Geliat Superpower dan Fasisme di Jalur Sutra

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Melunaknya sikap Obama dan Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Anders Fogh Rasmussen (Global Future Institute/GFI, 25-01-2012) agar masalah nuklir Iran diselesaikan secara “damai” melalui jalur diplomatik dirasakan janggal, karena bertolak berlakang dengan tampilan dan sikap sebelumnya. Hal ini semakin menguatkan asumsi Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times bahwa politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Artinya dibalik open agenda kata “damai”-nya Obama niscaya membonceng hidden agenda yang lebih besar. Entah apa.

Demikian pula endusan Mahdi Darius, peneliti pada Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada pun atas memanasnya friksi antara pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutu versus militer Iran di Selat Hormuz dianggap sebagai “perang kata-kata” alias gertak sambal saja (baca: Perang di Selat Hormuz: Kegagalan yang Direncanakan di www.theglobal-review.com). Akan tetapi meski sekedar gertak sambal, efek bagi AS sendiri adalah meningkatnya indek penjualan industri pertahanan dan persenjataan. Tercatat di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) sekitar $ 123 miliar US telah terjual (www.darkgovernment.com) bahkan diperkirakan besaran angka tadi bakal terus naik selama suhu politik global tak kunjung reda. Belum termasuk meningkatnya harga-harga saham di pasar modal dan seterusnya.

Dari sisi nominal, sekilas nilai penjualan tadi relatif menggiurkan di tengah kebangkrutan ekonomi negara, namun sesungguhnya masih jauh dari signifikan jika dibanding utang $ 15 Trilyun US yang tengah membelit AS sekarang. Diduga besaran angka utang seharusnya lebih, lebih dan lebih besar lagi —mengingat kelaziman selama ini— Paman Sam selalu melakukan edit dan kontra berita di media mainstream bila menyangkut “harga diri”-nya. Jangan-jangan ia melakukan edit juga atas angka-angka utangnya?

Tulisan sederhana ini tak hendak membahas peta perang ataupun perubahan lokasi yang telah beberapa kali diulas di web GFI. Inti pokoknya dari peta praduga (perang) sebelumnya antara AS dan sekutu versus Iran dan koalisi di Selat Hormuz sebagai proxy war (lapangan tempur), diperkirakan geser ke Asia Tenggara dengan skenario antara AS dan sekutu melawan Cina dkk (Baca: Perang Asia Timur Raya’ di www.theglobal-review.comWaspadai Hadirnya Kembali Pasukan AS di Filipina Dengan Dalih Hadang Cina di Laut Cina Selatan, di www.theglobal-review.com). Inilah pokok bahasan.

Tiga Asumsi Pembedah

Kajian ini mencoba mengurai motivasi mengapa tiba-tiba “tensi” Hormuz diturunkan, sedang kapal perang masing-masing pihak bertikai ready to war di perairan. Disini menariknya kasus ini. Setiap perilaku apapun oleh siapapun sejatinya cerminan dari motivasi. Berangkat dari titik inilah analisa bergulir dengan merujuk beberapa dokumen dan asumsi guna membedah geliat superpower dan sekutu di Timur Tengah dan Afrika Utara (Jalur Sutra).

Asumsi pertama yang dijadikan pisau bedah adalah teori Tony Cartalucci, peneliti sekaligus kontributor di CRG: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”. Telah jelas penafsirannya. Langkah I matikan Timur Tengah. Langkah II mematikan Cina dan Rusia, maka hasilnya menguasai dunia. Itu benang merah. Dengan demikian, ketika terindikasi ada perubahan lokasi perang dari Selat Hormuz ke Asia Tenggara dengan skenario baru antara AS melawan Cina, bukan AS versus Iran atau Syria, maka perubahan perilaku tadi mutlak harus dibedah dari motivasi. Bagi AS sendiri, tujuan tetap yakni menguasai dunia, tapi dengan cara langsung mengambil langkah II. Menjadi wajar jika area Selat Hormuz sebagai Langkah I-nya Cartalucci hanya sebatas psy war atau shock and awe. Semacam tes mental bagi pimpinan negeri yang ditarget. Siapa tahu ia gentar lalu menyerah (lengser) semacam Ben Ali di Tunisia, Abdullah di Yaman, Mesir dan seterusnya, atau seperti dekade 1998-an dahulu di Jakarta. Akan tetapi sungguh diluar dugaan, Ahmadinejad ternyata ksatria sejati seperti halnya Gaddafi. Tak mundur sejengkal pun.

Demikian pula asumsi (dokumen) kedua, yakni Project for The New American Century & Its Implication 2002 (PNAC) dimana “ruh”-nya mirip-mirip teori barusan. Intinya menahan gerak laju Cina. Ini pararel dengan Langkah II-nya Cartalucci. Dalam perspektif hegemoni AS, bagi negara yang berpotensi pesaing harus dibendung dan dilemahkan dari sisi internal. Agaknya Cina dianggap kompetitor, karena selain mengkonsumsi separuh BBM di pasar internasional juga ketat bersaing dalam penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai belahan dunia. Pertanyaan kenapa harus “menggoyang” Tunisia, Yaman, dan lainnya, termasuk mengapa pula mesti melebarkan US Africa Command dan seterusnya —- niscaya asumsi Tony Cartalucci tergagap menjawab.

Asumsi ketiga ialah paparan (2005) Jendral Wesley Clark, mantan Komandan NATO bahwa “peta jalan” (roadmap) dalam penaklukan dunia telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan. Sedangkan menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak. Dan jika merujuk urutan sasaran menurut Clark, tampaknya target pertama (Irak) tidak salah dan itu telah dikerjakan oleh George W Bush tahun 2003 di Negeri 1001 Malam.

Kembali pada pertanyaan di muka mengapa Tunisia, Yaman dan Mesir ikut “digoyang” sedang mereka tidak tercantum dalam roadmap, bahwa peta jalan hanyalah pokok-pokok agenda meraih tujuan. Dalam implementasi lapangan sangat tergantung perkembangan situasi. Artinya mana lebih urgen, ini menguntungkan, atau itu cuma deception dan lain-lain. Contoh riilnya Sudan. Meski dalam peta yang dipaparkan Clark diletak pada urut terakhir, tetapi prakteknya justru mendahului bahkan sukses memecahnya menjadi dua negara (Sudan dan Sudan Selatan) via referendum (baca:  Peta Serangan ke Iran, Bagian dari Penaklukan Dunia oleh AS di web GFI). Barangkali inilah jawaban sementara supaya catatan ini bisa dilanjutkan.

Modus Baru Kolonial: “Merampok dan Utang Dibayar Bom” 

Terdapat modus atau seri baru perang kolonial sesuai isyarat Hugo Chaves dalam suratnya ke Majelis Umum PBB (baca: Modus dan Seri Baru Perang Kolonial, Waspada Buat Indonesia di www.theglobal-review.com). GFI menafsirkan model metode modus baru tersebut ialah “utang dibayar bom” yang telah gemilang memporak-porandakan Libya sekaligus “merampok” harta Gaddafi di luar negeri berkedok pembekuan aset. Kemungkinan besar keberhasilan modus tersebut menginspirasi para think tank Gedung Putih, kendati secara politis dan teritori Libya belum sepenuhnya terkuasai (baca: Perampok Internasional dan Modus Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com). Bahkan sebaliknya, pasukan pemberontak yang dibantu NATO dan tentara bayaran terlihat “babak belur”. Tanda-tanda terlihat. Indikator terbaru ketika ada (penebalan) 12.000 militer AS dikirim ke Libya, padahal komando operasi dalam resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone yang diperpanjang hingga Maret 2012 di Libya, telah diserahkan kepada NATO cq Prancis pada permulaan “keroyokan” militer.

Ya, penebalan mencerminkan situasi sebenarnya di medan pertempuran. Dalam logika militer modern, penebalan itu identik dengan penambahan. Menambah berarti kekurangan pasukan tempur. Kurangnya pasukan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) sebagian tentara desersi, stress atau mbalelo; (2) banyak yang tewas di medan pertempuran, dan (3) mengejar target tertentu karena deadline, dan lainnya.

Singkat kata, penambahan 12.000 tentara AS ke Libya merupakan bukti riil bahwa selain ada perlawanan maha dahsyat oleh pasukan loyalis Gaddafi terhadap upaya kolonialisme gaya baru, juga merefleksikan bahwa klaim-klaim kemenangan selama ini oleh para pemberontak dan tentara bayaran di berbagai media mainstream yang dikuasai Barat adalah BOHONG. Termasuk kontra skenario selama ini —video Gaddafi mati dan Saif al Islam, putra Gaddafi tertangkap— patut diduga hasil rekayasa alias PALSU. Dengan kata lain, skenario palsu dan kontra berita merupakan cipta kondisi, bertujuan selain untuk menjatuhkan moral prajurit juga bermakna bakal ada skenario lanjutan guna melancarkan modus baru perang kolonial semacam “perampokan” aset-aset Gaddafi, pembentukan pemerintah sementara (NTC) dan seterusnya.

Menyelami motivasi perubahan lokasi perang, dugaan GFI, modus “utang dibayar bom” kembali akan diterapkan oleh AS terhadap Cina. Alasan pokok selain banyak investasi Negeri Tirai Bambu di negeri para cowboy tidak jelas juntrungan serta tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ekonomi dan politis, yang utama adalah menghentikan “gerakan menolak dolar” yang diprakarsai oleh Cina dan Jepang. Indikasi kian benderang. Di Semanjung Korea misalnya, disela-sela masa transisi kekuasaan Korea Utara, militer AS dan Korea Selatan justru akan menggelar latihan perang gabungan mulai 27 Februari 2012 bersandi Key Resolve dengan tema provokatif, yakni: “Korea Utara sebagai Penghasut Perang”. Luar biasa! Tapi rezim baru Pyongyang bukannya gentar malah balik mengancam membalas tindakan Seoul karena tidak menghormati periode berkabung atas meninggalnya Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara.

Skenario berikut bila proxy war mengambil lokasi selain Semanjung Korea, mungkin pemicu yang dipilih soal pulau Paracel dan Spratly, atau klaim-klaim masalah perairan yang hingga kini masih disengketakan oleh Cina melawan negeri-negeri sekitar (Filipina, Malaysia, Taiwan, Brunei Darussalam dan lainnya).

Lawatan senator AS, John McCain dan rombongan di Filipina layak dicermati. Diskusi perihal Laut China Selatan yang ia gelar seperti “memanas-manasi”. Cenderung provokatif. Ia menyatakan, bahwa AS akan selalu bekerja sama dengan ASEAN untuk menciptakan kebebasan berlayar di Laut Cina Selatan. Oleh karena itu penting bagi AS dan Filipina untuk terus bekerja sama. Ditambah oleh Joseph Lieberman, rekan McCain, “Laut China Selatan adalah rute perdagangan Asia, karena itulah wilayah tersebut harus diamankan. Dan ini berarti, AS akan mendorong Filipina agar semakin meningkatkan postur militernya secara lebih agresif di kawasan Asia Tenggara, utamanya di sekitar Laut Cina Selatan”. Kami tidak bisa membiarkan satu negara seperti China melakukan pengendalian yang melampaui batas terhadap perairan itu, ujar Lieberman dikutip Arutz Sheva, Rabu (18/1/2012).

Sinyal rombongan McCain tadi setidaknya menawarkan hipotesa, bahwa AS selain siap membantu bila timbul konfrontasi dengan Cina, terbuka bagi Filipina untuk pemesanan peralatan perang kepada AS, maka siap-siap dibuka kembali pangkalan militer Subic dan Clark —doeloe ditutup 1990— bagi militer AS dengan dalih pengamanan Laut Cina Selatan yang diklaim Filipina sebagai “Laut Philipina Barat”.

Dari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa learning point yang boleh dijadikan titik pijak untuk diskusi-diskusi lanjutan dalam rangka merajut geliat superpower dan sekutu di Jalur Sutra. Antara lain sebagai berikut:

(1) AS dan sekutu niscaya tetap meletuskan Perang Dunia (PD) III dengan berbagai dalih demi kepentingan pemulihan sistem ekonominya. Disinyalir ia meniru plek pola pemulihan model Great Depression tempo doeloe (1930) dengan cara meletuskan PD II, lalu ekonomi AS pun kembali bangkit setelah banyak pemesanan pesawat tempur, peralatan perang dan lainnya. Selain itu, upaya penjualan alat dan persenjataan militer semata-mata guna mengimbangi pembayaran impor minyak (oil bills), dimana pada sisi lain juga mendukung industri pertahanan itu sendiri;

(2) Peta peperangan bakal berubah total. Tidak lagi antara AS versus Iran atau Suriah, namun justru antara AS dan sekutu melawan Cina, Jepang dan koalisinya. Urgensi perubahan peta semata-mata karena politik dolar. Artinya dolar sebagai simbol hegemoni AS di dunia mutlak harus “diamankan” serta dipertahankan. Peperangan di Selat Hormuz justru akan membuat hancur dolar yang masih menjadi alat transaksi (minyak) internasional. Meletuskan perang di Hormuz ibarat menutup “dapur utama” baik bagi AS maupun negara-negara di sekitar Selat Hormuz itu sendiri. Betapa 90% penghasilan delapan negara di sekitar Hormuz bersumber dari selat strategis tersebut. Tutupnya Hormuz karena perang selain menyumbat pasokan 41% minyaknya, di mata Paman Sam ibarat menghancurkan key point unggulan “percetakan” dolarnya;

(3) Dipindahnya lokasi PD III di Asia Tenggara melawan Cina dkk kendati kelak melalui negara proxy sebagai lapangan tempur, selain bermaksud menghentikan “gerakan menolak dolar” yang diprakarsai Cina dan Jepang, tampaknya AS ingin mengulang modus baru perang kolonial yakni utang dibayar bom terhadap Cina, dimana metode ini sebelumnya sukses meluluh-lantakkan Libya;

(4) Sebagaimana Langkah II-nya Cartalucci, mematikan Cina dan Rusia berarti menguasai dunia maka tersirat di dalam adalah merebut new roadsilk (jalur sutra baru) melalui perairan Laut Cina Selatan – Selat Malaka – Laut Andaman – Teluk Benggal lalu melenggang bebas ke Lautan Hindia. Ingat doktrin Alfred Mahan yang hingga kini masih disakralkan oleh angkatan laut Amerika: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia, maka ia menjadi kunci dalam percaturan dunia”.

Maka pantaslah upaya penguatan pangkalan militer AS di Pulau Garcia sebagai penyiapan infrastruktur geostrategi dan geopolitik menguasai Lautan Hindia, termasuk pencaplokan Pulau Socotra dari otoritas Yaman (2010) dahulu, karena ternyata Socotra merupakan pintu masuk utama menuju Jalur Sutra dari perairan. Sedangkan Darwin sendiri disinyalir sebagai pangkalan militer penopang guna menjaga “pekarangan” Lautan Hindia, menuju Jalur Sutra kendati mungkin terdapat agenda tersembunyi lainnya.

Dengan demikian, betapa strategis perubahan peta dan lokasi perang dari Selat Hormuz ke Asia Tenggara, bahkan mengandung urgensi tinggi atas kelanjutan masa depan AS di ujung kebangkrutannya. Betapa ia tengah berdiri di dua ambang situasi saling berhadapan, di satu sisi hasrat kuat merebut Jalur Sutra ibarat fatamorgana, namun pada sisi lain keterpurukan ekonomi nyata di depan mata. Inilah buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak yang mati. Bung Karno (BK) pernah berkata: “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”. Itulah satu-satunya jalan!

Membuat implementasi dan analog tesis BK atas geliat superpower di Jalur Sutra, sepertinya model-model fasisme ala AS dan sekutu sudah muncul di Jalur Sutra, terutama yang aktual saat mengeroyok Libya lewat resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang menggunakan dua seri baru perang kolonial yakni “merampok aset” dan “utang dibayar bom”. Menyaksikan sepakterjang superpower dan sekutu di Jalur Sutra, maka izinkanlah saya menyebutnya sebagai permainan biadab di era demokrasi dan HAM tetapi dikemas melalui tata cara beradab. Semoga kita semua waspada!

Terimakasih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com