G-20 Hanya Jadi Alat Untuk Menyelamatkan G-8

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Gagasan dan berdirinya G-20 selain menghapus peran G-8, menimbulkan kesan seolah-olah lebih demokratis, bergengsi dan strategis, sebab forum baru itu menghimpun dua pertiga penduduk dunia yang menguasai 80% transaksi perdagangan internasional dengan nilai ouput 90% PDB global.

Secara tersurat, keberadaan G-20 bukan menggantikan peran IMF dan Bank Dunia, tetapi sekedar menutupi ketidak-berdayaan dua lembaga tersebut dalam meredam krisis keuangan global. G-20 memiliki kekuatan untuk mengorganisir dan menghimpun dana guna menyokong kedua institusi keuangan global yang gagal menangani krisis. Hal ini selaras dengan sinyalemen Revrisond, pakar ekonomi diari Universitas Gajah Mada (UGM), bahwa G20 dulu didirikan karena Amerika dilanda krisis ekonomi. Inisiatif mendirikan G20 itu berasal dari Amerika sendiri. Amerika ingin membagi beban kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain. “Jadi, munculnya G20 diposisikan sebagai alat untuk menyelamatkan anggota G8, yang dalam hal ini Amerika Serikat,” tandas Revisond. Konon hanya “membagi beban” saja. G20 tidak benar-benar ingin mengubah tata perekonomian dunia guna menampung partisipasi yang lebih luas.

Yang terjadi adalah, negara G8 terutama Amerika membagi beban dengan negara- negara lain di luar G8. Bahwa Amerika dengan G8-nya mementingkan diri sendiri dapat dilihat dari cara negeri Paman Sam itu memanfaatkan G8 dan G20. “Masalah- masalah tertentu dibicarakan di forum G20. Kemudian ada yang tetap dibicarakan dalam lingkungan G8.

Dari G-20 bisa dianalisa sebagai teknik pencucian uang (money laundry) berkedok dalam rangka mengatasi krisis, atau berkedok dana utangan yang diberikan kepada negara berkembang akibat dampak krisis global dan lain-lan. Betapa tidak, ditahun 2008-an yang lalu IMF menjual sebagian emasnya ke pasar, namun usai KTT G-20 di London, tiba-tiba ia menebar dolar. Inilah taktik (licik) terbaru AS di bidang ekonomi.

Hasil pertemuan G-20 mengkulminasi suntikan dana sebesar 1,1 triliun dolar AS ke lembaga multilateral dan IMF guna membantu memerangi krisis global. Kemudian keluarlah paket stimulus (utang) bagi negara berkembang. Terbaca nuansa bahwa G-20 digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan dan hegemoni AS di dunia. Oleh karena arah penyelesaian krisis tidak berlandas filosofi bagaimana
“membongkar” sistem kapitalisme sebagai penyebab, tetapi lebih berfokus pada pembiayaan dampak krisis dalam bentuk bailout (talangan) dan stimulus.

Berkali-kali diselenggarakan KTT, di Washington (15/11/2008), di London (2/4/2009), dan tanggal 24-25 September 2009 di Pittsburgh, tetapi berkali-kali pula solusi dan ruh dari pertemuan G-20 bersifat klasik – mengarah pada pelestarian sistem kapitalisme, seperti mempertahankan langkah stimulus, meningkatkan kuantitas dan kualitas modal bank, pemangkasan gaji dan bonus para eksekutif di sektor perbankan, penghapusan tempat bebas pajak (tax heaven), dan kesepakatan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang memperparah pemanasan global.

Dan agaknya, AS menggiring negara-negara di dunia untuk terlibat secara langsung pendanaan krisis melalui “dana segar” pengembalian utang dari negara-negara berkembang. Retorikanya: Bukankah uang yang dihutang adalah kertas-kertas bodong yang dicetak tanpa jaminan?

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com