HOS Tjokroaminoto Sang Inspirator Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

Bagikan artikel ini

Membaca kembali kiprah HOS Tjokroaminoto mengecam mandulnya kekuasaan Sunan Pakubuwono X Kraton Solo dan Mangkunegara VII sebagai pemimpin Pribumi pada 1919 silam, pada zamannya merupakan sesuatu yang baru dan mencerahkan. Sekaligus strategis dan taktis.

Ada 3 poin yang diserang Pak Tjokro terhadap kraton Solo.

1. Sebagai pemimpin pribumi, Sunan dan para bangsawan kraton secara politis mandul. Jadi sebaiknya para raja jawa itu mending dipensiun aja. Cukup dapat gaji pensiun 100 gulden. Daripada menyedot uang rakyat dari pajak, hanya untuk memamerkan upacara dan kemegahan semu.

2. Sunan Solo menghambur-hamburkan uang rakyat untuk pesta dan kemegahan, hanya buat membangun citra kalau mereka masih berkuasa. Padahal sebagai pemimpin lokal sudah mandul. Sudah kekuasaannya mandul, pesta kemegahan buat menutupi kemandulannya pun diongkosi rakyat.

3. Mandulnya kekuasaan sunan kraton solo berarti para raja dan pangeran kraton tak lebih cuma antek antek penjajah.

Untuk mencari inspirasi dalam merespons kondisi nasional saat ini, analisis dan pandangan tokoh sentral Sarekat Islam ini memberi tiga learning point:

1. Pak Tjokro menyadari bahwa akar penyebab krisis pada 1919 kala itu, pemerintah kolonial belanda memanfaatkan mandulnya kekuasan lokal kraton sebagai penguasa boneka. Kalau sekarang namanya Oligarki. Jadi di sini Pak Tjokro menyerang kraton tapi tujuan strategisnya melancarkan perang urat syaraf pada Belanda.

2. Pak Tjokro tahu, dengan menghantam feodalisme kraton tanpa menyerang belanda secara langsung dan frontal, pak Tjokro menciptakan ketegangan internal antara pihak kraton dengan aparat birokrasi pemerintah belanda pada tingkat provinsi, dalam hal ini residen semarang dan asisten residen surakarta.

3. Pak Tjokro tidak menciptakan revolusi. Namun dalam kerangka pergerakan moral melawan penjajahan, Pak Tjokro menciptakan konteks revolusioner dalam pergerakannya. Sehingga rakyat dan elit bumiputra yang buta politik, menyadari siapa klas penindas dan siapa saja yang termasuk klas yang tertindas.

Dari sebab itulah Pak Tjokro menggulirkan kesadaran bertahap pada rakyat bahwa dalam sistem kolonialisme Belanda di bumi nusantara, dibangun atas dasar perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme.

Pelajaran yang inspiratif dari Pak Tjokro yang merupakan mentor awal bung Karno ini, kalau mau minum kopi. Jangan cuma minta suguhan kopi. Memilih ragam jenis biji kopi dan menggiling kopi hingga menggodok kopi, sama pentingnya.

Sayangnya para politisi islam sekarang belum ada yang secerdas Tjokro. Dalam menghadapi tipu muslihat musuh. Tjokro mampu menempatkan diri di atas yang bikin tipu muslihat dengan membongkar muslihatnya. Dan mampu berdiri di atas para korban tipu daya musuh, sebagai penuntun orang “buta.”

Pandangan dan analisisnya sebagai tokoh pergerakan Islam dengan kerangka penglihatannya yang tidak biasa, pada perkembanganya, diteruskan dan dikembangkan oleh dua anak didiknya. Yaitu Sukarno dan Semaun.

Sukarno, 31 tahun kemudian sejak Tjokro menelanjangi topeng kraton sebagai antek penjajah ketimbang pemimpin politik bumiputra, Sukarno pada 1930 melakukan penyingkapan cara pikir dan cara kerjanya sistem penjajahan Belanda di Indonesia. Melalui pledoi pembelaannya di depan pengadilan Belanda di Bandung dengan judul: Indonesia Menggugat.

Profil pemimpin Indonesia mendatang hendaknya punya dua ciri sifat pak Tjokro. Penyingkap tabir apa yang sesungguhnya berlangsung di balik layar. Kedua, sebagai pembimbing dan penuntun bagi “orang-orang buta.”

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com