Telaah Kecil dari Perspektif Asas dan Sistem Bernegara
Tatkala sebuah kebijakan publik mengabaikan aspirasi masyarakat dan menafikan aspek geopolitik, kemungkinan bakal timbul kendala ke (masa) depannya. Entah terkendala saat proses eksekusi, misalnya, atau blunder di kemudian hari, dan lainnya. Bahkan ketika sudah running pun, bisa jadi, kebijakan publik dapat berubah menjadi apa yang disebut dengan istilah ‘bahaya laten’. Bahaya yang sewaktu-waktu muncul. “Api dalam sekam”. Artinya, percikan api kecil mampu mengubah kondisi menjadi kobaran ancaman. Gangguan nyata. Ini asumsi penulis mengawali telaah kecil terkait berbagai isu, terutama isu aktual Pulau Rempang, Batam, di Kepulauan Riau (Kepri).
Tampaknya asumsi tadi terbukti. Baru di tahap pengosongan lahan saja sudah timbul bentrokan fisik antara masyarakat versus aparat gabungan (tanggal 7 dan 11 September 2023) yang mengakibatkan kerugian materiil dan korban luka-luka baik di pihak masyarakat setempat maupun korban dari aparat itu sendiri. Luka sosial menganga. Dampak dari bentrokan, solidaritas Melayu pun bergulir bak bola salju. Meluas-besar lintas etnis, profesi, agama, ras, bahkan lintas negara.
Kasihan TNI-Polri dan aparat lainnya. Selain kini ‘dibenci’ oleh warga Pulau Rempang, juga citranya jeblok di mata publik. Sebab, (aparat) mau tidak mau — karena faktor perintah dan tugas, harus mengamankan kebijakan pusat dan/atau mengawal program dari pihak otoritas yang berkuasa.
Kenapa demikian?
Itu tadi. Pengabaian atas dua faktor di atas —aspirasi publik dan aspek geopolitik— niscaya akan menabrak asas-asas dan hal mendasar dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Antara lain, misalnya:
Pertama, vox populi vox dei. “Suara rakyat ialah suara Tuhan.” Meski saya sendiri setengah hati dengan asas ini, mengapa? Kalau suara orang atheis apakah juga suara Tuhan? Sedang mereka sendiri tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi, untuk telaah kali ini boleh dijadikan premis, sebab warga Rempang mayoritas muslim. Mereka berketuhanan yang mahaesa;
Kedua, salus populi suprema lex esto. “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Artinya, jangankan Perda atau Undang-Undang, konstitusi pun dapat ‘ditidurkan’ jika menyangkut keselamatan rakyat (hukum tertinggi). Itu poin intinya. Kenapa? Oleh karena, rakyat —pribumi— itu pendiri negara, pemilik, sekaligus penguasa negeri. Kok, mereka justru terusir?
Ketiga, aspek geopolitik. Menurut Bung Karno (BK), geopolitk ialah sejarah, budaya dan filosofi. Ya. Geopolitik berkenaan asal-usul sebuah bangsa; kebiasaan serta budaya yang berkembang di masyarakat; dan tujuan hidup. Terutama penjabaran teori ruang (inti geopolitik) ala BK:
“Bahwa orang dan tempat tidak dapat dipisahkan, rakyat dan bumi di bawah kakinya tak dapat dipisahkan”.
Kenapa 16 kampung di Pulau Rempang disebut ‘kampung tua’?
Tak boleh diingkari, keberadaan kampung-kampung (tua) di Rempang sudah ada sebelum Otorita Batam berdiri, apalagi BP Batam yang baru kemarin. Bahkan leluhur mereka telah berada (existance) di Pulau Rempang sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sebelum NKRI lahir.
Retorikanya, “Apakah kebijakan publik di Rempang sudah memenuhi unsur ketiga hal —vox populi vox dei, salus populi suprema lex esto, dan sisi geopolitik ala BK— di atas tadi?” Retorika memang tidak perlu dijawab agar catatan ini dilanjutkan.
Tak pelak, isu Pulau Rempang di Kepri adalah salah satu potret buram di Tanah Air karena kebijakan publik menihilkan aspirasi, menafikan aspek geopolitik, dan abai atas keselamatan rakyat selaku hukum tertinggi.
Masih ingatkah balada (kisah mengharukan) kaum Aborigin di Australia, atau suku Indian di Amerika?
