Hakekat Perayaan Tahun Baru adalah ISLAM

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Adalah keniscayaan dimanapun diseluruh dunia bahwasanya sejak zaman dahulu kala manusia itu pada dasarnya memerlukan sebuah acuan atau pegangan hidup dalam bermasyarakat terutama dalam menggerakkan roda pemerintahan, keagamaan hingga acara kebudayaan yang bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakatnya. Munculnya peperangan demi peperangan pada zaman dahulu adalah demi pengakuan sebuah “tanda” atau “ayat” yang kiranya akan membawa kebaikan ummat manusia itu sendiri.

Indonesia adalah negara yang unik karena menjadikan empat tahun baru sebagai hari libur nasional, yaitu tahun baru Masehi, Hijriyah, Imlek, dan tahun baru Saka (Hari Raya Nyepi).

Perbedaan yang signifikan dalam penentuan tanggal, bulan atau periode tahun adalah sistem penanggalannya. Kalender Masehi menggunakan sistem solar (matahari), kalender Hijriyah menggunakan sistem lunar (bulan), sementara tahun baru Imlek dan tahun Saka berdasarkan sistem luni-solar (gabungan antara perhitungan matahari dan bulan).

Banyak kalangan yang menganggap Imlek sebagai hari raya umat Konghucu. Pemikiran ini sah-sah saja, sebab umat Konghucu memang mencantumkan Imlek sebagai hari raya agamanya. Penanggalan Imlek dimulai sejak tahun 2637 SM pada masa Kaisar Huang Ti (2698-2598 SM). Pada masa itu Imlek justru dirayakan untuk menyambut musim dingin, dengan tujuan agar musim dingin yang kelam dapat disambut dengan berbagai perayaan dan kegembiraan untuk mengusir para siluman dan arwah jahat.

Penanggalan ini terus dipakai dengan berbagai modifikasi di masa-masa kekaisaran China berikutnya. Biksu Khongcu yang hidup pada zaman Dinasti Chin (1122-255 SM) melakukan berbagai perubahan dan menetapkan sebagai hari raya agama. Imlek pun diubah menjadi perayaan untuk menyambut musim semi. Jadi Imlek sudah ada 1400 tahun sebelum agama Konghucu ada. Di beberapa bagian dunia, tahun baru Masehi adalah hari raya umat Kristiani. Mereka merayakannya dengan ibadah kebaktian di gereja-gereja. Lalu apakah kita bisa mengklaim bahwa tahun baru Masehi sebagai hari raya hanya untuk umat Kristiani? Tahun baru pertama kali dirayakan pada 1 Januari tahun 45 SM (atau 45 tahun sebelum kelahiran Kristus). Perayaan ini berlangsung tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan menjadi Kaisar Roma, sekaligus untuk menghormati para dewa Romawi Kuno, hal ini ditandai dengan penyebutan nama-nama bulan berdasarkan nama dewa.

Tahun Saka yang identik dengan kemashyuran nagari Nusa Dwipa Swarna atau Nusantara ini juga dimulai saat menyatunya 4 bangsa besar (Wangsa Kerta di era Wangsa Keling, Baca : Peradaban Indonesia, sebuah catatan yang hilang di Global Review.com) yang dulu pernah menguasai dunia dan menyebar ke berbagai negari dibelahan dunia akhirnya mau disatukan kembali oleh sang raja adil dan bijaksana, Aji Saka di era Medang Kamulyan atau era Kejayaan, dimana berbagai literatur kuno nenek moyangnya dulu dipelajarinya secara komprehensif yang salah satunya ditandai dengan munculnya penanggalan (kalender) SAKA yang dianut oleh ke empat bangsa besar. Tahun penyatuan itu terjadi pada tahun 78 Masehi atau 78 tahun kemudian setelah kemunculan tahun Masehi.

Adalah salah kaprah jikalau tahun Saka identik dengan kedatangan Aji Saka pada 378 tahun kemudian ke negeri Medang Kamulyan di bumi Rembang, Jawa yang katanya diklaim berasal dari India, seperti halnya klaim bahwa huruf Pallawa berasal dari India. Dalam pallawa tidak dikenal kata-kata “SANG”. Justru inilah kejayaan Wangsa Kerta yang masuk ke bumi India yang berasal dari Era Wangsa Keling (bangsa kuat) yang dulu menghuni tanah jawa ini.

