Geliat Asimetris AS dalam KTT APEC-2013: Hancurkan Industri Rokok dan Farmasi di Indonesia!

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit mengisyaratkan bahwa skema Trans-Pasific Partnership (TPP) bentukan Amerika Serikat (AS) disinyalir akan mengacau kekompakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC 2012 dan 2013 (20/6/2012). Isyarat ini layak dicermati, mengingat kebangkitan Cina sebagai rujukan utama skema ini memang riil, kendati perkembangan ekonomi negara-negara Asia lainnya —bukan hanya Cina— juga mengalami kemajuan termasuk postur militernya.

Kelahiran TPP menarik perhatian publik global karena beranggotakan lintas benua (Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, dan Chile). Beberapa negara Asia di dalamnya yang masuk orbit AS ialah Malaysia, Singapore dan Brunei dimana pada satu sisi merupakan Common Wealth atau Negara Persemakmuran bekas jajahan Inggris, sementara sisi lain ada di ASEAN.

Hasil cermatan GFI, inti tujuan TPP pertama ialah ingin membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik; dan yang kedua menggagalkan berbagai kerjasama antar negara APEC menuju Integrasi Ekonomi Regional atas dasar kesetaraan dan saling menguntungkan.

Menyimak tujuan pertama di atas, kemungkinan besar merupakan implementasi Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC). Oleh karena dalam dokumen PNAC Pentagon jelas memprediksi meruncingnya persaingan antara AS dan Cina dekade 2017-an dan konfrontasi terbuka mungkin tidak bisa dielak. Sedangkan tujuan kedua, mari sejenak flashback atas kontra skema Gaddafi sewaktu hendak membangun kemandirian ekonomi antar negara di Afrika, dalam prosesnya justru dianggap Barat berpotensi merusak kepentingan para korporasi global dalam menguasai kekayaan alam Afrika. Maka NATO pimpinan AS (diawal invasi) pun mengeroyok Libya secara militer dengan stigma “kejahatan kemanusiaan” terhadap Gaddafi berbekal Resolusi PBB 1973 tentang No Fly Zone.

Rumor pun kuat berhembus bahwa Perang Libya sejatinya merupakan hajatan korporasi-korporasi minyak raksasa, kendati banyak methode lain menyertai invasi militer Barat tersebut, seperti “perampokan” (pembekuan) aset Libya di luar negeri serta penerapan modus utang dibayar bom (lebih lengkap baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar bom di www.global-review.com). Ini hanya analogi peristiwa.

Adapun dokumen lain yang masih senada, terbit 2004 oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC meramal masa depan. Tajuk ini pernah dimuat USA Today, 13 Februari 2005, juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005. Inti laporan NIC terkait skema TPP ialah perkiraan keadaan bahwa dekade 2020-an nanti, akan muncul kebangkitan Asia dengan Cina dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.

Ketika timbul pertanyaan, apakah semua dokumen di atas merujuk Clash of Civilizatiosn and The Remaking of World Order (1994) dimana Huntington memprediksi konfrontasi secara terbuka di kawasan Asia Pasifik antara AS dan Cina akan meletus, memang belum ada satu pun literatur menjawab pasti, tetapi gejalanya kuat mengarah kesana. Sekurang-kurangnya sudah bisa dipastikan bahwa dibentuknya TPP menjelang KTT APEC bukanlah tiba-tiba, tapi merupakan “program perpanjangan” dari dokumen-dokumen strategis terdahulu. Ada benang merah pada setiap geliat AS di muka bumi. Khusus untuk skema TPP kali ini, sepertinya dalam rangka “melayani” serta memulihkan kebangkrutan ekonominya.

Strategi Asimetris

Perlu disimak bersama, Paman Sam kini gencar mengembangkan asymmetric strategy (asimetris/non militer) kendati manuver simetris (militer)-nya masih eksis berjalan. Artinya ia lebih mengkedepankan asimetris daripada gerakan militer yang terbuka, high cost dan perlu “restu” internasional.

Robert Magindaan menyatakan, pola asimetris AS dikembangkan sejak tahun 2010 melalui enam koridor yakni nuklir, chemical, biological, informasi operasi, konsep operasional dan terorisme. Kendati modus dan pola-pola semacam ini sesungguhnya telah dikerjakan sejak dahulu,  bukan barang baru lagi. Jika ingat istilah gerakan non tradisional. irraguler, smart power, atau provincial reconstruction team, dan lainnya, itulah model-model asimetris terdahulu. Kemasan berbeda, isinya sama.

Yang mutlak digaris bawahi ialah stategi apapun yang digunakan oleh AS niscaya mengacu pada Kepentingan Nasional, yakni selain memposisikan sebagai “Polisi Dunia” juga tujuan pokoknya mencari minyak, minyak dan minyak. Inilah konsistensi Uncle Sam yang boleh ditiru negara-negara di dunia dalam meraih kepentingan nasional. The power of oil.

Watak asimetris memang berbeda dengan simetris (invasi) militer yang mahal diongkos serta bersifat terbuka. Modus dan pola asimetris lebih murah tetapi cukup handal. Dengan kata lain, di lapangan asimetris tidak membutuhkan prajurit tangguh seperti Rambo, atau militer cerdas semacam Kolonel Bradock dalam film-film, tidak perlu kapal atau pesawat tempur canggih dan lain-lain, namun cukup sosok “mungil” di belakang meja mampu mengacak-acak sistem informasi negara lain, menggerakkan massa dan mengadu-domba elemen bangsa di negara target, atau menghancurkan pilar – pilar ekonomi suatu bangsa melalui aturan, sistem dan lainnya. Gerakan asimetris ini relatif cerdas, karena bisa ke bawah atau atas, baik mengurai hilir maupun mengobrak-abrik hulu.

Serangan asimetris sering menyerang titik-titik kritis (istilahnya archilles, baca: akiles). Misalnya, ketika titik kritis Tuniasi, Mesir dan Yaman ada pada “korupsi dan kemiskinan”, maka akiles itu pun diolah menjadi isue gerakan rakyat karena memang bahan tadi riil nyata. Itulah ruh gerakan Arab Spring yang kemarin dan kini tengah menggoyang jajaran negara di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll). Atau terkadang akiles tersebut berupa jerat ketergantungan seperti halnya Indonesia, Nigeria dll, atau diciptakan jebakan utang, impor, dan seterusnya.

Mematikan Produk Obat Generik

Kajian GFI, gerakan asimetris AS dalam skema TPP ialah mendesak dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-undang (UU) di bidang farmasi dan lainnya. UU tersebut difokuskan pada upaya meningkatkan validitas periode hak paten dalam produk obat-obatan, dibukanya akses terhadap produk obat-obatan baru di pasar, sekaligus menyingkirkan semua produk obat-obatan yang tidak memiliki lisensi, seperti obat generik.

Ini jelas sarat kepentingan kapitalis global, mengingat generik di Indonesia dianggap sebagai obat murah dan terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Bahkan World Health Organization (WHO) mengingatkan bahwa penerapan sejumlah peraturan pada skema TPP dalam perkembangannya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar AS bidang farmasi dan obat-obatan, sehingga akan memberi payung hukum bagi AS memonopoli industri farmasi dan obat-obatan. Niscaya hal ini memperlemah sekaligus menghancurkan industri dan perusahaan-perusahaan lokal yang lebih mengutamakan pelayanan murah bagi kesehatan masyarakat.

Melalui TPP ini pula, AS kembali menekan negara-negara yang memiliki kandungan dan penghasil bahan-bahan mentah agar ditegaskan sebagai negara yang memproduksi bahan-bahan mentah (the country of origin should be the state-producer of raw materials). Tampaknya gagasan ini dalam rangka membendung hegemoni Cina di Asia Pasifik. Dalam kasus industri tekstil di Vietnam misalnya, sebagian besar produksi memang dalam kendali Cina. Suksesnya skema ini identik melestarikan “kebodohan dinamika” yang kini tengah berlangsung. Bagaimana eksporraw material dari Indonesia kemudian balik lagi berupa barang jadi dengan harga impor lebih tinggi? Itu sekedar contoh.

Lebih memprihatinkan lagi, selain gagasan tersebut bersifat proteksionis bagi ekonomi AS, juga selalu mengaitkan kerjasama ekonomi dengan isue-isue demokrasi, HAM, dan kebebasan terhadap negara-negara yang dianggap tidak bisa diajak kerjasama. Lagu lama memang. Paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan) selalu ditebar duluan sebelum metode kolonial lain menyusul.

Menghancurkan Industri Rokok dan Petani Tembakau

Dekade 2010-an dulu, PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok bertujuan guna memelihara dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai bagian dari tujuan syariah (hukum Islam). Menurut Ketuanya, Yunahar Ilyas, fatwa haram merupakan ijtihad para ulama. “Ini lompatan setelah majelis tarjih mengkaji lebih mendalam soal rokok. Pada 2005, menetapkan hukumnya mubah. Begitu pula pada 2007,” ujarnya kepada VIVAnews. Lalu dalil pun tertulis jelas di naskah Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid nomor 6/SM/MTT/III/2010.

Memang sempat timbul pro-kontra disana-sini, bahkan merebak ketakutan di khalangan petani tembakau pasca dikeluarkannya fatma rokok haram. Di Bantul misalnya, para petani terancam kolaps. Kerugian terbayang jika fatwa itu benar-benar diberlakukan effektif. “Di desa kami ada sekitar 4.000 petani tembakau, mereka hanya menggantungkan hidup dari hasil bertani tembakau. Jika fatwa itu benar-benar berlaku secara efektif maka ekonomi mereka akan terancam,” ujar Sukro Nur Harjono, Kepada Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kendati kini fatwa PP Muhamadyah tinggal gemanya, tetapi masih menyisakan kuat pertanyaaan: apakah fatwa haram rokok merupakan setting dan bagian serangan asimetris AS terhadap industri rokok di Indonesia? Pertanyaan barusan tidak untuk dijawab agar tulisan ini bisa dilanjutkan. Artinya selama tidak ditemui bukti-bukti materiil atas setting asing dalam fatwa di atas, silahkan diabaikan. Let them think let them decide.

Jujur saja bahwa pasar “rokok putih” produk asing memang kurang populer di masyarakat karena memakai tembakau sintesis yang terbuat dari bahan kertas dengan tambahan saos penambah rasa. Istilahnya “rokok kertas”. Orang Indonesia lebih menyukai jenis kretek. Klepas-klepus. Lebih gurih memakai asli tembakau. Catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008 di Indonesia terdapat 68 juta perokok aktif. Kini diperkirakan sekitar 70-an juta yang menghabiskan 250 miliar batang per tahun. Sebuah pasar menggiurkan bagi industri rokok dimana saja.

Dua tahun pasca heboh fatwa Muhamadyah, tampaknya para petani tembakau Indonesia harus kembali “sport jantung”. Munculnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penanggulangan Dampak Tembakau adalah pangkal penyebab. Tak kurang Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar mengungkap di Kudus, Jawa Tengah bahwa puluhan industri rokok sudah mulai menutup usahanya. Jumlah ini akan semakin bertambah jika RPP berlaku efektif. Bahkan berdasarkan perhitungan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan ada 500.000 orang terkena PHK bila diberlakukannya aturan ini. “Sekarang industri rokok kecil puluhan sudah ada yang tutup, di Kudus,” katanya di acara diskusi soal RPP Tembakau di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (20/6/2012).

Sudah barang tentu RPP tersebut mendapatkan reaksi frontal para pemangku kepentingan khususnya pengusaha rokok di Pulau Jawa. “RPP ini hampir finalisasi telah mendapatkan reaksi yang cukup keras dari stakeholder tembakau, puluhan ribu di Pamekasan, Jawa Tengah menemui saya meminta untuk ditunda, dan dalam hal ini saya menyampaikan aspirasi mereka,” ungkap Cak Imin, panggilan Pak Menteri.

