Konflik Berkelamin Baru Di Abad Ke-21

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik atas Upaya Lepas dari Jerat Kolonialisme
Ketika catatan kecil ini terbit, peta terbaru konflik internal di Amerika Serikat (AS) terutama konflik horizontal (bentrokan antarsesama warga), tampaknya tidak lagi menyoal black and white alias kulit hitam versus kulit putih, namun kini mengerucut pada dua kubu saling berhadapan yakni kubu pro-Israel dengan pro-Palestina. Ini fenomena dahsyat —“konflik berkelamin baru”— di AS pada perempat abad 21 pasca rusuh sosial beraroma rasis silam yang dipicu isu kematian George Floyd (warga kulit hitam) akibat lehernya ditekan dengan lutut oleh Derek Chauvin, Polisi Federal, di Minneapolis (5/2020). Ya, menu konflik jenis baru tersebut bertitel solidaritas kemanusiaan.
Muncul postulat dan opini baru di publik Barat khususnya AS, bahwa konflik black and white selain kontra produktif bagi peradaban Barat, juga dinilai kuno, sudah dianggap sejarah (jahiliyah) masa lalu.
Tak tanggung-tanggung, massa pro-Palestina bukan dari golongan muslim serta akar rumput belaka, tetapi didukung oleh mahasiswa dan belasan kampus top di AS seperti Universitas Negeri Ohio, Yale, Pittsburg, Maryland, Institut Teknologi Massachusetts, Universitas Colombia, Texas dan lain-lain. Data ini akurat. Dan fenomena ini juga mencerminkan bahwa kebijakan Gedung Putih tidak selalu berbanding lurus dengan aspirasi warga si pembayar pajak dan dunia kampus.
Kuat diduga, kebijakan elit politik AS pada isu ini, berpihak kepada industriawan strategis dan kontraktor perang. Untuk poin ini, nanti diulas pada sesi tersendiri.
Selaku pembelajar geopolitik, saya merasakan bahwa hari ini, sedang terjadi apa yang disebut dengan istilah geopolitical shift (pergeseran lanskap geopolitik) baik di internal negeri superpower itu sendiri maupun pada lentera geopolitik global.
Konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Ini sudah jamak di dunia geopolitik. Terdapat resonansi dan cyrcle antara konflik global dengan konflik lokal, misalnya, konflik Syi’ah melawan Sunni yang selama ini merupakan appetizer (menu pembuka) alias pintu masuk bagi kolonisasi Barat di Dunia Islam, secara perlahan kini rontok. Tak lagi laku akibat faktor berdamainya Iran (Syi’ah) dan Arab Saudi (Sunni) atas inisiasi Cina-Rusia melalui forum BRICS. Maknanya, jika Barat cq AS dkk masih menggunakan pola lama —konflik sebagai pintu masuk— kolonialisme di negeri produsen minyak dan gas, maka ia harus mencari pintu lain sebab pintu konflik Syi’ah versus Sunni sudah tertutup dan ditutup oleh BRICS. Termasuk kolonisasi Barat di Mali, Burkina Faso, Niger, Senegel, Guine dan lain-lain di Afrika. Masing-masing negara sudah mulai melepas diri dari jerat kolonialisme yang membelenggu gerak hidupnya. Inilah yang kini terjadi secara simultan di pelbagai belahan bumi.
 
Selaku pembelajar, saya tidak apriori bahwa dedengkot BRICS —Rusia dan Cina— berada di belakang konflik berkelamin baru tadi, tetapi manuver nirmiliter (asymmetric) keduanya telah memetik simpati dan empati publik global. Cina via OBOR atau Belt and Road Initiative (BRI) dengan plus-minusnya di negara target, Rusia melalui kebijakan menoleh (memberi) ke kanan dan kiri, terutama bantuan pangan dan energi.
Agaknya, perubahan rezim global sudah di depan mata. Hal tersebut disebabkan faktor distrust atau ketidakpercayaan publik global terhadap kiprah hegemoni Barat kian meluas di pelbagai belahan dunia, contohnya:
1. Tidak ada pemenang dalam Perang Dagang (Trade War) antara Cina versus AS yang menguras energi dan hegemoni masing-masing;
2. Kekalahan koalisi militer Barat pimpinan AS melawan Taliban di Afghanistan dan Irak (2001-2021). Hal ini mematahkan teori perang modern bahwa siapa kalah jumlah pasukan serta kalah canggih mesin perang identik dengan kalah perang;
3. Munculnya BRICS dengan konsep multipolar yang sulit dibendung oleh Barat, dimana konsep tersebut hendak mengganti ‘unipolar’-nya AS khususnya Rezim Petro Dollar yang berjaya sejak 1971-an silam dimana US Dollar sebagai Currency World;
4. Perang Rusia-Ukraina semakin membuka mata dunia bahwa Barat ternyata memiliki ketergantungan atas suplai pangan dan energi dari Rusia;
5. Merebaknya solidaritas kemanusiaan melalui aksi non-state actors (Hamas, Hezbullah, Houthi) dalam konflik Palestina versus Israel. Isu ini, mutlak harus ‘dihitung ulang’ oleh para adidaya Barat karena keberanian serta mereka memiliki power, jaringan yang solid, senjata rudal dan drone yang tidak kalah canggih.
Nah, bagaimana dengan konflik senyap di Indonesia pasca Pemilu, khususnya Pilpres 2024?
Tampaknya, konflik berkelamin baru itupun tengah berproses senyap di republik ini. Ada silent conflict. Dan nyaris tanpa kegaduhan di atas permukaan. Sungguh unik. Sesama koalisi justru menyimpan hidden agenda dan intrik kekuasaan, sementara pihak oposisi malah saling menebar simpati, bahkan empati atas nama legitimasi.
Wait and see!
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com