Benyamin Mararu, peneliti senior LSISI Jakarta
Berdasarkan sejarah, tanggal 1 Mei 1963, PBB mengembalikan Pulau Irian Barat ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia, dengan syarat bahwa rakyat di Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pilihannya, apakah bergabung dengan NKRI atau membentuk suatu negara sendiri sebelum akhir tahun 1969. Sesuai dengan syarat tersebut, Pemerintah Indonesia melaksanakan suatu langkah yang dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Hasil dari Pepera tersebut menunjukkan keinginan mutlak dari rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan NKRI. Keabsahan Pepera tersebut juga diakui dunia dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 dalam suatu Sidang Umum PBB 19 November 1969. Dalam sidang tersebut, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua tersebut.
Seiring dengan bergabungnya Papua, muncul pula gerakan-gerakan yang menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tujuannya tidak lain adalah untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tindakan tersebut dilakukan dengan berbagai macam teror-teror bersenjata terhadap pemerintah, TNI/Polri maupun masyarakat sipil sendiri. Terkait hal tersebut, aparat pemerintah giat melaksanakan patroli dan pengamanan di daerah-daerah dimana OPM beraksi dan tidak segan-segan menumpas yang bersenjata (insurgensi).
Belakangan ini sering terjadi bentrok secara sporadis antara aparat keamanan dengan kelompok organisasi Papua Merdeka mulai meningkat dimana terjadi penembakkan di berbagai tempat, seperti di Puncak, Kabupaten Lanny Jaya, di perbatasan RI-PNG, dan juga Kabupaten Kepulauan Yapen. Disamping itu sekitar akhir Oktober 2014 pihak kepolisian Papua berhasil menangkap Enggangrangkok Wonda alias Pinus Wonda alias Rambo Wonda dan Derius Wanimbo alias Rambo Tolikara serta 5 orang anak buahnya di Hotel Boulevard Jalan Patimura, Wamena_Kabupaten Jayawijaya. Rambo Tolikara merupakan pimpinan kelompok faksi militer OPM di daerah Balingga hingga Tolikara, ia terkait dengan aksi penyerangan warga sipil dan aparat di wilayah Kabupaten Tolikara, sedangkan Rambo Wonda dikenal juga sebagai kelompok Pilia, karena bermarkas Pilia, Lany Jaya. Kelompok sipil bersenjata tersebut juga terlibat dalam penembakan mobil ambulan milik Palang Merah Indonesia (PMI) Papua yang menewaskan seorang petugas PMI yang bernama Heri Yoman. Oleh sebab itu beberapa daerah Papua perlu mendapat perhatian khusus dari pihak keamanan.
Berangkat dari hal masalah tersebut diatas, sebagai masyarakat terutama yang berpendidikan sebaiknya tidak mudah terjebak oleh sikap dan tindak dari gerakan separatis OPM yang ingin memisahkan diri dari NKRI serta harus jeli dan waspada terhadap segala manuver ikut campurnya pihak asing melalui aksi-aksi propaganda yang cukup dasyat. Diperlukan aksi kongkrit yang komprehensif dan melibatkan seluruh komponen guna menjadikan Papua terbebas dari Gerakan sparatis. Upaya-upaya penyelesaian tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan kearifan lokal, artinya mari kita semua menyelesaikan masalah Papua dengan cara Papua dalam rangka menegaskan kembali bahwa Papua memang bagian dari NKRI yang tidak terpisahkan, karena sesungguhnya kita semua tidak ingin melihat saudara kita di Papua hidup menderita.
Seharusnya, melalui pembangunan yang semakin intens dilakukan oleh pemerintah justru cukup menyadarkan anggota-anggota kelompok separatis bahwa apa yang mereka perjuangkan selama ini tidak tepat dan justru menyebabkan Papua semakin terpuruk. Tindakan mereka tersebut, selama ini justru menyebabkan terhambatnya pembangunan di Papua. Perlu kita ketahui bersama bahwa di Papua sampai saat ini masih ada sebagian kelompok yang masih berbeda paham dengan ideologi NKRI, salah satunya yang sering kita kenal dengan Kelompok Gerakan Sipil Bersenjata (GSB) dengan tujuan ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan yang sering kali meraka lalukan yaitu melakukan kegiatan-kegiatan dengan cara menghasut dan meneror rakyat Papua guna mendukung kegiatannya, agar dapat melepaskan diri dari NKRI yang kita cintai. Sehingga kelompok bersenjata selalu membuat kerusuhan dan menjadikan kondisi wilayah Papua menjadi tidak kondusif.
