Hal yang tidak boleh dipungkiri, bahwa nilai perdagangan China dengan ASEAN meningkat dari USD 54,8 miliar pada 2022 menjadi 443,6 miliar pada 2013. Dalam jangka waktu 10 tahun ia mampu menaikkan delapan kali lipat. Sementara pada prioede yang sama, nilai investasi China di kawasan tersebut meningkat sebesar 100 miliar. Perkiraan nilai investasi dan perdagangan China niscaya akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan beroperasinya free trade agreement di ASEAN dan di berbagai kawasan lain dalam payung World Trade Organization-WTO (M.Arif Pranoto & Hendrajit, 2016).
Dari aspek ekonomi yang fluktuatif, akibat dari problem rivalitas atas penguasan wilayah ekonomi yang tidak pernah selesai, seringkali menggunakan cara-cara yang keluar dari aturan main dari PBB, dengan seiring terjadi konflik militer terbuka di berbagai kawasan. Hal ini diharapakan tidak akan terjadi untuk negara-negara Asia yang telah menaruh diri dalam suatu organisasi regional yaitu ASEAN untuk masa depan ekonomi.
Episentrum geopolitik abad 21 kian berlabuh kawasan Asia dan Asia Tenggara, tetap saja negara-negara maju yang tadinya bertikai di beberapa kawasan di Eropa maupun TimurTengah, akan mencari jantung ekonomi (Heartland) baru di kawasan Asia. Tampaknya Indonesia dan juga negara-negara Asia lainya, memiliki kawasan geoekonomi dan geostrategi wilayah tersendiri, yang dapat mengundang tamu dari negara-negara maju untuk melakukan hubungan bilateral maupun regional secara khusus di kawasan Asia. Namun, Indonsia sendiri secara geoposisi, berada di tengah-tengah dua samudra dan dua benua, yakni benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Tentunya, secara geostrategi dan geoeknomi sangat penting bagi Indonesia dalam merumuskan geopolitik berbasis kemaritiman, dengan ciri khas tersendiri baik itu secara histori geografi maupun sosial eknomi-nya. Sisi lainya, Indonesia memiliki tiga alur kepulauan sekaligus atau dikenal dengan ALKI-I, ALKI-II, dan ALKI-III. Tiga alur kepulauan tersebut secara geografis sangat berdekatan dengan negara-negara Asia Tenggara lainya, yang juga sumber ekonomi sangat besar. Secara geostrategis berhubungan langsung dengan daerah geografis yang syarat dengan konflik kepentingan jalur perdagangan. Misalnya, Kalimantan dan Natuna yang terhubung langsung dengan sea lines comuniactions atas teritorial Laut China Selatan, Selat Malaka di perbatasan samudra Hindia, dan juga wilayah timur yang berdekatan di kepulauan Darwin dekat Australia. Untuk itu, peningkatan tawaran diplomasi dan konsep geopolitik masing-masing negara yang terintegrasi di dalam rumah ASEAN, di rampungkan menjadi suatu bluprint geopolitik regional dan dijadikan rujukan kolektif. Salah satu proritasnya adalah gambaran tentang Dassasila Bandung yang pernah dirumuskan, dapat kembali didorong sebagai instrumen dalam upaya-upaya menyelenggarakan kerjasama ASEAN atas respon plan multilateralisme di masa mendatang.
Problem kawasan di Asia maupun Asia Tenggara, jika belum dapat di cari mode resolusinya, tetap saja kan seperti negara-negara teluk di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring. Kalaupun, dimintai untuk mengungkapkan tabir konflik pararel antara Timur Tengah dan yang kini terjadi di semenanjung Asia, dapat pula di uraikan. Pada penghujung 2010 hingga 2011, kawasan di Afrika dan Timur Tengah mengalami pergolakan politik yang dikenal dengan “Jasmine Revolution” (Revolusi Melati). Suatu revolusi yang bertujuan untuk menumbangkan penguasa mereka yang harus meninggalkan jabatanya dan melarikan diri, yakni mantan Presiden Tunisia Zine Abidin Ben Ali dan mantan Presiden Mesir Husni Mobarak. Sedangkan pemimpin negara lainya belum dipastikan, karena kondisi politik di negaranya masih bergejolak. Revolusi yang kemudian menggoncangkan satabilitas politik dan menjalar begitu cepat di kawasan Timur Tengah yang diberi nama Revolusi Melati oleh orang di Timur Tengah- untuk mengidentikkan pergolakan rakyat di negara Timur Tengah itu bagaikan bunga melati yang sedang “blossom” (mekar). Bunga melati adalh jenis tumbuhan bunga yang menarik untuk dipandang, harum, dan simbol dari expresi kesucian dan ketulusan kasih sayang. Negara-negara yang bergolak tersebut ibaratnya merupakan sebuah “tangkai” berada satu di Afrika Utara dan kawasan Timur Tengah.
