The Global-Review.com
Jovenel Moise, merupakan presiden boneka yang dipasang oleh Amerika Serikat semasa pemerintahan Barrack Obama dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Namun pada 17 Oktober lalu, sebuah gelombang demonstrasi besar berskala nasional tumpah-ruah di berbagai lokasi strategis di Haiti. Mendesak agar pemerintahan pimpinan Presiden Jovenel Moise yang dipandang sebagai kaki tangan asing, segera meundur dari tampuk kekuasaan.
Gelombang demonstrasi tersebut berlangsung nampaknya mendapatkan momentumnya pada hari peringatan terbunuhnya perintis kemerdekaan sekaligus bapak bangsa Haiti, Janjak Desalin 212 tahun yang lalu.
Menariknya, berbagai elemen masyarakat Haiti nampaknya bukan sekadar ingin ganti presiden. Melainkan menggugat sistem produk neokolonialisme yang berlangsung sejak terbunuhnya Janjal Desalin 212 tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang.
Antara lain dengan diberlakukanya sistem sosial-ekonomi yang meminggirkan warga kulit hitam di Haiti, utang luar negeri yang terus-menerus dan semakin meningkat sehingga mencekek leher rakyat Haiti, perdagangan internasional yang tidak adil, swastanisasi semua aset-aset publik (negara) untuk kepentingan para elit penguasa, rendahnya gaji tenaga kerja sehingga tak ubahnya seperti praktek sistem perbudakan, serta diterapakannya pendekatan sistem pemerintahan berorientasi Eropa sentris yang didominasi oleh para elit penguasa berkulit putih.
Singkat cerita, para pengunjuk rasa menuntut diakhirinya kolonialisme dan imperialisme di Haiti. Bukan sekadar menuntut lengsernya Presiden Jovenel Moise.
Baca
Haiti: Nearly a Million People Took to the Streets. They Want the Western-imposed government out of Haiti
Bagi para warga Haiti yang berunjuk rasa di ibukota Haiti itu, terpilihnya Jovenel Moise maupun para anggota legislatif yang sebagian besar merupakan bandar narkoba, sejatinya merupakan produk dari sistem neokolonialisme dan imperialisme tersebut. Dengan kata lain, pemerintahan pimpinan Jovenel Moise dan koalisi di parlemen Haiti, merupakan produk hasil pemilu palsu yang tidak mendapat dukungan mengakar dari masyarakat Haiti. Namun sangat kondusif untuk dijadikan boneka kepentingan asing untuk mengeruk kekayaan alam Haiti yang sangat kaya raya.
Salah satu isu sensitif yang diangkat oleh para pemrakarsa unjuk rasa tersebuat adalah mendesak agar pemerintah mengembalikan dana bantuan untuk bencana alam sebesar 3,8 miliar PetroCaribe kepada pemerintahan baru yang sudah dapat legitimasi dari rakyat Haiti. Dana bantuan untuk penanggulangan bencana alam gempa bumi yang melanda Haiti itu, diyakini oleh para pengunjuk rasa telah dikorupsi dan dibagi-bagi kepada para elit oligarki penguasa. Padahal seharusnya dana itu untuk warga yang jadi korban bencana.
Lebih celakanya lagi, masyarakat Haiti memandang Jovenel Moise terlibat kejahatan pencucian uang. Sehingga masyarakat merasa tidak pernah memberikan suaranya pada seorang bandit macam Jovenel Moise.
Satu lagi catatan penting. Salah satu media arus utama Amerika Associated Press, hanya meliput berita demonstrasi besar berskala nasional itu sama sekali tidak mengangkat muatan strategis dari tema-tema yang diangkat para pengunjuk rasa. Sama sekali tidak mengangkat isu monopoli kekuasaan dan praktek sistem pemilu yang bersifat semu, maupun keterlibatan para konsultan politik Obama dan Hillary Clinton sehingga menghasilkan pemerintahan yang berhaluan sayap kanan dan mengabdi pada skema kolonialisme dan imperialisme di Haiti. Bukannya mengabdi bagi kepentingan nasional dan aspirasi rakyat Haiti.
Suatu bukti nyata bahwa media massa pun telah berkolaborasi dengan para elit oligarki penguasa. Dan sama sekali tidak mau tahu akan adanya arus besar yang mulai menyadari adanya neokolonialisme dan imperialisme masih berlangsung di Haiti. Dan mereka pada 17 Oktober lalu sedang menuntut diterapkannya sistem ekonomi yang adil serta kebebasan sejati, serta merangkul semua elemen dan kelompok-kelompok yang beraneka-ragam dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Sebuah pembelajaran penting bagi masyarakat dan para elit pimpinan nasional di Indonesia. Betapa berbahayanya sebuah kebebasan tanpa adanya situasi dan kondisi yang membebaskan alias Freedom but it is not free at all.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)