Aksi kelompok sparatis Papua ini disinyalir untuk dijadikan sebagai propaganda internasional bahwa gerakan sparatis Papua masih ada. Tujuan dari propaganda kelompok sparatis Papua ini tidak lain untuk memperoleh pengakuan internasonal, guna menekan pemerintah Indonesia yang mereka anggap sebagai negara penjajah di tanah Papua. Kasus-kasus penembakan warga sipil maupun TNI/Polri yang dilakukan kelompok sparatis Papua tersebut harus mendapat perhatian serius, karena aksi mereka sudah merongrong wibawa pemerintahan yang mengakibatkan korban jiwa dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
JANGAN MENYERAH PERTAHANKAN NKRI
Pemerintah tidak boleh menyerah untuk tetap mempertahankan NKRI. Di negara –negara mana pun, jika ada sekelompok orang yang ingin merongrong kewibawaan pemerintah, maka tindakan untuk membasmi kelompok itu dinilai sebagai hal yang sangat wajar. Kasus separatis di tanah Papua menjadi suatu PR bagi pemerintah yang baru untuk segera menuntaskannya, agar tidak berkembang menjadi isu internasional. TNI-Polri harus bertindak secara tegas, jika gerakan separatis tersebut masih membuat ulah di Papua. Jadi merupakan hal yang sangat wajar apabila aparat keamanan mengambil tindakan preventif dalam rangka penegakan hukum. Gerakan separatis di Papua tidak boleh diberi toleransi sedikitpun, karena berkaitan dengan wilayah suatu negara yang berdaulat. Maka sudah sepatutnya kita menjaga keutuhan NKRI dan menghadang semua bentuk gerakan termasuk separatis yang ada di Papua. NKRI adalah harga mati, integritas bangsa adalah pertaruhan tertinggi dan oleh sebab itu, tidak sejengkal pun tanah di Republik Indonesia yang boleh dipisah-pisahkan oleh siapa pun.
Kepada pemerintah khususnya aparat keamanan perlu melakukan antisipasi dengan melakukan tindakan persuasive kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi pendukung dan simpatisan OPM agar tidak dimanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan tindakan terror yang bertujuan untuk mencoreng citra pemerintahan dimata dunia internasional. Selain itu aparat keamanan juga perlu melakukan suatu pendekatan yang lebih terukur dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan pemuda agar bisa secara bersama-sama melakukan tindakan persuasive kepada warga untuk tidak terpengaruh kedalam kelompok separative tersebut.
Persoalan pemberontakan dan separatisme yang terjadi di Papua harus diselesaikan secara tuntas hingga ke akar-akarnya. Penyelesaian harus dilakukan secara integral, dan tidak selalu mengedepankan aksi represif. Penulis menghimbau kepada aparat keamanan untuk segera menumpas habis seluruh kelompok sparatis Papua, jangan sampai masalah sparatisme tersebut menjadi duri dalam daging. Masalah sparatis harus diselesaikan dengan baik, jangan ada dendam lama maupun baru. Bravo keutuhan NKRI, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote.
Untuk itu, sekali lagi penulis menghimbau kepada seluruh masyarakat Papua dan Papua Barat, baik yang berada ditanah Papua maupun yang diperantauan agar tidak terprovokasi oleh segala bentuk isu-isu yang negatif. Terhadap pihak TNI dan Polri harus selalu siap untuk memberikan pengamanan terhadap masyarakat Papua dan Papua Barat. Bagi siapa saja yang mengganggu dan berusaha untuk membuat kekacauan di tanah Papua yang damai ini akan ditindak dengan tegas sesuai hukum dan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.