Satu persatu kuncup itu mulai bermekaran mengeluarkan “baunya yang harum” yaitu peristiwa terjadinya revolusi (Apriadi Tamburaka, S.IP.,2011).
Letak pararelnya, yakni konflik sosial politik serentak bergejolak di beberapan negara-negara Asia dan juga Asia Tenggara, di antaranya: konflik di Myanmar, Xinjiang, Afghanistan, Pakistan, hingga Srilankan, dan lainya di kawasan Asia. Sejatinya terdapat Asia pula spring, namun rangkaian peristiwa saja yang belum di ungkapkan secara universal atas peristiwa Timur Tengah dengan Asia.
Hikmah yang dipetik untuk peristiwa geopolitik di Timur Tengah, yaitu belum ada silaturrahim kemanusiaan secara regional untuk tujuan ketertiban kawasan dan pada dasarnya merupakan kawasan yang belum maksimal berada pada posisi bebas aktif dalam kebijakan geopolitiknya, hikmah tersebut harus membentuk inti dari rumusan konsepsi dalam prakondisi bagi negara-negara ASEAN hari ini, agar dapat menciptakan iklim perdagangan ekonomi, demokrasi dan geopolitik, entah secara multilateralimse, regional maupun bilateral.
Dengan begitu uapaya-upaya silaturrahim serta kerjasama terus di upayakan, dari segi apapun, menyangkut kebijakan ekonomi politik regional mapun global. Kerjasama dan kekompakkan itulah, dasar dari perhimpunan bangsa-bangsa. Tak kala luput dari kekompakkan dalam menedorong forum ASEAN untuk manifestasi pertumbuhan ekonomi kini dan akan datang, sudah dapat dikatakan akan terjadi ketimpangan regional menghadapi kebangkitan multilateralisme. Keraja sama yang meliputi semua aspek, pertahanan dan keamanan bersama di kawasan, saling menerima resolusi dari gejala-gejala konflik militer, krisis perdagangan, dan juga stabilitas suplay chain dan nilai tukar mata uang yang mengontrol siklus investasi di kawasan regional ASEAN.
1. Benturan Geopolitik Kawasan: Pengaruh Terhadap Masyarakat Ekonmi ASEAN.
Telah diketahui akar dari pergeseran geopolitik global dari kawasan Timur Tengah ke Asia ditandai dengan adanya kelangkaan renewble enegri, bahan-bahan dasar kebutuhan tekhnologi moderen serta suplay pasokan pangan antar kawasan. Kebutuhan akan stabilitas ekonomi negara adikuasa berkakibat pada negara berkembang, seperti-halnya di negaranegara ASEAN.
Pergeseran geopolitik nayatanya merintis banyak problematika global yang terjadi, diantaranya: konflik militer, inflasi, maupun konflik jalur perdagangan. Beberapa wilayah di luar ASEAN yang dapat kita lihat secara bersama, bagaimana benturan geopolitik terjadi. Di Suriah misalkan, upaya-upaya intervensi suatu kedaulatan oleh negara-negara adikuasa dinilai sangat merugikan bagi otoritas dan kedaulatan politik suatu negara. Kini,mari kita lihat kembali ke Suriah. Suriah sudah berada di bawah pemerintahan klan Assad (Hafez Al Assad dan anaknya, Bashar Al Assad) selama empat puluh tahun. Pembangunan sosial dan ekonomi Suriah masih jauh dari memuaskan. Bila menggunakan standar PBB, yaitu Human Development Index (HDI), Suriah berada di urutan ke 111 dari 182 negara. (sebagai pembanding, Indonesia berada di ranking 121, artinya, kondisi perekonomian danpembangunan Indonesia lebih buruk daripada Suriah). HDI adalah semacam penilaian atas keberhasilan pembangunan di sebuah negara, dengan menggunakan beberapa variabe, antara lain pendapatan penduduk, angka harapan hidup, angka melek huruf, tingkat
pendidikan, dan tingkat pendapatan perempuan. Suriah tergolong dalam ‘negara berkembang berpendapatan menengah’. Perekonomianya ditopang terutama oleh minyak dan pertanian.