Mari flashback sejenak tentang Absentee of Lord. “Tuan tanah yang tak berpijak di tanahnya sendiri”. Tanah Air bagi mereka (Aborigin dan Indian), kini tersisa airnya. Tanahnya entah milik siapa. Bahkan airnya pun harus dibeli, karena sudah dikavling-kavling dalam kemasan botol dan gelas atas nama bisnis serta investasi. Dan atmosfer tersebut, sepertinya merata dialami oleh kaum Aborigin dan Indian di tanah leluhurnya. Mereka seperti ‘tamu’ di tanahnya sendiri.
Ya, balada Aborigin dan Indian di atas merupakan buah dari ‘kolonisasi lama’ dimana kaum pendatang merampas tanah dan sumber daya alam secara hard power (cq militer) di negeri koloni atas nama living space (teori ruang hidup). Namun, kolonialisme di nusantara sebelum/pra kemerdekaan lain lagi cerita. Sebelum dijajah, VOC datang sebagai kongsi dagang. Korporasi. Bukan melalui hard power, tetapi soft power. Sangat mirip investasi di era kini. VOC adalah korporasi yang menegara. Setara negara, karena mampu mempengaruhi kebijakan negara, bahkan di atas (menekan) negara. Above the state. Pola soft power VOC menjarah sumber daya alam di nusantara dilakukan secara sistematis dan masive atas nama perdagangan.
Singkat cerita. Ketika VOC bangkrut akibat maraknya korupsi, kedudukannya pun digantikan oleh Belanda.
Kembali ke laptop. Bahwa sebelumnya, beberapa isu mirip kasus Pulau Rempang pernah terjadi dengan modus, tempat dan kemasan berbeda. Namun, polanya sama. Yakni mencabut penduduk lokal dari akar budayanya atas nama investasi tanpa melibatkan secara tuntas warga setempat selaku subjek (dan objek) pembangunan.
Pertanyaan menggelitik timbul, “Kenapa semuanya bisa terjadi, dan apakah isu Pulau Rempang merupakan kasus Absentee of Lord kali terakhir di Bumi Pertiwi?” Jawaban semua adalah tergantung “sistem”-nya. Apa itu?
Di satu sisi, pembangunan yang telah diupayakan pemerintahan Jokowi, terutama pembangunan infrastruktur guna menjawab kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa telah terlihat dan dirasakan hasilnya; sisi lainnya, pada kunjungan LaNyalla Mattalitti, Ketua DPD RI, ke-34 Provinsi dan 300-an Kabupaten/Kota masih menemukan fakta, persoalan fundamental yang dirasakan oleh rakyat yaitu ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan oleh pemerintah daerah (Pidato Kenegaraan Ketua DPD RI, 16 Agustus 2023, hal 4).
Kenapa? Sekali lagi, semua itu akibat Asas dan Sistem Bernegara. Lantas, Sistem Bernegara yang bagaimana?
Menurut penelitian Prof Kaelan, Guru Besar Filsafat UGM, pasca-UUD 1945 diamandemen (1999 – 2002) ditemukan fakta bahwa 95% isi UUD 1945 Naskah Asli telah diganti. Jadi, konstitusi kita kini telah berubah menjadi individualis lagi liberal, dan menghasilkan konstitusi yang telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi. Sebagai konsekuensi logis, Demokrasi Pancasila dan Ekonomi Pancasila pun dipinggirkan serta terpinggirkan dalam kehidupan bernegara.
Yang terjadi kemudian adalah penyimpangan praktik atas Asas dan Sistem Bernegara. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok komprador dengan teori-teori Hukum Tata Negara ala Barat untuk pembenaran atas amandemen UUD 1945 pada kurun waktu 1999 – 2002.
Meminjam istilah (alm) Buya Syafii Maarif, “Pancasila dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, dikhianati dalam perbuatan”. Inilah yang tengah terjadi semejak UUD 1945 diganti oleh kaum reformis gadungan serta mereka menganggap dirinya sebagai the Second Founding Fathers.
Singkat narasi. Jadi, siapapun rezim kekuasaan di republik tercinta ini, selama Asas dan Sistem Bernegara masih menggunakan konstitusi hasil amandemen, maka cerita Absentee of Lord dipastikan akan berulang dan terus berulang. Entah hingga kapan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments