Dasasila Bandung 1955: Multilateralisme dan Pilar Kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN

Bagikan artikel ini

“ Demi perdamaian dunia yang hakiki, semua orang akan berlomba-lomba dengan kekompakkan antar bangsa, perempuan maupun laki-laki, anak kecil hingga orang dewasa, untuk kehidupan lebih baik”

Pendahuluan: Perjalanan Konflik dan Perdamaian di Asia

Pada 8 Agustus 1967, lima pemimpin Menteri Luar Negeri Indoensia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand duduk bersama di aula utama gedung Departemen Luar Negeri di Bangkok, Thailand dan mentandatangami sebuah dokumen. Berdasarkan dokumen itu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lahir. Lima menteri Luar Negeri yang menandatanganinya, Adam Malik, dari Indonesia, Narciso R. Ramos dari Filipina, Tun Abdul Razak dari Malaysia, S.Rajaratnam dari Singapura, dan Thanat Khoman dari Thailand, selanjutnya akan dianggap sebagai Bapak pendiri dari organisasi antar pemerintah palin sukses di duni berkembang saat ini.

Dan dokumen yang mereka tandatangani akan dikenal dengan Deklarasi ASEAN. Itu adalah dokumen singkat dengan kata-kata sederhana yang hanay berisi lima artikel. Ini mendeklarasikan pembentukan Asosiasi Kerjasama NegaraNegara Asia Tenggara untuk dikenal sebagai Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan menjabarkan maksud dan tujuan itu. Maksud dan tujuan ini adalah tentang kerjasama di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknis, pendidikan dan lainya, dan dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional melalui penghormatan terhadap keadilan dan supermasi hukum dan ketaatan pada prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa-PBB. Piagam, ditetapkan bahwa Asosiasi akan terbuka untuk partisipasi semua negara di kawasan Asia Tenggara yang menganut maksud, prinsip dan tujuanya (asean.org).

Secara visioner Indoensia memiliki dua fase dalam perumusan geopolitik, saat bangsa-bangsa di Asia dan Afrika mengalami masa-masa sulit mengahadapi krisis situasi ekonomi politik global kala itu, pada tahun 1945 hingga 1950-an. Rumusan geopolitik yang pertama, saat Indonesia harus berperan dalam dipolmasi antara pihak sekutu AS dan Inggris vs Jepang, atas pentingnya diberikan hak dan ketentuan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia untuk bebas dari campur tangan oleh pihak manapun dalam menentukan jalanya sebuah negara yang merdeka. Atas prakarsa inilah, dapat di maklumi oleh pihak sekutu dan Jepang atas pernyataan mengenai perlunya diberikan hak bagi Indonesia untuk merdeka, dan akhirnya dapat diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Yang dapat dilihat rumusan geopolitk fase pertama ini, terletak pada ketepatan dalam memainkan kebijakan politik luar negeri di dalam orbit negara-negara yang menduduki secara penuhh atas teriorial wilayah Indonesia, serta turut pula melakukan hubungan kerjasama yang cenderung tidak berpihak pada ketentuan hak dan demorkrasi sebuah bangsa. Dengan begitu peran Indonesia dapat di dukung oleh negara-negara sekutu dan juga penghormatan atas upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia dengan Jepang.

Pada fase kedua, Indonesia kembali merumuskan kebijakan geopolitik, yang kita kenal dengan Dasasila Bandung melalui KTT antara Asia dan Afrika pada tahun 1955. Pada fase ini Indonesia kerap dihadapkan dengan bi-polaritas geopolitik antara Uni-Soviet dan AS di kawasan Asia dan Afrika, yang di kenal dengan perang dingin (cold war). Sikap Indonesia atas respon dari dua blok geopolitk ini, yaitu turut menawarkan suatu konsepsi tentang sebuah gerakan non-blok (non-aligned), dengan tujuan untuk tidak berada pada pihak mana pun, dan juga tidak ikut mencampuri urusan-urusan yang berkaitan dengan rivalitas serta konfrontasi satu dengan lainya.