Kalender Islam (Hijriyah) secara resmi mulai dipakai sekitar tahun 638 M. Apakah sebelumnya orang Arab tidak mengenal sistem penanggalan? Jauh sebelumnya, orang-orang Arab Jahiliyah tentu saja sudah mengenal penanggalan dengan sistem lunar yang berasal dari tradisi bangsa Persia Kuno. Sistem lunar sangat praktis karena penentuan pergantian bulan mudah diterapkan berdasarkan siklus bulan baru dan bulan purnama. Masalahnya adalah sistem penanggalan ini hanya mengenal angka tanggal dan bulan, tidak mengenal angka tahun pada waktu itu. Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah (eksodus) Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah tepat pada 16 Juli 622 M. Jadi ketika Khalifah Umar bin Khattab menetapkan tahun Hijriyah sebagai penanggalan resmi, tahun Hijriyah tidak dimulai dari tahun 1 Hijriyah, tapi langsung tahun 17 Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah 17 tahun sebelumnya. Makna Hijrah disini ditandai dengan perubahan tatanan baik berbangsa dan bernegara ke sesuatu yang lebih baik dan baik lagi.

Kembali ke pokok bahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun dasar acuan tahun yang digunakan sebagai awal penentuan kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya mutlak harus mengacu kepada kesadaran jiwa manusia untuk memulai segala sesuatunya secara bersih (hening), karena dengan jiwa bersih inilah segala bentuk trik, maksud terselubung ataupun politik suatu peradaban bangsa bisa terlaksana dengan seia-sekata alias guyup rukun, tata tentrem karta raharja, persis seperti yang diutarakan oleh Mpu Tantular dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.

Bangsa yang beradab otomatis akan mempunyai sebuah peradaban yang tinggi bukan sebaliknya, contohnya adalah Era kejayaan Wangsa Keling, Medang Kamulyan maupun era Kahuripan. Dalam peradaban yang tinggi itulah setiap catatan sejarah akan dibukukan dan dipahat dalam berbagai bentuk baik yang terlihat seperti bangunan candi, tulisan dan seterusnya ataupun dalam bentuk kasat mata seperti berbagai macam local wisdom yang ada dalam masyarakatnya.

Maka tak heranlah apabila dalam pemaknaan awal tahun baru, nenek moyang kita selalu mendahulukan sebuah sedekah atau sesajen (kalau dipantai disebut nyadran) sebagai bentuk ujud syukur kepada tuhannya untuk kebaikan satu tahun kedepannya, seperti halnya perayaan awal tahun baru Saka yang umumnya dirayakan oleh ummat Hindu Tengger maupun Bali dengan mengawali 4 tahapan atau proses Hening atau bertafakur diantaranya: 1. Amati geni (tidak menghidupkan api), yang tersiratnya : Berpuasa (mupu rasa) 2. Amati karya (tidak bekerja), tersiratnya : I’tiqaf atau menyendiri bersama Tuhannya. 3. Amati lelungaan (tidak bepergian), tersiratnya berdiam diri dalam rumah atau tapa brata. 4. Amati lelanguan (tidak bersenang-senang/ menghibur diri dengan tontonan dll), tersiratnya ya bermuhasabah diri atau bertafakur atau mengoreksi diri demi kebaikan satu tahun kedepannya. Ke-empat tahapan diatas tiada lain ternyata bukan lain merupakan salah satu ujud syukur manusia dalam memasrahkan (ASLAMA) dirinya kepada yang Maha Kuasa (Sang Hyang Widi, Yang Maha Esa) agar setiap langkah dalam hidup maupun kehidupannya selalu mendapatkan tuntunan-NYA. Dari bahasan diatas maka terlihatlah nilai keagungan dari sebuah tahun baru yang tidak sekedar hanya berpesta pora seperti yang kita lihat dimedia cetak maupun elektronik, tapi lebih dari itu ternyata ada makna hakiki yang berhubungan dengan ujud refleksi diri sebagai insan yang berakal dalam mengemban amanah di bumi ini apakah mau terus menjaganya ataukah sebaliknya dengan makin merajalelanya bentuk angkara murkanya.

Pertanyaannya adalah: Bukankah setiap yang berjiwa itu selalu dan condong kepada yang namanya selamat atau Keselamatan (Islam)? Mudah-mudahan dengan momentum tahun baru ini menjadikan diri kita diri yang pasrah (aslama) dengan tetap bersandarkan Tuhan Langit sebagai penuntun kita dimanapun berada, tanpa itu semua niscaya kita ini bagaikan debu-debu dipadang pasir yang sewaktu-waktu siap hilang tergerus oleh kuatnya angin ataupun derasnya air hujan, Aamiin.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com