimal hanya mencapai 90% dengan membutuhkan banyak bahan baku. Untuk menghasilkan energi terbarukan yang ramah lingkungan pun, dibutuhkan energi yang ongkosnya mahal juga. Alhasil, etanol yang dijual ke masyarakat sebagai bahan bakar, harganya harus ditekan. Karena jika harga terlampau mahal tidak akan ada yang beli. Lalu sebaliknya, jika harganya murah maka pengelola yang akan merugi. Belum terciptanya nilai keekonomian dan pasar yang baik sehingga etanol yang dihasilkan belum memiliki nilai jual dan keuntungan bagi yeng memeroduksi dan menggunakannya.

Sambil saya menapaki jalan seputar desa juga memandangi lahan pertanian yang kering kerontang menanti hujan. Terik matahari sambil menyusuri hamparan lahan kosong. Pertemuan saya dengan petani yang sedang mengarit rumput untuk pakan ternak mengungkapkan bahwa “sebenarnya di daerah ini tidak ada waktu masa panen singkong yang pasti, bisa 4,  5, atau, 6  bulan, bagaimana kebutuhan saja. Kalau mau orang lai bisa minta dengan yang punya kebun singkong dan dicabut begitu saja.” Itu menunjukan singkong memiliki fungsi sosial, tidak semata komersial.  Budaya tanam singkong pun tumpang sari dengan tanaman palawija lain dan waktu tanam tidak serempak di satu wilayah. Singkong juga bermanfaat jika sedang kekurangan beras yang digunakan sebagai pelengkap untuk makanan meski tidak dalam jumlah besar.

Kebiasaan pola tanam yang hanya ditancap lalu muncul (cep cul), tanpa ada proses pemeliharaan lanjutan yang membuat umbi singkong menjadi besar dan berkualitas. Budaya tanam singkong petani tersebut tidak berupaya diubah ketika pengenalan kebijakan energi alternatif dilakukan. Ditambah lagi harga jual singkong kurang menarik karena dibeli dengan harga murah oleh pengelola pabrik etanol—dibawah harga pasaran. Maka pada batas itu petani lebih mempertimbangkan untuk menanam tanaman palawija (seperti kacang-kacangan, cabai, atau jagung) dan padi, jika musim penghujan tiba.

Singkong di daerah ini dibeli sekira Rp 500-600/ Kg oleh pedagang keliling panganan combro dan kecimpring dengan jumlah 10 Kg sampai 15 Kg. Jenis singkong di desa ini disebut manehot oleh penduduk lokal dengan warna putih dan kalau direbus akan terasa legit dan manis. Jadi penduduk mengenal singkong saukur kango tuangan, bukan sebagai bahan bakar alternatif. Jika jenis itu digunakan sebagai bahan baku etanol maka kadar pati yang dihasilkan belum tentu baik.

Melihat hal itu, potensi lokal yang ada tidak didorong secara sistematis dan konsisten oleh pemerintah. Hal itu menyebabkan belum munculnya inisiatif budi daya singkong di perdesaan sebagai penyedia bahan baku energi nabati. Di sisi lain, singkong juga telah lama digunakan sebagai salah satu makanan alternatif di perdesaaan. Ketidakjelasan batasan untuk tata kelola tanaman singkong seolah memperlihatkan terjadi perebutan singkong untuk pangan dan energi, padahal sebenarnya tidak. Kalau mau dikelola, ada jenis singkong yang kadar patinya baik namun tidak dapat dikonsumsi (misalnya, singkong pahit atau racun).

Yang menjadi persoalan mendasar ialah kebijakan tidak diimplementasikan dengan baik. Kepranataan mengenai energi alternatif di tingkat desa tidak dibentuk untuk membuat inisiatif lokal tumbuh. Pengetahuan mengenai pentingnya energi alternatif tidak dibangun dahulu melainkan hanya fokus pada pembuatan pabrik etanol. Hal itu menandakan kegiatan menciptakan energi alternatif di perdesaan masih bersifat parsial, tanpa melihat kondisi dan konteks budaya, sosial, dan ekonomi setempat. Program menjadi sekadar proyek belaka bukan sebagai strategi untuk membangun masyarakat di desa. Solusi penyediaan energi dan pengembangan energi alternatif berbasis BBN di pedesaan masih jauh dari harapan.