Dari dua bukti keadaan (circumstantial evidence) tersebut meski tanpa bukti-bukti materiil, terkait asimetris yang kini dikembangkan oleh AS dalam menguasai “pasar” (negara target) melalui penghancuran pilar-pilar ekonomi negara, GFI berpendapat bahwa gerakan tersebut memang ada, nyata dan berada (berperan) mengancam ekonomi dan kedaulatan Indonesia. Sesuatu yang ada pasti nyata, dan mutlak berperan. Jangan dianggap enteng kedahsyatannya. Lepasnya Sipadan dan Ligitan merupakan contoh, bahwa langkah asimetris Malaysia ternyata lebih dahsyat ketimbang melalui angkat senjata.

Merujuk bahasan di muka tadi, pada intinya gagal melalui tataran hilir (fatwa haram rokok), AS melambung menyerang hulu via sistem dan aturan-aturan. Disini menguat hipotesa, bahwa topik-topik di atas terutama obat generik dan RPP dampak tembakau bakal diperjuangkan oleh AS dan aliansinya secara gegap gempita dalam KTT APEC via skema TPP.

Kepada para diplomat dan delegasi RI yang kelak duduk dalam KTT APEC atau forum-forum lainnya, kiranya agar senantiasa mendahulukan Kepentingan Nasional RI (Kenari) dengan merujuk kepada inti Tujuan Negara sebagaimana isi Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) memajukan kesejahteraan umum dan lainnya. Ya,  the power of national interest.

Pertanyaannya berikutnya adalah: Siapa “tangan-tangan siluman” dibalik kebijakan yang justru bertolak belakang dengan Kenari di republik tercinta ini?

Bloomberg, Philip Morris dan “Good Boy”

Tatkala World Trade Organization (WTO) membuat rancangan UU dan RPP terkait produk tembakau dimana draft-nya pararel sesuai keputusan WTO dekade 2002, sesungguhnya ia tengah kehabisan dana liquid. Entah bagaimana cerita organisasi dunia itu bisa bangkrut. Rumor tak sedap pun merebak, bahwa uangnya digunakan mendanai perang di Afghanistan, Irak dan lainnya. Entah iya atau tidak, rumor tetaplah rumor. Hukumnya sunah, boleh percaya tidak pun juga tak dilarang. Abaikan saja.

Pada saat yang sama WTO sedang mengatur tiga besar negara penghasil tembakau dunia terkait tugasnya. Cina merativikasi keputusan WTO guna melindungi produk tembakau dan rokok dalam negerinya. India pun demikian, ia merativikasi dalam rangka melindungi rokok (BIDIS) sebagai heritage India, sedang Indonesia langsung menandatangani keputusan WTO 2002 tanpa ratifikasi. Inilah titik awal.

Agaknya isue diplomasi global, jika soal teken meneken Indonesia nomor satu dan seringkali disebut good boy tetapi ke dalam justru “remuk”, bukanlah cerita kosong. Akhirnya adopsi tanpa ratifikasi ini menjadi peluang bagi Bloomberg. Ia mensponsori terbentuknya UU dan PP terkait dampak tembakau. Dengan demikian, RUU dan RPP tembakau di Indonesia sesungguhnya merupakan adopsi WTO tanpa ratifikasi. Sudah barang tentu “ruh” aturan tersebut dipastikan berpihak kepada sang donatur.

Dalam proses pembuatan draft-nya pun konon bermasalah, karena terdapat salah satu fraksi yang tidak pernah mau membahas sebab sangat meyakini apabila produk UU dan PP disyahkan bakal muncul gejolak sosial dan ekonomi di dalam negeri.

Selanjutnya sekilas tentang Bloomberg, ia adalah raksasa bisnis milik Michael Rubens Bloomberg, konglomerat Yahudi keturunan Eropa. Melalui Bloomberg LP, perusahaan media dan layanan data bisnis yang aktif mengurangi tingkat konsumsi rokok bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Telah sekitar 14 program dibuat Bloomberg Initiative (BI) Grants Program guna menekan angka penikmat rokok di Indonesia. Program Hibah Bloomberg menyediakan dana jutaan dolar US kepada kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), ormas keagamaan, universitas bergengsi dan lainnya. Sebagai contoh hanya untuk sebuah statement dari ormas yang berdampak psikologis karena memiliki massa banyak, Bloomberg mengeluarkan Rp 3,6 miliar. Belum program-program lain kepada LSM, universitas, kementrian terkait dan lainnya. Inilah data yang berserak di dunia maya:

(1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010;  (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan banyak lagi lainnya.