Sejak 2004, Suriah dikenai sangsi oleh AS, yang melarang atau membatasi ekspor-impor ke Suriah. Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila muncul demo anti pemerintah dan ada keinginan perubahan rezim. Klan Assad memang telah berkuasa terlalu lama sehingga sangat wajar ada kejenuhan politik. Pada maret 2011, seiring dengan gelombang anti pemberontakan di negara-negara Arab, seperti Mesir dan Tunisia, aksi-aksi demo terjadi di Suriah (Dina Y Sulaiman, 2013).
Lantas bagaimana dengan Asia, dan juga negara-negara anggota ASEAN dalam merespon kondisi di kawasan Timur Tengah maupun Afrika Utara dan lainya, ini merupakan suatu pekerjaan yang sangat berat buat Indoensia dan negara-negara ASEAN. Dapat dikatakan, bahwa memasuki fase awal abad 21, paradigma geopolitik seolah-olah memandang Asia sebagai medan rekonsiliasi diplomasi ekonomi menuju masa depan mulitlateralisme, di tengah-tengah konflik militer Russia-Ukraina, konflik perdagangan AS- Tiongkok, Konflik Laut China Selatan, dan Krisis di Selat Taiwan. Problem mendasarnya, yakni saling berhadap-hadapan secara geopolitik antara Tiongkok-Russia vs Eropa barat dan AS, yang secara geostrategi melibatkan negara-negara ASEAN ke dalam zona ketegangan, sehingga mau tidak mau, harus mendapat resiko secara tidak langsung, dengan munculnya tekanan inflasi, krisis pangan, kendala ekspor, hingga pada level terhambatnya aktivitas perdagangan secara bilateral maupun trans regional, yang justru mempengaruhi lambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN.
2. Roadmap Geopolitik ASEAN Awal Abad 21.
Pada akhir 2022 di Indoesia telah diadakan KTT G20 (G20 BALI LEADERS’ DECLARATION- Bali, Indonesia, 15-16 November 2022), dan Indonesia keluar sebagai Presidensi dari G20 tersebut, dengan adanya KTT yang melibatkan semua komponen kelompok negara-negara besar yang sebelumnya tergabung dengan forum masing-masing, antara lain, G7 dan BRICS. G20 merangkum semua kelompok besar dalam acara tersebut, dengan topik pembahasan mengenai B20 (Bussines 20) dan juga R20 (Religious 20). Artinya, tidak hanya menengahi secara moral atas pentingnya perdamaian, tetapi mengakhiri perselisihan apapun, entah militer, ekonomi maupun kawasan geostrategi maupun geoekonomi. Sungguh merupakan sebuah langkah yang sangat-sangat tepat dan berani dengan penuh tanggung jawab, di tengah-tengah disrupsi global yang kian melanda negaranegara berkembang dan juga negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia sendiri di dalamnya. Ketika peristiwa demi peristiwa semenjak ketegangan melanda kawasan Asia, dari memanasnya Laut China Selatan, Russia-Ukraina sampai bencana global COVID-19, merupakan suatu rintangan yang berat bagi negara-negara ASEAN, tetapi dengan hasil kerjasama serta kekompakan, maka G20 dapat terselenggarakan dengan hasil yang baik pula.
Harapan-harapan dari pra-visi yang bahas dalam KTT G20, tentunya menjadi tolak ukur kesiapan bagi negara-negara anggota ASEAN. Kesiapan yang dimaksud adalah partisipasi aktif oleh negara-negara anggota ASEAN terhadap terbukanya plan perdaganagan multilateralisme, posisi ASEAN secara regional harus bergandeng tangan untuk bahu membahu mendorong maju suatu i’tiqad hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Sebab berbagai macam opsi geopolitik yang dapat direspon secara berkelanjutan oleh negaranegara ASEAN, semisalnya Jalur Sutra abad 21 dari prakarsa Tiongkok, blok EURASIA, dls.
Sudah barang tentu, menunjukkan akan terjadinya kebangkitan Asia di abad 21. Kendatipun, dikatakan inilah abad Asia, sepatutnya hal-hal yang harus dipenuhi seiring dengan berjalanya kerjasama transnasional, agar dapat mengurangi resiko dan bencana dimasa depan oleh negara-negara ASEAN yaitu:
– Perlindungan Hak-Hak Sipil sesuai dengan Piagam PBB
– Mencegah konflik terbuka (baik secara asimetris warfare maupun konvensional) dan klaim teritorial yang merugikan salah satu pihak.
