GFI dan Jejer Wadon Gelar Bareng Pameran Ianfu di Solo

Bagikan artikel ini

Rusman, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Global Future Institute (GFI) turut berperan serta dalam serangkaian kegiatan bertema “Ianfu” yang diprakarsai oleh Jejer Wadon. Komunitas yang peduli pada isu perempuan ini menggelar serangkaian acara seperti Diskusi, Pameran Foto, Pemutaran film dengan tema “Ianfu.” Serangkaian kegiatan ini mengusung tema besar ‘Nona Jawa Dibalik Rekrutmen Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang “ianfu” di Indonesia 1942-1945.

Acara yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah pada 8 sampai 12 Maret 2013 ini perlu mendapat diapreasi setinggi-tingginya. Setidaknya itu yang disampaikan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Instiute (GFI). “Ianfu sebagai kebijakan paksa kepada rakyat Indonesia menjadi pekerja seks. Karena berbagai riset dan penelitian, sejarah telah membuktikan bahwa memang ada dan nyata telah terjadi hal tersebut, di berbagai negara Asia tenggara,” jelas Hendrajit.

Catatan kelam masa penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945 perlu kembali diingat sebagai sebuah sejarah yang tak terlupakan.  Pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang “Ianfu” sebagai korban perbudakan seksual tentara Jepang masihlah minim. Oleh sebagian besar masyarakat, “Ianfu” masih banyak dipahami oleh masyarakat sebagai wanita penghibur, padahal kenyataannya “Ianfu” merupakan praktek perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang.

Terkait tema “Ianfu”, GFI sebagai sebuah lembaga kajian Internasional sejak awal konsen pada sejarah kekejaman militer Jepang di Asia Pasifik. Pada 25 Oktober 2010 bersama dengan berbagai elemen seperti Jaringan Solidaritas Ianfu Indonesia (JSSI), GFI memprakarsai seminar sehari bertajuk “65 Tahun Kapitulasi Jepang Dalam Perang Asia Pasifik- Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militer Jepang di Asia Pasifik”.

Seminar yang digelar di Hotel Santika, Slipi Jakarta ini melahirkan sebuah Deklarasi bersama, yang menyatakan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut:

Rekomendasi Ihwal Potensi Kebangkitan Kembali Militerisme Jepang di Asia Pasifik

  1. Menyadari konstalasi dan dinamika politik internasional yang semakin menajam antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini, maka trend dan potensi kebangkitan kembali postur Angkatan Bersenjata Jepang yang semakin agresif dan ekspansif harus mendapat perhatian yang intensif dan penuh kewaspadaan oleh para pemegang kewenangan keamanan nasional di Indonesia.
  2. Perlu segera dibentuk panel para ahli dengan melibatkan berbagai elemen strategis bangsa yang menaruh minat dan perhatian yang intensif dalam bidang politik internasional, untuk memantau dan menganalisis perkembangan pertahanan dan kemiliteran Jepang dalam dua sampai tiga tahun mendatang.
  3. Para peserta seminar mengingatkan adanya indikasi kuat Jepang untuk digunakan sebagai proxi (perpanjangan tangan) Amerika Serikat untuk menghadapi Cina sebagai kekuatan baru dan pesaing baru di kawasan Asia Pasifik, sehingga Amerika ada indikasi kuat kali ini untuk mendukung penguatan kembali kekuatan militer Jepang pada skala yang jauh lebih agresif dan ekspansif di masa depan.
  4. Menyadari tren dan potensi menguatnya kembali aspirasi berbagai kalangan ultra-nasionalis Jepang untuk menghidupkan kembali kekuatan militerisnya pada skala agresif maupun dorongan kuat dari dalam negeri Jepang untuk merevisi kembali buku-buku sejarahnya dari perannya sebagai agresor menjadi pembebas dalam Perang Asia Pasifik pada Perang Dunia II, maka para peserta seminar merasa perlu untuk membuka dan meluruskan kembali berbagai kejahatan perang Jepang yang merupakan buah dari sejarah kelam militerisme Jepang di Asia Pasifik dan Indonesia pada khususnya.
  5. Seluruh pembicara maupun peserta aktif seminar bersepakat bahwa Jugun Ianfu (Kebijakan Paksa bagi Perempuan Indonesia sebagai Pekerja Sex), Romusha (Kebijakan Buruh Paksa terhadap warga masyarakat Indonesia) serta Heiho (Kebijakan paksa wajib militer pada para pemuda Indonesia), merupakan buah langsung dari militerisme dan kejahatan perang Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.
  6. Maka tuntutan bangsa-bangsa Asia Pasifik, utamanya Indonesia, agar Jepang menunaikan kewajiban internasionalnya terkait dengan peran masa lalunya yang kelam itu,  tidak saja sah dilihat dari sudut norma Hak-Hak Asasi Manusia secara universal, melainkan juga mengandung nilai-nilai etis dan keadilan.

