GMNI dan Konferensi Asia Afrika

Bagikan artikel ini

Paulus Londo, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Maret 2015, GMNI memperingati ulang tahunnya ke 61. Sedangkan pada April tahun yang sama Indonesia menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konperensi Asia Afrika. Adakah benang merah sejarah yang mempertautkan dua peristiwa bersejarah ini ? Jika dicermati dengan seksama, jelas dua peristiwa tersebut berpangkal tolak dari niat yang sama. Yakni konsolidasi kekuatan nasionalis Indonesia untuk menegaskan jatidirinya sebagagai bangsa yang merdeka, baik di dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Pembentukan GMNI hanya salah satu segmen dalam proses konsolidasi tersebut.

Gelombang dinamika perpolitikkan nasional dan internasional pada awal dasawarsa 1950-an memang cukup keras, dan nyaris membuat Indonesia bergerak tanpa arah yang jelas. Benturan pemikiran dan kepentingan antar kelompok di dalam negeri serta resonansi gejolak politik internasional menimbulkan berbagai persoalan yang membutuhkan jawaban mendasar dari bangsa dan negara Indonesia yang kala itu baru berumur satu dasawarsa astau 10 tahun.

Dan dari sekian banyak masalah, setidaknya terdapat 4 persoalan yang harus disikapi dengan tegas, yakni:

1. Mengenai Pancasila sebagai dasar negara yang kala itu masih digugat oleh sebagian kalangan yang menghendaki penggantian dasar negara dengan ideology yang lain.

2. Polemik tentang Bentuk Negara antara pihak yang mengendaki bentuk Kesatuan (Unitaris) dengan pihak yang mempertahankan bentuk Negara Serikat (Federalis).

3. Polemik tentang Bentuk Pemerintahan antara pihak yang menghendaki bentuk Presidensial dengan pihak yang menghendaki bentuk Parlementer.

4. Resonansi Perang Dingin antara kubu Kapitalis (Blok Barat) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Kubu Komunis (Blok Timur) yang dipimpin oleh Uni Soviet. Adalah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Foster Dulles dengan tegas menyatakan bahwa sikap negara yang tidak memihak salah satu blok adalah amoral.

Pertentangan pemikiran dan konflik kepentingan politik tersebut, juga merambah ke dalam kampus-kampus perguruan tinggi. Situasi dan kondisi inilah yang mendorong perlu penyatuan 3(tiga) organisasi mahasiswa beraliran nasionalis marhaenis dalam satu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Karena itu, pada awal kelahirannya GMNI mengemban misi memperjuangkan pemikiran dan kepentingan kelompok nasionalis di lingkungan perguruan tinggi.

Fungsi peran tersebut kemudian secara positif ditegaskan dalam motto GMNI, yakni “Pejuang Pemikir – Pemikir Pejuang,” yang cukup menjelaskan arena perjuangan GMNI ada pada wilayah pemikiran. Jasdi pertanyaan: Masihkah GMNI konsisten menggarap wilayah pemikiran sebagai misi perjuangan? Pergerakan dalam bentuk aksi-aksi di lapangan memang kerap menghadirkan romantisme yang dapat memenuhi dahaga heroisme orang muda. Namun seyogyanya tidak terlena dengan itu. Sebab sejatinya yang diharapkan dari GMNI adalah lahirnya pemikiran-pemikiran segar yang dijiwai oleh ruh Pancasila yang mampu menjamin tetap tegaknya kemerdekaan bangsa di tengah hempasan gelombang penjajahan di bidang pemikiran yang dengan halus merasuk ke dalam jiwa bangsa ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com