Dana yang mengalir ke Swisscontact Indonesia misalnya, di situs resmi Bloomberg Initiative disebutkan untuk periode Mei 2009 sampai April 2011, sebagai:

“The project aims to achieve a 100% smokefree Jakarta by implementation of existing legislation. Measures to build capacity will include the development of a multi-sector enforcement action plan within two years. A Jakarta Clean Air Act Enforcement Committee will be established, and a monitoring and evaluation system will be developed”.

Nikotin menjadi rebutan karena memiliki banyak manfaat medis, namun tak bisa dipatenkan. Nikotin terkandung secara alami pada tembakau, tomat, kentang, dan banyak jenis sayuran lain. Hanya senyawa “mirip nikotin” dan sarana pengantar nikotin yang bisa dipatenkan. Kepentingan industri rokok atas nikotin sudah jelas, sementara kepentingan industri farmasi adalah bisnis perdagangan obat yang dikenal dengan Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Motivasi terlihat jelas, yaitu membuat industri farmasi di atas angin tapi dengan menghancurkan indsutri rokok dan tembakau. Sebagai contoh perusahaan Pharmacia Upjohn, Novartis dan Glaxowelcome, menjadi sponsor terbentuknya WHO Tobacco Free Initiative (TFI). Ketiganya memasarkan produk-produk NRT. Pharmacia Upjohn menjual permen karet nikotin, koyok transdermal, semprot hidung dan obat hirup. Novartis menjual koyok habitrol. Glaxowelcome menjual zyban. Salah satu misi TFI adalah mempromosikan WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagai landasan hukum internasional memerangi tembakau. Geliat ketiga korporasi farmasi tersebut secara kronologis bermuara (merangkul) pada Bloomberg.

Dan tampaknya Philip Morris yang telah mengakuisisi 94 % saham PT. HM Sampoerna pun diduga kuat terlibat mendorong RUU/PP Tembakau untuk “menjatuhkan” harga tembakau, mengingat selama ini kesulitan membeli tembakau berkualitas. Sebagai produsen rokok, ia ingin membeli tembakau berkualitas tinggi dengan harga semurah-murahnya (monopoli) di Indonesia.

Alasan kenapa Paman Sam via aktor non negara bernafsu menghancurkan industri rokok di Indonesia, oleh sebab sumbangan cukai rokok pada APBN sebesar Rp. 54 triliun per tahun, selain itu juga menampung ratusan ribu bahkan sampai jutaan tenaga kerja. Sebagamana diurai di muka, salah tujuan gerak asimetris yang dikembangkan AS adalah dalam rangka menghancurkan pilar-pilar ekonomi suatu bangsa melalui aturan, sistem dan lainnya, maka intervensi asing via Bloomberg, Philip Morris dan lainnya dalam mengadvokasi RUU/RPP tembakau diindikasikan sebagai permainan untuk mengacaukan dinamika sosial dan ekonomi di Indonesia.

Sesuai isyarat Cak Imin, jika diberlakukan PP tembakau dapat mem-PHK sekitar 500.000 pekerja  yang pasti menimbulkan gejolak, kemiskinan, kriminalitas dan lain-lain, maka kuat diduga bahwa hal tersebut merupakan bagian dari konspirasi yang hendak menghancurkan republik ini dari sisi internal. Itulah kiprah nyata strategi asimetris asing di Bumi Pertiwi menjelang KTT APEC 2013, dimana Indonesia giliran sebagai ketua

Maka berhati-hati dan waspada adalah lebih baik bagi segenap tumpah darah, terutama pengambil kebijakan dan para elit politik yang berwenang atas terbitnya kebijakan. Sekali lagi, berorientasi pada Kepentingan Nasional RI adalah wajib dan mutlak bagi setiap kebijakan publik di negeri ini. Sebagai pernah dilansir oleh GFI (5/6/2012), bahwa KTT APEC 2013 diharapkan merupakan momentum kebangkitan kembali Politik Luar Negeri Bebas Aktif RI. Merdeka!

Merdeka yang sebenarnya!

(Dari berbagai sumber)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com