Rekomendasi Ihwal Jugun Ianfu, Romusha dan Heiho Indonesia

  1. Pemerintah Indonesia, beserta segenap insntasi yang terkait dengan isu Jugun Ianfu Indonesia seperti Departemen Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Luar Negeri, harus secara aktif dan progresif berperan dalam mengusut kembali sepak-terjang Jepang ketika menjajah Indonesia, khususnya berkaitan dengan para korban Ianfu Indonesia kembali mendapatkan martabat kemanusiaannya, reputasi dan nama baiknya di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sehingga mendapatkan tempat yang layak dan semestinya sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
  2. Mendesak Pemerintah Indonesia agar Pemerintah Jepang meminta maaf kepada para korban Ianfu Indonesia, sebagaimana secara gamblang dikumandangkan oleh salah seorang korban Ianfu Indonesia di depan seminar ini.
  3. Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia agar secepatnya mendesak Pemerintah Jepang, agar segera menggolkan Rancangan Undang-Undang Ianfu.
  4. Para peserta seminar mendukung dan memberi apresiasi yang setinggi-tingginya atas prakarsa dan keberhasilan anggota Kongres Amerika Serikat Michael Honda untuk menggolkan Resolusi 121 pada 2007, sehingga seluruh negara yang menjadi korban kejahatan perang Jepang, diwajibkan untuk segera mengeluarkan RUU Ianfu, dan menggolkannya menjadi UU sehingga perjuangan para korban Ianfu dalam menuntut rehabiitasi dan kompensasi mendapatkan kekuatan dan payung hukum yang kuat.
  5. Mendesak kepada pemerintah Jepang untuk membuka seluruh dokumen pemerintah yang berkaitan dengan sistem perbudakan seksual militer Jepang 1932-1945 kepada publik.
  6. Pemerintah Indonesia, selain fakta bahwa Ianfu sudah dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah, harus lebih pro aktif dan progresif dalam menegaskan fakta sejarah bahwa sistem perbudakan seksual militer Jepang memang nyata-nyata pernah diterapkan di Indonesia sebagai bagian integral dari sepak-terjang militerisme Jepang selama 3,5 tahun penjajahannya di Indonesia.

Kemudian, pada 7 November 2011 Global Future Institute menggelar workshop yang mengangkat tema: “Strategi Membangun Kesadaran Sejarah bagi Generasi Masa Depan Sejarah Ianfu Indonesia: Kasus Ianfu Indonesia dan Rawa Gede.” Para peserta bersepakat bahwa Perjuangan terhadap para Korban Ianfu Indonesia harus diletakkan dalam perspektif Mengembalikan Harkat dan Martabat mereka sebagai Korban.