Di sisi lain, para negara Asia dan Afrika memanfaatkan KAA sebagai instrumen untuk menuju keanggotaan PBB. Pasalnya, lebih dari separuh negara-negara peserta KAA 1955 terhambat oleh Blok barat dan Blok timur di PBB. Hal-hal itu yang mendorong kemunculan sebuah Common Interest dalam bentuk balancing without alliances di antara negara-negara Asia dan Afrika (Desmond S Andrian).

Sembari melihat unipolaritas yang berlangsung hingga 60 tahun terakhir semenjak terselenggaranya konesesus Wanghsinhton pada 1944 lewat konferensi Breeton Wood’s, negara-negara Asia Tenggara masih belum sepenuhnya berjalan dengan suatu komitmen yang mewarisi sikap multilateral yang termaknai lewat kehendak hidup berdampingan di dalam visi serta misi konferensi Asia dan Afrika pada awal 1955. Untuk itu, ketika memasuki awal abad 21, plan multilateralisme di dengungkan atas kebangkitan negara-negara berkembang di Asia dan juga Asia Tenggara, kerjasama menuju mulitilateralisme tidak dan belum secara faktual dirumuskan atas skema polaritas geopoltik regional secara khusus bagi negara-negara anggota ASEAN. Dan sangat sensitif secara politik dengan plan ini, sebab mutilateralisme akan menutup pintu unilateral yang di pimpin oleh negara-negara maju. Maka, perlu tindakan jalan keluar bagi masa depan ASEAN yang lebih baik.

Diskusi.
Konflik dan Pergeseran Geopolitik ke Kawasan Asia.

Pada awal abad 21 konflik dan pergeseran geopolitik ke kawasan Asia telah kita jumpai setelah ketegangan di Timur-Tengah, terutama di negaa-negara teluk yang mengitari sepanjang gurun pasir. Ketegangan sampai pada level konflik di Timur Tengah ditandai dengan upaya memenuhi keutuhan suplai energi dan minyak. Konflik yang demikian kemudian dikenal dengan musim semi Arab (Arab spring) yang bergejolak pada pertengahan tahun 2011. Gejolak bermula dari kehendak negara-negara maju yang berlomba-lomba ingin menguasai separuh dari kawasan perdagangan di negara-negara Timur Tengah. Menariknya, negara-negara Timur Tengah yang berada dalam orbit kosentrasi geopoolitik negara-negara maju, secara historis belum memiliki upaya tersendiri sebagai momentum untuk menciptakan perdamaian dunia, terutama di kawasan negara-negara teluk, selayaknya yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang berlangsung pada tahun 1955, yang dikenal dengan Konferensi Asia-Afrika-KAA. Padahal jika dilihat secara gambaran umum, konflik di Timur Tengah hampir mirip dengan fase peristiwa Asia dan Afrika saat itu, namun yang membedakanya hanya pada orientasi konnfliknya, yakni benturan Sunni dan Syiah, Radikalisme, kudeta Rezim dls. Sebenarnya, ada kesempatan dan peluang besar dalam retorika diplomasi serta bagaimana memainkan peran geopolitik untuk perdmaian kawasan, tapi upaya tersebut belum sampai pada kekompakkan dan solidaritas oleh negara-negara teluk yang ada di Timur Tengah.

Dengan demikian telah sampai pada puncakya, hal-hal yang menyangkut dengan kelangkaan sumber daya untuk memajukan suatu pertumbuhan ekonomi sosial dan tekhnologi, menimbulkan reaksi sekaligus skema perubahan geopolitik yang mencari alternatif serta kawasan baru secara geoekonomi, demi mencapai pemenuhan kemajuan ekonomi dan tekhnologi yang terus berkembang secara revolusioner. Dari sinilah pergeseran geopolitik berubah poros dari Timur Tengah ke kawasan Asia, pergeseran tidak serta merta jalan dengan damai, akan tetapi membawa konflik yang berkelanjutan, yakni problem rivalitas yang berhadapan antara negara-negara maju. Negara-negara Asia yang dulunya memainkan prinsip netral dan non-blok, harus menerima resiko dan beban atas permintaan kerjasama oleh negara-negara maju, dari negara-negara Eropa maupun AS dan Australia.