BBN: Bukan Sekadar Bahan Bakar Dari Nabati
Pemerintah mengangap linier dan simplistik bahwa pengenalan energi alternaif berbasis teknologi dapat berjalan jika infrastruktur berupa alat produksinya ada lebih dulu. Bahan Bakar melulu dimaknai sebagi sumber yang dapat dicari dan dibuat begitu saja tanpa memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Padahal fuel tersebut bersinggungan dengan nabati yang didapat melalui proses tanam. Pengenalan segala macam bahan bakar yang dihasilkan dari nabati dimaknai secara sederhana bahwa jika pabrik dibangun dan lahan tersedia maka otomatis masyarakat akan menanam dan menghasilkan bahan baku. Lalu, dengan sendirinya bahan baku tersebut akan terserap oleh pabrik pembuatan etanol. Nyatanya hal itu ternyata tidak terjadi, malahan saat ini pabrik tidak lagi mampu memproduksi etanol.

Pada tahap perkenalan, biofuel dari etanol diimplan ke masyarakat perdesaan sebagai cara untuk menghasilkan energi alternatif dan membuat petani produktif. Namun proses itu tidak diiringi dengan melihat kondisi penggunaan energi di masyarakat, karakteristik lahan, lingkungan geografis, dan budaya setempat. Nyatanya, masyarakat setempat biasa menggunakan kayu bakar dan gas 3 Kg untuk keperluan masak. Sementara jika menggunakan etanol sebagai bahan bakar, kompornya belum memadai dan harga per liter etanol pun masih diatas Rp 8.000,-.

Masyarakat yang berprofesi sebagai petani terdesak oleh kondisi lingkungan yang kering, menggarap lahan pun menunggu datangnya hujan. Alhasil mereka tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi pengolahan lahan karena minim air. Kontur geografis yang berbukit dan karakter tanah yang liat (keras), membuat tanah sulit diolah. Posisi Sungai Cimanuk dan Sungai Cipacing yang berada jauh di bawah lahan pertanian, sudah tidak mungkin dapat mengairi lahan secara menyeluruh dan baik. Kemudian kondisi sosial-ekonomi berdasarkan kepemilikan lahan yang tidak merata, juga membuat faktor pendorong orang untuk mencari nafkah di luar desa. Kepemilikan lahan yang tidak merata membuat petani buruh tanpa lahan bekerja dengan upah per hari Rp 25.000.-. Dengan upah itu, jarang ada orang yang mau menggarap lahan dengan serius, mereka lebih memilih menjadi kuli bangunan atau pekerja kasar di kota yang upahnya lebih dari buruh tani.

Hal itu menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mengadu nasibnya ke kota besar (misalnya, Bandung dan Jakarta). Sehingga tidak heran banyak ditemui orang Garut merantau ke kota sebagai pekerja informal. Misalnya penjual makanan atau minuman, pembuatan jok dan kursi, spanduk, serta pengumpul rongsokan. Itu menyiratkan bahwa kondisi di perdesaan mengalami ketimpangan karena pembangunan yang sifatnya masih parsial.

Kunci Keberlanjutan
Ada beberapa hal penting yang tidak boleh dilupakan jika hendak membuat dan mengimplementasikan kebijakan di desa, yaitu memahami ciri khas lokal dari aspek budaya, sosial, ekologis, dan ekonominya. Berupaya melibatkan masyarakat desa di segala lapisan sebagai aktor yang partisipatif. Kemudian mengumpukan informasi dan data dengan melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya. Dengan mengerti dan memahami ciri khas masyarakat lokal, maka kebijakan yang diambil relatif tepat dan lebih mudah diimplementasikan.

Pengembangan energi alternatif pun musti bertumpu pada kelangsungan ekonomi desa yang mengedepankan ciri khas dan potensi lokal serta berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Hal itu bertujuan agar proses yang dilakukan mampu diterima, diserap, diaplikasi secara bersama dan dapat berkelanjutan. Melalui penekanan ciri khas lokal yang relatif tidak ditemukan sama seperti di daerah lain, lalu kemudian membuat kepranataan khas lokal (melalui pendidikan, ekonomi, dan budaya) yang mendukung berjalannya program—jadi tidak sekadar melabeli dengan jargon “Desa Mandiri Energi”.

Masyarakat secara sadar diajak bicara dan berpikir bahwa energi fosil lambat laun akan habis, maka perlu dicari alternatif lainnya. Kemudian, dirumuskan kembali pentingnya peran sentral desa sebagai gerbang utama untuk pengembangan bahan bakar berbasis nabati. Pengenalan energi alternatif yang gagal di perdesaan musti menjadi bahan permenungan dan pembelajaran bagi kita semua. Masyarakat jangan hanya menjadi korban dari kebijakan tersebut, tanpa ada tata kelola dan perencanaan yang matang. Sehingga, tidak ada lagi program mubazir dan sia-sia. Oleh karena itu, sedari awal perlu melibatkan dukungan antaraktor yang partisipatif dan kekuatan moral yang tidak melulu berorientasi uang dan proyek semata.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com