Workshop yang berlangsung di Wisma Daria, Jakarta Selatan ini melahirkan beberapa usulan yang menjadi langkah kongkrit, yang perlu disampaikan sebagai bahan masukan baik kepada pemerintah Indonesia maupun Dewan Perwakilan Rakyat:

  1. Perlu Pelurusan Sejarah Ianfu Indonesia bahwa mereka adalah korban akibat Kejahatan Perang Tentara Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.
  2. Mengusulkan kepada pemerintah Indonesia, agar segera memasukkan Jugun Ianfu ke dalam buku sejarah sebagai korban dari masa Penjajahan Jepang di Indonesia.
  3. Perlu segera dibuat monument, prasasti atau bahkan museum, sebagai simbol yang bisa berbicara mengenai apa yang terjadi pada waktu penjajahan Jepang di Indonesia, dan apa yang pernah dialami oleh para Korban Ianfu Indonesia, khususnya Kaum Perempuan Indonesia.
  4. Mengingat pentingnya peran Pemerintah dalam mendukung dan membantu perjuangan elemen-elemen masyarakat terhadap para korban Ianfu Indonesia dalam konteks mengembalikan harkat dan martabat mereka sebagai korban, maka perlu adanya keterlibatan lintas-kementerian yang ada di pemerintahan. Meminta Pemerintah Indonesia agar Jepang harus bertanggungjawab dalam keikutsertaannya dalam pelurusan sejarah Jugun Ianfu Indonesia. Sehingga tidak cukup hanya dengan permintaan maaf saja.
  5. Meminta Pemeritan Indonesia agar Jepang ikut membantu pengungkapan sejarah Ianfu Indonesia.
  6. Meminta perhatian dari seluruh lembaga-lembaga pendidikan terkait dengan pengajaran sejarah di semua tingkatan pendidikan, dalam menyajikan Sejarah Ianfu Indonesia menurut sudut pandangn sejarah yang benar dan faktual.
  7. Menggarisbawahi pentingnya Penyelesaian Soal Ianfu Indonesia diletakkan dalam perspektif hubungan Indonesia-Jepang yang lebih setara dan bermartabat.
  8. Untuk program jangka pendek, mengingat kehidupan para korban saat ini yang berada dalam kesulitan ekonomi, maka perlu segera digagas Program Jaminan Sosial bagi para korban Ianfu yang berada di luar konteks program Lanjut Usia.

Workshop yang terselenggara atas prakarsa dari Global Future Institute tersebut dihadiri berbagai kalangan, yaitu Eka Hindra (Peneliti Independen Ianfu Indonesia), Irwan Lubis (Advokator Kasus Rawa Gede), Peter Rohi (Peneliti Kasus Rawa Gede), Indri H. Mustika (Peneliti Ianfu Indonesia), Irwan Lubis (Yayasan KUKB Perwakilan Indonesia/Advokator Kasus Rawa Gede) Hesti Armiwulan (KOMNAS HAM), Dra. Ngemat Ernita Kaban, M. Si (Kasubdit Pelayanan Lansia Dalam & Luar Panti) KEMENSOS RI, Ahmad Subarkah (Kasubdit Pelayanan Lansia Dalam & Luar Panti) KEMENSOS RI, Amurwani D. Lestariningsih, M. Hum (Direktorat Nilai Sejarah KEMENDIKBUD RI), Kurniawati, S.Pd., M. Si (Fak. Ilmu Sosial Jurusan Sejarah Univ. Negeri Jakarta), Syafrizal Rambe (Staf Ahli Komisi VIII DPR RI) dan Kusairi (Pelaku Media).

Kolaborasi Pameran Ianfu 2013 di Solo

Memperingati hari perempuan sedunia pada tahun 2013 yang jatuh pada tanggal 08 Maret, Jejer Wadon sebagai komunitas yang peduli pada isu perempuan, bekerjasama dengan Jaringan Solidaritas “Ianfu” Indonesia dan Balai Soedjatmoko Solo menyelenggarakan Diskusi, pameran Foto, Pemutaran film dengan tema “Ianfu”. Tema besar acara yang berlangsung Balai Soedjatmoko Solo, dijalan Slamet Riyadi 275 Solo ini adalah NONA DJAWA Dibalik Rekrutmen Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang “Ianfu” di Indonesia 1942-1945.

Dalam pameran ini Global Future Institute (GFI) turut memamerkan buku berjudul “Japanese Militarism and Its War Crimes in Asia Pacific Region.”  GFI juga menyumbangkan 25 buku tentang Kejahatan Militer Jepang tersebut untuk dibagikan secara gratis stakeholders yang terkait dalam pameran di Solo.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com