Meski kehendak untuk menapaki jalan lurus dalam hubungan ekonomi global, tetapi masih saja upaya-upaya intervensionis secara ofensif yang dilakukan oleh negara-negara maju, hal ini membuat negara-negara di kawasan Asia harus mencari jalan keluar untuk mampu memberikan suatu resolusi yang saling menguntungkan, sebab sebagian negara-negara Asia sudah menyatakan diri sebagai pendukung non-blok, tentunya tidak dapat memihak diantara benturan kepentingan negara-negara maju tersebut, terutama negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat.

Ketegangan dalam hubungan perdagangan semakin meningkat, kerena dipengaruhi oleh sistem kontrol ganda melalui proteksionisme ganda, yakni pola perdagangan dan resiko geopoltik kawasan. Perdagangan bebas dan juga resiko pergeseran geopolitik dapat dipastikan mengancam kedaulatan dan keamanan negara-negara Asia, terutama Asia Tenggara, jika tidak secepat mungkin mengambil peran dalam kerja sama multilateralisme berbasis kawasan. Adapun hal-hal yang bisa dilihat sebagai latar belakang yang mengitari atas mekanisme proteksionisme adalah sebagai berikut:
1. Menigkatnya tekhnologi baru yang digunakan oleh kalangan sipil maupun militer.
2. Intensifnya problem geopolitik kawasan yang semakin meningkat pada level konfrontatif.
3. Proyeksi lembaga-lembaga kreditur keuangan yang tidak kompatibel dengan mekanisme hubungan investasi perbankan internasional.
4. Tidak seimbangnya urusan dalam negeri maupun luar negeri, akibat dari problematika kebiijkan luar negeri yang belum belum selaras dengan kepentingan jalur diplomasi dengan negara-negara maju, terutama dan yang lebih dulu mempromosikan sistem liberalisasi ekonomi kawasan.
5. Meningkatnya pelanggaran hak-hak sipil dalam penggunaan tekhnologi yang tidak sepadan dengan ketentuan penggunaanya, baik dari segi transaksi perdagangan maupun hubungan informasi dan sosial.

Sudah tentunya hal-hal tersebut di atas akan menjadi kendala tersenediri bagi negara-negara Asia, maka dari itu perlu kerja sama yang lebih terbuka lagi atas respon terhadap pergeseran geopolitik di kawasan Asia. Asia kelak akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan sekarang. Di saat Shimon berusia dua puluahan, China akan memiliki perekonomian besar di dunia bila dilihat dari paritas daya beli (PPP, purchasing power parity). Economist Intelligence Unit (EIU) sudah memperkirakan bahwa pada 2020, Asia akan menyumbang 43% perekonomian dunia, naik dari 35% pada 2005 (Economist Intellegence Unit, Foresight 2020: Economist, Industry, and Coorprate Trends, 2006). Kawasan ini tidak akan lebih penting atau lebih kaya daripada barat, tetapi pasti lebih penting daripada sekarang yang sedang terjadi saat ini adalah suatu penyeimbangan kembali, bukn revolusi. Penduduk Asia akan 400 juta lebih banyak dari pada sekarang. India akan nyaris menjadi negara terpadat di dunia dan Mumbay akan menjadi kota terpadat di dunia. Perekonomian Vietnam akan seperti perekonomian Guandong. Korea Utara dan Selatan mungkin akan menyatu kembali. Asia akan menjadi rumah bagi separuh reaktor nuklir dunia. Cina akan menjadi negara dengan penutur bahasa Inggris terbanyak di dunia. Di China, penggunaan bahasa Mandarin akan membengkak setidaknya 50%. Dan China akan memiliki angkatan laut yang kuat serta menjadi pengekspor utama persenjataan canggih. Seratus juta wisatawan China akan mengalir keluar dari China setiap tahun.

