Entah apa yang ada dalam pertimbangan dan pemikiran Kepala Staf Presiden Moeldoko ketika pada 20 Oktober 2022 lalu memperingatkan bakal semakin meningkatnya radikalisme menjelang penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Dengan mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdasarkan hasil survey tahun 2020, potensi radikalisme 14 persen, begitu keterangan Moeldoko. Apakah ini berarti aksi terorisme akan meningkat kembali eskalasinya seperti pada periode 2001-2009? Sayangnya Moeldoko tidak memerinci lebih lanjut keterangannya.
Namun di benak publik, ketika muncul frase kata Radikalisme maka otomatis berarti adanya aksi terorisme. Maka ketika Rabu 7 Desember lalu, terjadi bom bunuh diri di kantor Polisi Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, masuk akal jika kita kembali membuka kembali pernyataan Moeldoko di Istana pada 20 Oktober 2022 lalu. “Ini sebenarnya sebuah situasi yang diperlukan untuk membangun kewaspadaan tentang radikalisme. Jadi ini perlu kita nyatakan agar kita semua memiliki kewaspadaan. Demikian Moeldoko.“
Namun, seperti apakah gambaran jelasnya yang dimaksud dengan bahaya radikalisme ketika hal itu dipertautkan dengan aksi terorisme? Apapun motif di balik adanya aksi terorisme di pelbagai belahan dunia termasuk Indonesia, menarik mengutip pandangan Walter Laqueur dalam buku karyanya yang bertajuk New Terrorism: Fanatisme, Senjata Pemusnah Massal. Dalam salah satu paragraph pendahuluan Laqueur menulis:
“Kita menghadapi munculnya kekerasan terorisme jenis-jenis baru, beberapa berdasarkan pada perhatian-perhatian ekologi dan berlandaskan religious (keagamaan), Adapun yang lainnya berkarakter criminal, maupun campuran dari berbagai hal tersebut. Kita juga menyaksikan munculnya kelompok-kelompok kecil sectarian yang sedikit memiliki agenda politik dan sosial. Dan hanya punya kecenderungan kuat untuk merusak peradaban dan umat manusia.”
Meski Laqueur menulis dalam bukunya itu pada 2001 lalu, sepertinya ia sudah memprediksi kemunculan aksi-aksi terorisme gaya baru yang diyakininya bakal semakin marak di masa depan. Antara lain Laqueur menulis:
“Sementara itu Gerakan-gerakan teroris tradisional (saya lebih sreg mengistilahkannya teroris konvensional) yang secara historis terdiri dari ratusan bahkan ribuan anggota, kelompok-kelompok teroris baru dapat menjadi sangat kecil, terdiri dari sedikit orang bahkan terkadang hanya satu orang. Makin kecil kelompoknya, sangat mungkin semakin radikal, semakin terpisahkan dari pemikiran rasional, dan semakin sulit dideteksi.”
Prediksi
Walter Laqueur 18 tahun lalu nampaknya cukup tepat kalau mencermati serangkaian aksi terorisme di Indonesia dalam dua tahun terakhir yang mana pelaku bom bunuh diri merupakan pelaku tunggal alias seorang diri. Terkait kasus bom bunuh diri di kantor Polsek Astanaanyar pada 7 Desember lalu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri juga dilakukan seorang diri oleh Agus Sudjadno alias Agus Muslim. Adapun apa motif yang melatari aksi terorismenya yang absurd tersebut hingga kini memang belum jelas.
Baca:
Ledakan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar Kota Bandung: Pelaku ‘mantan napi terorisme’ dan ‘anggota JAD Bandung’
Namun keterangan pihak kepolisian bahwa pelaku bom bunuh diri Agus Sudjadno alias Agus Muslim terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung, Jawa Barat, mau tidak mau kita harus kembali kepada early warning signal terkait potensi semakin meningkatkanya radikalisme menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang yang disampaikan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang juga tercatat pernah menjadi Panglima TNI semasa kepresidenan Susilo Bambang Yoedhoyono.
Begitupun, Moeldoko nampaknya bukan satu-satunya pejabat senior pemerintahan Presiden Jokowi yang menggulirkan isu bahaya yang bisa menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam kesempatan yang terpisah, almarhum Tjahyo Kumolo ketika masih menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memang tidak secara terang-terangan menggunakan istilah Radikalisme. Berkata Tjahyo Kumolo: “Saya ingin menegaskan kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti-Pancasila, Anti-Bhineka Tunggal Ika, anti-NKRI, anti- kemajemukan bangsa dan UUD 1945.” Begitu pernyataan Tjahyo Kumolo ketika memberikan arahan peresmian Warung NKRI di Banyuwangi, Jawa Timur pada Januari lalu.
