Hormati Hukum, Aksi 212 Tidak Perlu Dilakukan

Bagikan artikel ini

Stanislaus Riyanta, Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta

Ahok dianggap menistakan agama saat berbicara di depan warga Kepulauan Seribu. Gubernur DKI non aktif ini menyebut surat Al Maidah ayat 51 dipakai membohongi warga untuk tidak memilihnya. Ucapan Ahok ini membuat dirinya dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penistaan agama. Tidak hanya dilaporkan ke Polisi, unjuk rasa besar-besaran terjadi pada tanggal 28 Oktober 2016, dan 4 November 2016 sebagai reaksi atas ucapan Ahok.

Polri dengan cepat melakukan penanganan. Penyelidikan dan gelar perkara dilakukan secara transparan.  Polri akhirnya secara resmi menetapkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta non aktif, sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama.

Setelah penetapan Ahok sebagai tersangka mulai terlihat jelas bahwa ada kelompok yang murni menuntut kasus penistaan agama untuk diproses hukum tetapi juga terlihat ada kelompok yang diduga mempunyai kepentingan lain.

Tindakan cepat dilakukan Joko Widodo selaku Presiden, Kapolri Jendral Tito Karnavian, dan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo untuk mendeteksi dan memilah pihak-pihak tersebut. Presiden Joko Widodo melakukan silaturahmi politik, Kapolri melakukan pendekatan-pendekatan kepada tokoh agama. Lambat laun mulai terlihat peta kekuatannya.

Dugaan politisasi kasus penistaan agama ini berkembang. Rencana aksi lanjutan yang direncanakan pada tanggal 2 Desember 2016 diindikasikan ada kepentingan lain. Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian menyatakan bahwa ada upaya makar dalam rencana aksi 2 Desember 2016. Tito menyampaikan bahwa upaya makar tersebut diperoleh dari hasil rapat-rapat rahasia yang terdeteksi.

Polri secara umum menyikapi hal ini dengan menyatakan akan memperketat pengamanan Gedung DPR. Selain itu Polri melalui Kapolda-Kapolda akan mengeluarkan maklumat terkait hal tersebut. Kapolri dan Panglima TNI kompak bahwa tindakan makar akan dihadapi dengan tegas.

Beberapa pihak yang pro dengan rencana aksi 2 Desember 2016 tentu saja gerah dengan tudingan makar ini. Mereka menuntut kepada Polri untuk menunjukkan siapa yang akan melakukan makar. Walaupun kekuatan dari pihak yang pro aksi 2 Desember 2016 mulai berkurang tetapi aksi mereka tentu saja harus disikapi dengan seksama.

Ketegasan Polri dan sikap TNI yang akan menghadapi unjuk rasa yang menjurus kepada makar membuat perubahan dinamika pihak yang akan melakukan aksi 2 Desember 2016. Beberapa ormas Islam besar seperti PBNU dan PP Muhammadiyah menyuarakan pendapatnya terkait aksi 2 Desember 2016. MUI pun demikian, bahkan MUI menyatakan bahwa GNPF MUI bukanlah merupakan bagian dari Dewan Pimpinan MUI dan tidak ada hubungan struktural formal apapun juga antara DP MUI dengan GNPF MUI. Padahal diketahui sebelumnya bahwa aksi unjuk rasa terkait penistaan agama ini bergerak atas nama GNPF MUI.

Jika dilihat dari tuntutan awal agar Ahok diproses hukum terkait dugaan penistaan agama, maka sebenarnya pasca penetapan Ahok sebagai tersangka tidak perlu dilakukan aksi unjuk rasa lagi. Polri sudah melakukan penyelidikan, penetapan tersangka dan sekarang sedang dalam tahap penyidikan. Tito sebagai Kapolri menjanjikan proses penyidikan secepatnya sehingga bisa diserahkan kepada Kejaksaan.

Publik yang menuntut agar Ahok diproses hukum sebaiknya mengikuti dan mengawal kasus ini. Langkah yang dilakukan oleh Polri sudah transparan. Setelah nanti penyidikan selesai dan berkas lengkap dan dinyatakan P21, maka tugas selanjutnya akan dilakukan oleh Kejaksaan. Publik bisa menyaksikan secara bersama-sama persidangan kasus penistaan Agama ini.

Tentu saja apapun keputusan pengadilan harus dihormati mengingat hal tersebut dijalankan sesuai dengan perundangan yang berlaku di Indonesia sebagai negara Hukum. Jika ada pihak yang tidak puas atas putusan hakim masih ada mekanisme untuk melakukan banding. Hal-hal sesuai prosedur hukum inilah yang bisa dikawal dan dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan kasus ini. Bukan dengan melakukan aksi-aksi jalanan yang rawan ditunggangi oleh kepentingan tertentu.

Perjalanan kasus ini masih panjang. Jika diasumsikan 2-3 minggu lagi penyidikan selesai dan akan dimulai sidang pertama, maka belum tentu 1-2 bulan persidangan di tingkat pertama akan menghasilkan putusan. Pihak Ahok pasti akan menggunakan saksi ahli yang meringankan, begitu pula dari penuntut akan menggunakan saksi ahli yang menguatkan. Persidangan yang kemungkinan akan dilakukan secara terbuka dan memakan waktu yang panjang ini akan membuktikan apakah Ahok bersalah atau tidak.

Setidaknya, penulis mempunyai tiga skenario terkait perkembangan terkini menjelang 212 (yang diplesetkan di medsos dengan gerakan Wirosableng), yaitu pertama, skenario yang disebut balance of power dengan indikasi baik kelompok pro maupun kontra terkait kasus Ahok terlihat langsung atau tidak langsung “bertempur” di medsos ataupun melakukan penggalangan ke basis massa masing-masing. Kedua, disebut skenario chaos, dimana skenario ini akan terjadi jika kedua belah pihak dalam skenario pertama sama-sama ngotot turun ke jalan dan di sisi yang lain aparat keamanan gagal membendungnya. Dampak dari skenario ini adalah aksi anarkis dan munculnya “security gap” yang dapat dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan serangan pendadakan, yang pada akhirnya pemerintahan bakal lengser. Ketiga, skenario mass ignorance, skenario ini yang perlu diupayakan oleh seluruh pemangku kepentingan di masyarakat untuk terus-menerus mendekati, memberikan literasi/pencerahan bahkan melakukan sejumlah upaya agar masyarakat menjadi mengerti dan paham bahwa mereka akan merugi jika mengikuti unjuk rasa 212, dengan kata lain perlu ada penggalangan semesta untuk menciptakan “massa cuek atau mass ignorance” tersebut.

Mari hormati hukum yang berlaku di Indonesia. Penanganan kasus penistaan agama ini sudah dilakukan dengan baik dan profesional oleh Polri. Tuntutan aksi 4 November 2016 sudah dipenuhi dengan melakukan proses hukum terhadap Ahok. Selama proses ini berjalan tidak perlu dilakukan aksi-aksi lain yang tidak relevan. Jika tetap melakukan aksi lanjutan, apalagi jika ada kelompok-kelompok lain yang bergabung dan menyuarakan hal lain diluar kasus penistaan agama, maka hal itu justru menguatkan dugaan Polri tentang upaya makar.

Proses hukum yang sedang dilakukan harus didukung tanpa tekanan dan kegaduhan. Aksi lain diluar proses hukum justru bisa membuat bangsa ini terkuras energinya. Hal itu juga menjadi titik rawan yang bisa dimanfaatkan oleh pihak asing dalam proxy war untuk melemahkan Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com