Perusahan-perusahan multinasional India berskala besar akan merambah perekonomian dunia lebih dari sekarang yang mereka lakukan. Afrika akan porak-poranda oleh ketegangan etnis, tapi kali ini antara rakyat Afrika dan para migran China, bukan India ( Michael Backman, 2008).

Kemungkinan-kemungkinan diatas akan menjadi suatu pekerjaan dalam rumah ASEAN sejak kini untuk masa depan. Secara struktural dalam keorganisasian ASEAN harus saling mendongkrak dengan rumusan ekonomi dan poltik, demi terjaganya pengaruhpengaruh stabilitas ekonomi tiap-tiap negara-negara di ASEAN. Belum lagi dalam hal kemanan dan pertahanan kawasan, akan berupaya denagn keras membaca peluang diplomasi oleh lembaga pertahanan seperti AUKUS, QUAD dan Juga ANZUS. Sepertinya ASEAN didatangi semua kepentingan yang secara strategis memiliki kepentingan yang sama, yaitu menjaga kawasan masing-masing dari upaya distsbilitas dan disintegrasi kawasan. Sampai pada intiya, kita akan mempelajari bagaimana ASEAN dan inti dari kosentrasi Asia Pasifik di abad 21, dan tidak dirahasiakan lagi, kalau sesungguhnya kawasan Asia Pasifki mendapat kedudukan khusus dalam strategi perdagangan global.

Akankah, negara-negara anggota ASEAN dapat memperhitungkanya sebagai suatu entri poin dalam ruang lingkup jalur perdangangan antara Asia dan Eropa maupun AS. Negara-negara Asia Tenggara masih memiliki ketergantungan yang mendua, dengan membawa China dan AS dalam roda hubungan perdagangan regional maupun bilateral, dan itu merupakan WTO dan OBOR untuk mendorong iklim ekonomi saling menguntungkan. Keharusan bagi ASEAN adalah sudah saatnya membawa semua kepentingan manapun, di dalam orbit ASEAN. Sesuai prosedur yang nantinya dirumuskan, oleh negara-negara Asia Tenggara yang terhimpun di dalam ASEAN. Disitulah para pemangku kepentingan yang berada dalam ruang lingkup ASEAN, komitmen dengan tidak melebih-lebihkan penggunaan ALUSISTA dan tindakan yang agresif demi keuntungan sepihak saja.

Roslan Samad

Biodata Singkat
Roslan Samad adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Jurusan Hukum Tata Negara di Fakultas Ilmu Hukum. Dan pegiat geopolitik global dari semenjak 2015 hingga sekarang.

bersambung….

Referensi:
About asean the founding of asean.https://asean.org/ (diakses pada 8 Desember 2022).  Andrian Desmond S, International Women University,Upaya Reorientasi Studi Hubungan Internasional Indonesia melalui marhaenisme sebagai Sumber Belajar Hubungan Internasional di Indonesia. desmond@iwu.ac.id.
Backman Michael (2008). ASIA FUTURE SHOCK: Gejolak, Peluang, Kegoncangan, Ancaman Masa Depan Asia. Jakarta: Ufuk Press.

Hendrajit & M.Arif Pranoto (2016). PERANG ASIMETRIS & SKEMA PENJAJAHAN GAYA BARU. Jakarta : Global Future Institute. KAA dan Dasasila Bandung 1955 Sebagai Senjata Geopolitik Masih Relevan.
https://www.theglobal-review.com/2020/07/03 (diakses pada 8 Desember 2022)

Museum Konperensi Asia-Afrika, Sejarah Konferensi Asia Afrika-KONDISI DUNIA
INTERNASIONAL SEBELUM KONFERENSI ASIA AFRIKA. https://www.asiaafrcamuseum.org
(diakses pada 8 Desember 2022).

News letter issue global economi crisis. https://thetricontinental.org/2022/06/23 (diakses pada
8 Desember 2022)

Sulaiman Dina Y (2103). PRAHARA SURIAH Membongkar Pesekongkolan Multinasional. Depok : Pustaka IIman

Tamburaka Apriadi S.IP (2011). REVOLUSI TIMUR TENGAH Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah, Yogya karta : Narasi

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com