Dede Kartika, Junior Research Associate GFI dan Wartawan Tabloid Nusantara
Sungguh mengagetkan Jokowi memberi isyarat untuk bergabung dalam Trans Pacific Partnership atau Kemitraan Lintas Pasifik. Ini jelas perkembangan yang mengkhawatirkan. Sebab dapat mengancam kepentingan nasional.
Sekadar untuk diketahui, TPP—sebelumnya bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSE) jelas-jelas merupakan skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat. Bahkan, TPP disebut-sebut lebih berbahaya karena mencakup isu-isu Wordl Trade Organization (WTO)-Plus.
Jika ini terjadi, dipastikan Indonesia akan diikat dengan kewajiban mereduksi tarifnya hingga mencapai 0 persen pada semua pos tarif di semua sektor, termasuk sektor sensitif seperti kesehatan, asuransi, dan jasa keuangan.
Indonesia juga wajib menerapkan kebijakan pengurangan biaya transaksi perdagangan, kebijakan kompetisi, government procurement, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kebijakan investasi.
TPP bakal jadi jalan masuk ke akses pasar yang lebih luas seperti Indonesia yang menjanjikan keuntungan yang besar di tengah terpuruknya ekonomi AS dan Eropa. Apalagi sekarang Indonesia tetap jadi sasaran pasif untuk dijadikan pasar penjualan produk-produk asing maupun investasi. Mengingat hingga kini ekonomi kita belum berbasis industri.
Maka, bergabung dalam TPP sama saja artinya dengan melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Maka itu, kita harus kaji secara mendalam apa akibatnya jika kita gabung dengan TPP.
Sekarang, nilai strategis ASEAN yang selama ini jadi motor kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Apalagi, TPP juga tidak senafas dengan prinsip “Sentralisasi ASEAN” yang selama ini jadi pijakan politik luar negeri Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai basis kelembagaan dari semua bentuk kerjasama regional.
Selain itu, terbukanya pintu secara lebar-lebar bagi masuknya gempuran asing di tengah-tengah melemahnya daya saing ekonomi nasional secara umum dan banyaknya kelemahan-kelemahan dalam ekonomi dalam negeri, menurut saya jauh lebih penting untuk ditangani ketimbang mengutamakan gabung ke TPP.
Juga yang tak kalah penting, sekarang ini kita sebaiknya jauh lebih penting untuk memberdayakan pengusahha-pengusaha kecil dan menengah, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Bangsa kita merupakan bangsa besar yang sudah seharusnya didorong untuk mengamankan kepentingan nasional. Dan mengutamakan Kepentingan Nasional NKRI (KENARI).
Seluruh elemen strategis bangsa sebaiknya menyadari betapa kita tidak boleh larut dalam agenda-agenda strategis yang digulirkan oleh berbagai kekuatan besar dunia atau negara-negara adikuasa, mencoba menggunakan TPP sebagai alat mewujudkan tujuan-tujuan ekonomisnya, dan bahkan juga untuk tujuan geopolitik dan geostrategis dalam rangka memperkuat kembali pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai pemimpin bangsa yang besar, sudah semestinya Presiden Jokowi berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut atau obyek pasif dari berbagai kepentingan global negara-negara adikuasai baik Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Rusia maupun Cina.
Maka, Indonesia harus memelopori usaha untuk mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus mengupayakan kerjasama ekonomi dalam kerangka kerjasama ASEAN, yang secara jelas dan terang-benderang tercantum dalam Piagam ASEAN dan menjadi bagian dari politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.