Meskipun Tjahyo tidak eksplisit menyebut Radikalisme, mengingat fakta bahwa istilah tersebut belakangan ini mengundang pro dan kontra dan perdebatan yang tidak prinsipil, namun Tjahyo Kumolo termasuk jajaran para politisi kawakan baik sewaktu di partai Golkar era Suharto maupun di PDIP sejak era reformasi, mengakui pentingnya berbagai komponen bangsa mengantisipasi ancaman ketahanan dan keamanan nasional di tengah semakin pesatnya keterbukaan informasi dan akses jaringan komunikasi. Senada dengan hal tersebut, Presiden Jokowi juga berpesan agar bidang pertahanan-keamanan harus tanggap dan siap menghadapi perang siber, intoleransi, radikalisme dan terorisme.
ihwal radikalisme yang biasanya memang bertaut erat dengan fanatisme dan ekstremisme yang berujung pada aksi-aksi terorisme, kalau dilihat dari perspektif sejarah maraknya aksi-aksi terorisme di pelbagi negara, memang ada yang bersumber dari agama, namun bisa juga berasal dari kelompok-kelompok separatisme berbasis kesukuan seperti kelompok separatis Basque dari Spanyol. Atau bisa juga karena peruncingan ideologis dari berbagai kelompok berhaluan kiri yang berkembang seperti Baader Meinhof dari Jerman, Brigade Merah dari Itali, atau Tentara Merah Jepang dari Jepang yang cenderung berhaluan sayap kanan. Atau kelompok ekstrem sayap kiri Tupamaros dari Uruguay, Amerika Latin. Mereka semua meski bukan didorong oleh motif-motif religi, namun peruncingan ideologis sayap kirinya maupun sayap kanannya seperti tentara merah Jepang yang semakin menajam dan sektarian, maka kemudian menjelma menjadi radikalisme dan fanatisme ideologis. Sehingga berujung pada pilihan gerakan bermodus aksi terorisme.
Lantas, untuk kembali pada prediksi Laqueur ihwal semakin maraknya kelompok-kelompok teroris beranggotakan sedikit orang atau bahkan mengandalkan aksinya pada satu orang, bagaimana menjelaskan motivasi di balik aksi-aksinya yang radikal namun sepertinya berhaluan nihilisme tersebut?
Dalam kasus Baader Meinhof Jerman, mungkin bisa sedikit menjelaskan fenomena kelompok-kelompok kecil atau perorangan dalam melancarkan aksi terorisme-nya. Termasuk juga ketika hal itu terjadi pada beberapa kelompok teroris yang mengklaim dirinya melancarkan aksinya atas dasar misi keagamaan. Fenomena generasi kedua dan ketiga dari teroris-teroris sayap kiri yang berhasil dipotret Laqueur, mereka cenderung tidak merujuk pada pemikiran. Mereka terlibat terorisme karena para pendahulu mereka juga melakukannya. Kalaupun mereka punya sebuah orientasi politis yang spesifik, mereka ini tidak mau atau mungkin juga tidak mampu mengutarakannya.
Dalam situasi ketika generasi kedua dan ketiga dari berbagai kelompok terorisme yang terafiliasi dengan keagamaan di Indonesia tidak punya atau tidak mampu mengutarakan apa motivasi dan pemikiran keagamaannya kecuali sekadar beraksi karena generasi terdahulu melakukannya, maka dalam kasus aksi-aksi terorisme yang merebak di Indonesia yang kerap terafiliasi dengan kelompok keagamaan seperti misalnya Jemaah Islamiyah atau ISIS, maka sangat potensial disusupi paham radikalisme yang sebetulmya kalau jeli, tidak ada sangkut-pautnya dengan ilmu atau ajaran Keislaman arus utama yang berkembang di Indonesia seperti dari Islam Tradisional Nahdlatul Ulama (NU) maupun Islam Modernis Muhammadiyah.
Maka itu ajakan Tjahyo Kumolo dan Ketua BNPT Boy Rafli agar tercipta suatu kolaborasi dan kerjasama seluruh elemen bangsa seperti pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, komunitas dan masyarakat, bahkan pelaku seni-budaya, kiranya patut diapresiasi dan didukung. Untuk mewujudkan apa yang diistilahkan Tjahyo Kumolo terciptanya kegotong-royongan untuk memberantas bukan saja radikalisme, melainkan juga fanatisme dan ekstremisme. Baik di ranah keagamaan, ranah kesukuan dan ras-antar golongan, maupun isme-isme ideologi.
Seperti kata Bung Karno, konsistensi terhadap keyakinan ideologis yang dianut itu bagus, namun peruncingan ideologis yang diyakini dan dianutnya, bisa berujung pada radikalisasi. Bahkan ketika radikalisasi itu sendiri menjadi tujuan, maka kemudian menjelma menjadi Radikalisme. Ketika kerangka pemikiran dan pandangan itu menjadi bingkai pergerakan, maka aksi-aksi bermodus terorisme dipilih sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan agenda-agenda politisnya. Bahkan bukan tidak mungkin, aksi terorisme menjadi tujuan itu sendiri.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Futue Institute