Penulis: Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)
Kemenangan Amerika di Ukraina pada 22 Februari 2014 lalu, menyusul tumbangnya Presiden Victor Yanukovich yang dipandang pro Rusia, nampaknya sekarang berbalik arah menjadi kekalahan.
Di tengah dominasi media massa arus utama (mainstream) baik dalam maupun luar negeri, situs berita liputanislam.com melansir sebuah berita yang cukup menarik bertajuk: Titik Balik Amerika di Ukraina. Tumbangnya Presiden Ukraina yang pro Rusia Victor Yanukovich menyusul hasil voting parlemen Ukraina, bagi Presiden Rusia Vladimir Putin justru dia jadikan sebagai momentum untuk menghadapi secara langsung kekuatan adidaya yang berada di balik kejatuhan Yanukovich: Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Tanpa banyak pidato yang berbunga-bunga, Putin langsung menyusun langkah-langkah strategis dan taktis dengan memerintahkan penggerakan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina yang berada di dalam wilayah otonomi Krimea. Langkah ini terbukti tidak saja taktis melainkan cukup strategis. Karena dengan begitu, Putin telah berhasil mengembalikan kepercayaan diri (self confidence) elemen-elemen masyarakat pendukung Rusia baik di Krimea, Ukraina, dan juga di dalam negeri Rusia itu sendiri. Selain itu, manuver strategis dan taktis Putin yang cukup berani dan tegas menghadapi Amerika dan Uni Eropa, telah mensugesti keberanian dan kemantapan Presiden Suriah Bashar al Assad yang sedang berjuang menghadapi pasukan koalisi nasional Suriah yang didukung dari belakang layar oleh Amerika dan pakta persekutuan pertahanan negara-negara Eropa Barat (NATO).
Jika kita menelisik kembali peristiwa menjelang kejatuhan Yanukovich, memang ada beberapa kejanggalan. Parlemen Sidang parlemen Ukraina pada 22 Februari 2014 memutuskan untuk mempercepat pemilihan umum pada 25 Mei 2014. Yang berarti pemerintahan Yanukovich dinyatakan demisioner. Namun keanehan yang mendasari keputusan parlemen Ukraina yang dimotori oleh partai-partai oposisi tersebut karena terjadinya serangkaian kerusuhan politik yang terus-menerus terjadi di Kiev, sehingga berakibat tewasnya 77 korban jiwa (baca: Parlemen Ukraina Lengserkan Presiden Viktor Yanukovych – http://utama.seruu.com/).
Masuk akal jika Presiden Yanukovich kemudian menanggapi aksi sepihak parlemen Ukraina tersebut sebagai vandalisme, aksi para bandit dan bahkan dipandang sebagai kudeta. Dengan kata lain, Yanukovich beranggapan keputusan parlemen Ukraina tersebut bersifat illegal.
Senada dengan Yanukovich, para petingi pemerintahan Rusia seperti Putin dan Perdana Menteri Medvedev dan Menteri Luar Negeri Lavrov, dengan tak ayal menyebut rezim baru pengganti Yanukovich tersebut sebagai “Pemerintahan Brandalan” yang telahy merampok kekuasaan Yanukovich yang terpilih secara demokratis.
Para petinggi pemerintahan Rusia di bawah kepemimpinan Putin nampaknya memang cukup beralasan memandang tumbangnya Yanukovich sebagai sebuah konspirasi. Yanukovich sendiri, sebelum pada akhirnya memutuskan meninggalkan negerinya akibat adanya ancaman yang dihadapinya, telah mengecam dibebaskannya pemimpin oposoisi dan mantan perdana menteri Yulia Tymoshenko. Tymoshenko, setelah ditahan selama 2,5 tahun karena melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan dibebaskannya Tymoshenko yang selama ini dipandang tokoh oposisi nyang pro Amerika dan negara-negara Uni Eropa pada 22 Februari 2014, harus dibaca sebagai prakondisi untuk memperkuat legitimasi moral gerakan partai-partai oposisi untuk menumbangkan Yanukovich melalui “kudeta konstitusional”. Voting di parlemen dengan hasil 331 suara versus 1 suara yang menjadi dasar dibebaskannya Tymoshenko, memang cukup aneh dan beraroma rekayasa. Sekaligus mengindikasikan, bahwa pembebasan Tymoshenko merupakan langkah awal dari konspirasi partai-partai oposisi di parlemen untuk menggulingkan Yanukovich.
Seperti dilansir oleh situs berita liputan islam, konspirasi penggulingan Yanukovich memang dilakukan secara terencana dan sistematis. Bocoran rekaman pembicaraan antara Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Victoria Nuland dan Duta Besar Amerika di Ukraina Geoffrey Pyatt oleh pasukan Cyber Rusia, terungkap adanya upaya untuk mendukung kemunculan figure-figur oposisi Ukraina sebagai pemimpin baru Ukraina pasca tumbangnya Yanukovich.
