Paulus Londo, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
ejatinya, sejak awal dasawarsa 1950-an, Presiden Soekarno telah berniat menyelenggarakan pertemuan negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia dan Afrika. Tapi mewujudkan niat tersebut tidak mudah, sebab situasi dalam negeri masih begejolak. Di Jawa Barat, serangan gerilya anasir-anasir Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII), masih menghantui penduduk. Bahkan anasir-anasir gerilya DII/NII bisa dengan mudah masuk kota, termasuk kota Bandung dan Ibukota Jakarta.
Selain DII/NII pimpinan Kartosoewiryo, juga terdapat anasir-anasir gerakan bawah tanah cukup mengganggu keamanan dan ketertiban, seperti NIGO (Netherland Indische, Geurilla Organisation) ciptaan Belanda. Menyerahkan sepenuhnya masalah pemulihan keamanan dan ketertiban hanya kepada alat negara yakni tentara dan polisi jelas tidak akan membuahkan hasil dalam waktu singkat. Para perwira belum sepenuhnya solid dan kompak menghadapi situasi politik di dalam negeri. Terjadi antara pro dan kontra Gerakan 17 Oktober 1952 yang dilancarkan oleh A H Nasution.
Menghadapi teror DI/NII, Divisi Siliwangi yang berbasis di Jawa Barat, termasuk Ibukota Jakarta, sudah berusaha dengan keras memburu elemen-elemen pengacau keamanan, termasuk dengan menggelar operasi kontra gerilya. Tapi karena sebagian kekuatan Siliwangi juga dikerahkan untuk mengatasi gejolak di beberapa daerah, maka pernanggulangan masalah keamanan d Jawa Barat belum juga tuntas.
Karena itu Presiden Soekarno melibatkan tokoh-tokoh sipil dalam pemulihan keamanan dengan harapan pertemuan antar pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika dapat terselenggara dengan aman. Tahun 1951, Presiden Soekarno mengangkat H SANUSI HARDJADINATA, menjadi Gubernur Jawa Barat. Tokoh PNI kelahiran Garut dan kala itu berusia 37 tahun diyakni dapat menggerakan jejaring Pamong Praja dan Pamong Desa dapat membantu merwujudkan keamanan dan ketertiban di Jawa Barat selama Konperensi Asia Afrika berlangsung. Melalui jejaring organisasi PNI di desa-desa, Sanusi Hardjadinata mengingatkan mereka yang mendukung dan bersimpati kepada DI/NII agar tidak membuat kekacauan selama konperensi berlangsung. Sebab dapat merusak citra umat Islam Indonesia di mata pemimpin negara-negara Islam yang hadir dalam konperensi ini. Jika mereka mau menyaksikan keramaian Konperensi Asia Afrika, dipersilahkan datang ke Bandung. Tapi jangan berbuat coba-coba berbuat onar, sebab bagi yang mengacau akan disikat oleh Siliwangi.
Himbauan Gubernur Sanusi Hardjadinata disambut positif oleh pendukung dan simpatisan DI/NII. Beberapa dari mereka datang ke Bandung menyaksikan keramaian Konperensi Asia Afrika. Sebelumnya (tahun 1953), Gubernur Sanusi Hardjadinata telah menciptakan system pengamanan lingkungan berbasis masyarakat desa, khususnya di wilayah kota Bandung. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban setiap lelaki berusia di atas 15 tahun dikenakan kewajiban ronda minimal sekali dalam seminggu. Setiap orang yang bertamu lebih dari 24 jam mesti melapor kepada Pengurus RT. Dan bagi yang hendak meninggalkan tempat tinggal lebih dari 48 jam mesti membawa surat izin dari Wedana (Pikiran Rakjat 9 April 1952). Pengawasan kietat oleh warga masyarakat kota Bandung ternyata cukup efektif mebatasi ruang gerak anasir-anasir pengacau keamanan selama Konperensi Asia Afrika berlangsung.
Tahun 1952, Presiden Soekarno memanggil R SOEDIRO yang kala itu sedang menjabat Gubernur Sulawesi untuk menjadi Walikota Kotapraja Jakarta Raya. Bung Karno yang sudah sangat mengenal Soediro, sebab saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan Soediro menjadi tangan kanan Bung Karno. Kedekatan Soediro dengan tokoh-tokoh masyarakat Jakarta juga tak diragukan lagi. Ia adalah pemimpin Barisan Pelopor yang merupakan inti Barisan Banteng. Soediro pula yang pertama membentuk Satuan Pengawal Presiden yang terdiri dari para pendekar-pendekar Jakarta untuk mengamankan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Untuk membangun keterlibatan rakyat dalam penciptaan keamanan dan ketertiban Ibukota Jakarta, R Soediro mengaktifkan institusi RT dan RW yang mengikuti pola Tonarigumi pada masa penjajahan Jepang. Melalui RT dan RW, Walikota Soediro menggerakkan masyarakat, tidak hanya untuk mernciptakan keamanan dan ketertiban tapi juga untuk kebersihan Ibukota Jakarta. Sebagai pemimpin pemerintah Ibukota, R Soediro berusaha agar Jakarta dapat jadi tuan rumah yang baik bagi para tetamu negara yang datang ke Indonesia. Sebagai saslah seorang pemimpin PNI, Soediro juga menggerakkan jejaring partai hingga ke pelosok kampung, yang kala itu sebagian besar merupakan aktifis PNI.
Dengan strategi keamanan berbasis rakyat maka selama berlangsung Konperensi Asia Afrika, situasi di dalam kota Bandung, Ibukota Jakarta dan jalur jalan raya yang menghubungkan dua kota ini relatif aman. Sementara di luar kota Bandung, pertempuran sengit tet5ap terjadi antara TNI dan kelompok pemberontak DI/NII. Bahkan pertempuran kian memuncak pada masa sesudah Konperensi Asia Afrika.
Terselenggaranya KAA tidak hanya memberikan pelajaran berharga bagaimana menggalang kerjasama antar bangsa, tapi juga menjadi contoh keberanian pemerintah mengadakan pertemuan internasional, di satu wilayah yang sarat dengan gangguan keamanan, melalui penggalangan potensi rakyat. Hal ini seyogyanya jadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan generasi mendatang.