Hari Buruh, Libur Nasional dan Wartawan

Bagikan artikel ini

Amril Jambak, peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

1 MEI merupakan Hari Buruh Sedunia. Seluruh buruh merayakan hari tersebut dengan berbagai rangkaian kegiatan, salah satunya menggelar aksi demonstrasi di pusat-pusat perkantoran pemerintahan, meski hari tersebut merupakan hari besar yakni libur.

Di Indonesia, Hari Buruh Sedunia juga dirayakan seperti halnya yang dilakukan buruh-buruh di negara lain. Namun kali ini, perayaan tersebut berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah menetapkan mulai 1 Mei 2014, Hari Buruh Sedunia ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Terlepas ada unsur politisnya. Yang jelas, mulai tahun ini pemerintah yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, dipenghujung jabatannya menetapkan Hari Buruh Sedunia menjadi hari libur nasional.

Tidak seperti tahun sebelumnya. Jika pemandangan 1 Mei selalu digelar aksi unjuk rasa kaum buruh. Tapi untuk tahun ini, hanya beberapa daerah menggelar unjuk rasa damai.

Seperti dikutip dari kompas.com, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Kamis (1/4/2014), menyebutkan 10 tuntutan para buruh, pertama, naikkan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi KHL menjadi 84 item, dua, tolak penangguhan upah minimum, ketiga, jalankan Jaminan Pensiun Wajib bagi buruh pada Juli 2015, keempat, jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes 69/2013 tentang tarif, serta ganti INA CBG’s dengan Fee For Service, audit BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, kelima, hapus outsourcing, khususnya outsourcing di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja outsourcing, keenam, sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI No 39/2004, ketujuh, cabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan, delapan, angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 Juta per orang/per bulan dari APBN untuk guru honorer, sembilam, sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh dan sepuluh, jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

 

Belum Layak

Selain itu, ada yang menarik dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Mereka bersama gerakan buruh juga menggelar demonstrasi. Memang yang mereka usung bukanlah hal yang baru, masalah gaji wartawan yang mereka angkat rasanya sangat menarik, takkala penyampaiannya saat memperingati Hari Buruh Sedunia di Jakarta.

Seperti dilansir dari republika.co.id, menurut perhitungan AJI, upah layak untuk wartawan  pemula di Jakarta pada 2014 sebesar Rp 5,7 juta per bulan. Namun sayangnya, dari 55 media di Jakarta yang disurvei baru-baru ini, sebagian besar perusahaan media menggaji wartawannya yang baru setahun bekerja hanya sekitar Rp 3 juta per bulan.

“Kami ingin mengimbau khususnya perusahaan media yang memberikan gaji di bawah standar untuk memenuhi Kepmenperindag 121/tahun 2002 sebagai bentuk keterbukaan dan pertanggung jawabannya kepada pegawai dan publik,” ujar Divisi Pendidikan & Peningkatan Kapasitas Profesi AJI Jakarta, Wahyudi, dalam rilisnya, Kamis (1/5/2014).

Secara keseluruhan total pengeluaran, perusahaan media di Indonesia masih relatif lebih rendah porsi pengeluran gaji untuk pegawainya. “Kami mencoba mengukur dengan menghitung rasio antara total pengeluaran gaji dibanding total pendapatan perusahaan,” kata Wahyudi.

Menurut pengamatan penulis, masalah gaji wartawan tersebut, tidak hanya saja terjadi di Jakarta saja. Di provinsi lainnya, seperti Kepulauan Riau, Riau, Sumbar dan provinsi lainnya, gaji wartawan pemula masih belum memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), seperti yang sering kita dengar saat penetapan upah minimum provinsi, kabupaten dan kota di Tanah Air.

Miris memang. Tapi inilah kenyataan pahit yang harus ‘dinikmati’ kuli tinta di Tanah Air ini. Meski berbagai organisasi wartawan, seperti AJI yang selalu menyoroti masalah gaji ini, hingga sekarang belum ada perusahaan pers yang memiliki keinginan untuk mengikuti upah layak wartawan.

Memang penulis juga menyadari, khususnya media yang lokal yang berdiri sendiri (tidak grup, seperti Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia, Sindo dan lain-lainnya). Masalah pemenuhan gaji sesuai yang disebutkan AJI tersebut masih belum bisa dilaksanakan, karena kemampuan menambah pemasukan memerlukan perjuangan amat berat yang harus bertarung dengan media besar, khususnya yang dimiliki grup-grup besar tersebut.

Tapi penulis berkeyakinan, pemilik media dan pengelola massa lokal, pasti memiliki keinginan mensejahterakan karyawannya, baik bidang redaksi dan bidang usaha. Caranya, dengan mendirikan koperasi karyawan dan meminjamkan modal ke koperasi tersebut untuk menjalankan usaha berujung kepada bagi-bagi deviden pada Rapat Akhir Tahun (RAT).

Namun ada juga pemilik media massa, yang cuek akan masalah karyawannya. Sehingga karyawannya tidak nyaman bekerja dan hijrah ke media lain yang dianggap lebih baik dari medianya bekerja saat ini.

Tentunya wartawan selalu berharap akan gajinya, karena ini akan bisa membantu mereka menjaga profesionalnya dalam bertugas mencari berita. Semoga saja ini terjadi di masa yang akan datang, Amin.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com