Terbongkarnya konspirasi penggulingan Yanukovich, semakin diperkuat dengan terungkapnya bocoran isi email pribadi pemimpin oposisi Vitali Klinsko yang mempertunjukkan dirinya sebagai “agen bayaran” kepentingan asing yang ditugaskan untuk menumbangkan pemerintahan yang sah.
Bocoran yang tak kalah menggemparkan yaitu pembicaraan antara Menteri Luar Negeri Estonia Urmas Paet dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton yang mana dalam pembicaraan tersebut Paet menginformasikan Ashton bahwa kubu oposisi telah membayar penembak-penembak jitu untuk menembaki para demonstran anti Yanukovich dan aparat kepolisian untuk memancing dan memprovokasi terjadinya kerusuhan.
Jika kita menelisik kembali dalih parlemen Ukraina ketika memutuskan percepatan pemilu yang berakibat tumbangnya Yanukovich, karena terjadinya serangkaian kerusuhan politik yang berakibat tewasnya 77 korban jiwa. Maka, bocoran informasi yang berhasil dijebol pasukan Cyber Rusia tersebut, nampaknya cocok dengan modus operandi kejatuhan Yanukovich melalui sidang parlemen.
Skenario Kudeta ala Amerika di Negara-Negara Pecahan Uni Soviet dan Balkan
Apa yang terjadi di Ukraina dengan tumbangnya Yanukovich, harus kita telisik ke belakang, karena fenomena kejatuhan Yanukovich sejatinya merupakan gerakan terencana dan sistematis.
Bermula dari istilah media Barat dalam rangka menggambarkan gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an ke atas. Revolusi Berwarna atau sering disebut “revolusi warna” kini semakin populer, karena sesungguhnya bukanlah suatu gejolak biasa namun merupakan setting politik praktis di berbagai belahan dunia mengatas-namakan gerakan rakyat. Unik memang, sebutan bagi setiap gerakan selalu mengambil nama-nama serta mengadopsi warna bunga sebagai simbolnya. Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance), penting dicatat pada awal tulisan ini bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peranan teramat vital dalam gerakan ini. Dengan kata lain, LSM termasuk kelompok pemuda serta mahasiswa ialah ujung tombak bagi skenario ganti rezim di suatu negara.
Adapun tuntutan yang diusung dalam revolusi non kekerasan ini berkisar isue-isue global antara lain demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), korupsi, kemiskinan, akuntabilitas dan lainnya. Ia punya pola-pola bersifat umum karena berpedoman buku wajib yang sama yakni “From Dictatorship To Democracy”-nya Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute (AEI). Dan seringkali lambang dan slogan gerakan massa pun sama pula.
Sebagai contoh revolusi yang menerjang bekas negara Pakta Warsawa di Yugoslavia (2000), revolusi mawar di Georgia (2003), revolusi oranye di Ukraina (2004), revolusi tulip di Kyrgystan (2005), revolusi cedar di Lebanon (2005) dan lainnya, termasuk gejolak yang kini tengah melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) terdapat kemiripan logo “Tangan Mengepal”, dan slogan singkat yang artinya “CUKUP” sesuai bahasa negara-negara sasaran. Misalnya di Mesir bernama Kifaya (cukup), di Georgia disebut Kmara (cukup), di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan berslogan Kelkel (zaman baru) dan seterusnya.
Agaknya slogan dalam revolusi warna itu ibarat “ruh gerakan” guna menyatukan semangat massa sekaligus sebagai tujuannya. Artinya kendati tidak selamanya demikian, namun inti maknanya ingin mengakhiri rezim berkuasa tanpa harus banyak darah mengucur.
Bahwa hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi dari gerakan-gerakan selama ini berbasis kurikulum yang bersumber dari bukunya Gene Sharp di atas. Dan ternyata diajarkan oleh Center for Applied Non Violent Action and Strategies(CANVAS), pusat pelatihan bagi pengunjuk rasa tanpa kekerasan yang logonya Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju. Konon CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan sebagainya.
Begitulah. Melawan rezim tanpa senjata merupakan methode baku bahkan menjadi kunci strategi untuk kesuksesan revolusi model ini. Sasarannya ialah memanipulasi serta mencuri simpati publik melalui support media massa dan jejaring sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lainnya.
Ketika analis geopolitik DR Webster G. Tarpley merasa curiga, bahwa terdapat kesamaan antara revolusi yang kini terjadi di Jalur Sutra dengan pergolakan di Serbia sewatu mengusir Slobodon Milosevic. Itulah yang dulu dan kini berlangsung.
Tidak ada peristiwa terjadi secara kebetulan. Gerakan rakyat di Serbia memang tidak murni sebab didukung Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Juga tak boleh dilupakan adalah peran National Endowment for Democracy (NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai Kongres AS hingga jutaan dolar per tahun.
Menurut Prof Michel Chossudovsky, analis dan peneliti pada Central for Research on Globalization (CRG), revolusi berwarna adalah operasi CIA mendukung gerakan-gerakan protes guna memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utama ialah menggulingkan pemerintahan sah melalui protes dan kerusuhan sosial.
Adakah tujuan strategis AS dan Uni Eropa di balik tumbangnya Yanukovich? menurut Andrew Gavin Marshall, juga peneliti di CRG, bahwa revolusi warna merupakan awal Perang Dunia III. Menurutnya, itu adalah taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan Cina sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dengan membatasi gerak Cina dan Rusia serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu. Agaknya statement kedua peneliti CRG di atas selaras dengan ungkapan Tony Cartalucci, kolumnis pada RT News Chanel. Ia menyatakan: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia “. Luar biasa. Tapi benarkah demikian?
Upaya ganti rezim di berbagai negara model non kekerasan ini, sudah tentu didukung oleh LSM skala internasional seperti NED, Freedom House, International Republic Institute dan lainnya sebagai ujung tombak, berkolaborasi dengan LSM lokal di negara yang ditarget.
Beberapa bocoran yang berhasil diungkap oleh pasukan Cyber Rusia tersebut di atas, semakin membuktikan beberapa pandangan para pakar tersebut. Maupun serangkaian pernyataan dari Presiden Putin, Perdana Menteri Medvedev dan Yanukovich, sebagaimana kami paparkan di atas.
Mengapa Terjadi Titik Balik Amerika di Ukraina
Namun skenario dan rekayasa penggulingan Yanukovich sepertinya justru menjadi momentum serangan balik terhadap Amerika dan Uni Eropa. Sehingga Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius pada Rabu 5 Maret lalu, mengatakan bahwa pihaknya dan Jerman tengah merancang upaya penyelesaian krisis Ukraina. Padahal, Jerman merupakan salah satu elemen penting di Uni Eropa yang sangat berkepentingan dengan jatuhnya Yanukovich.
“Rencana itu mensyaratkan penarikan pasukan-pasukan, perlucutan senjata kelompok-kelompok militan, pemenuhan ketentuan-ketentuan konstitusi, dan pemilu yang dipercepat, begitu kata Fabius. Pernyataan Fabius tersebut seakan-akan membenarkan atas anggapan lemahnya legitimasi rezim pemerintahan peralihan Ukraina saat ini. Yang berarti pula, Fabius memberi isyarat bahwa Yanukovich masih merupakan kepala pemerintahan yang sah.
Alhasil, pernyataan Fabius tersebut kemudian diikuti sikap negara-negara Uni Eropa yang enggan memberikan sanksi terhadap Rusia, yang merupakan mitra bisnis mereka yang tidak bisa diremehkan begitu saja.
Titik balik Amerika juga terjadi di Krimea, menyusul perintah Putin untuk penggerakan pasukan Rusia ke wilayah tersebut. Betapa tidak. Parlemen Republik Otonomi Krimea memecat perdana menteri yang pro rejim peralihan Ukraina, lalu mengangkat perdana menteri baru yang pro Rusia, serta menetapkan referendum untuk bergabung dengan Federasi Rusia.
Alhasil, revolusi pro Rusia di Krimea menyebar ke wilayah Ukraina Timur dan Selatan. Menyusul ribuan massa pro Rusia menduduki gedung pemerintahan lokal kota Donetz. Dewan Kota tersebut mengeluarkan pernyataan tuntutan referendum untuk menentukan masa depan kota industri tersebut. Aksi serupa juga terjadi di Odessa, Kharkov dan kota-kota lainnya.
Bahkan Kepala Staf Angkatan Laut Ukraina dan sejumlah pejabat militer serta sejumlah besar pasukan Ukraina di Krimea, menyatakan dukungannya ke Rusia.
Nampaknya pernyataan Perdana Menteri Medvedev dalam wawancara dengan NBC beberapa waktu lalu, cukup menggambarkan tren yang terjadi menyusul tumbangnya Yanukovich. Medvedev mengatakan, bahwa penguasa baru di Ukraina telah mendapatkan kekuasaanya secara illegal, dan akan berakhir oleh revolusi baru yang menentang mereka.
Dan Medvedev nampaknya memang benar adanya.