– Melindungi ekosistem untuk mengurangi emisi karbon
– Melindugi hak-hak pekerja migran dan diperalukan sesuai dengan prosedur hukum internasional
– Bekerjasama atas keamanan cyber, jaringan komunikasi perbankan internasional, serta transaksi ekonomi digital. Dan banyak lagi perlu juga di kondisikan atas kerjasama untuk capai pada visi SuistainebleGoal’s.
Dengan adanya program forum G20, Indonesia diharapkan mampu memberikan dunia suatu padanan multilateralisme yang tidak dilatari dengan saling menekan atas wilayah ekonomi, dari sini peluang bagi Indoensia untuk lebih survive dengan keadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN-MEA, dan dapat bersama-sama mengelolah pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Kongklusi:
Dasasila Bandung 1955: Multilateralisme dan Masa Deapan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa belahan dunia masih ada masalah dan muncul masalah baru. Penajajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Afrika merupakan masalah kursial sejak abad ke-15. Walupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama Asia, kemudian memperoleh kemerdekaanya, seperti Indonesia (17 Agustus 1945), Republuk Demokrasi Vietnam (2 Desember 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainya yang
berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljajzair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan wilayah Afrika lainya.
Beberapa negara Asia Afrika uang telah merdeka pun masih banyak menghadapi masasalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antar kelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et Impera.
Lahirya du blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (Kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin Uni-Soviet (Komunis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti Jazirah Korea dan Indo-China. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia. Walaupun pada masa itu telah ada badan Internassional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenytaanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar di derita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Pada awal tahun 1954, perdana Menteri Ceylon, Sir Kotelawala, mengundang para perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Indonesia Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonsia Ali Satroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika pada pertemuan Kolombo tersebut. Beliau menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah di dengungkan untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan nasional melawan penjajahan.
Adapun konsesus itu dituangkan dalam komite akhir, yang isinya adalah mengenai:
1. Kerjasama Ekonomi;
2. Kerjasama Kebudayaan;
3. Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri;
4. Masalah rakyat jajahan;
5. Masalah-masalah lain;
6. Deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerjasama internasional.
Deklarasi yang tercantum pada komunike tersebut, selanjutnya dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerjasama dunia.
Dasasila Bandung :
1. Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsipprinsip PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
3. Mengakui persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
4. Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
6. (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
(b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
7. Tidak melakukan tindakan atau anacaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun (asiaafricamuseum.org).
Negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika:
1. Afghanistan
2. Indonesia
3. Pakistan
4. Birma
5. Filipina
6. Kamboja
7. Irak
8. Iran
9. Arab Saudi
10. Ceylon
11. Jepang
12. Sudan
13. Republik Rakyat Tiongkok
14. Yordania
15. Suriah
16. Laos
17. Thailand
18. Mesir
19. Libanon
20. Turky
21. Ethiopia
22. Liberia
23. Vietnam (Utara)
24. Vietnam (Selatan)
25. Pantai Emas (Ghana)
26. Libya
27. India
28. Nepal
29. Yaman
Dassasila Badung yang dilaksanakan pada tahun 1955, merupakan rumusan bluprint geopolitik fase kedua bagi Indoensia setelah fase kemerdekaan Agustus 1945. Dari bluprint geopolitik tersebut, Indonesia sampai hari ini belum secara terang-terangan kembali memberikan warisan geopolitik setelah 1955, disebabkan situasi politik internasional yang belum secara kesuluruhan dipelajari oleh Indonesia dan juga negara-negara Asia maupun Afrika. Namun dengan adanya forum G20 sebagai penentu arah dari kebijakan ekonomi global, bisa mengusulkan agar bluprint geopolitik Indoensia harus mewarisi sub-poin dari Dasasila Bandung 1955, jika ikut andil berperan dalam menjaga sistem ekonomi regional untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN-MEA. Sub-poin yang dimaksud yakni, proses menekankan kedepan hak-hak asasi manusia dan wilayahnya, dari ancaman konflik terbuka baik itu yang terjadi dalam hubungan trans regional wilayah ASEAN yang terhubung langsung dengan pros pasifik, maupun di luar ASEAN yang berkolaborasi dengan negara-negara Eropa maupun AS. Maka perlu untuk mentranformasikan sub-poin tersebut dalam rangka menyambut masa depan ASEAN.
Dengan kebangkitan multilateralisme, dapat disimpulkan bahwa merupakan suatu bentuk sistem ekonomi baru atau tandingan dari unilateralisme. Multilateral bersamaan dengan kebangkitan Cina di Asia, serta relasinya dengan kebangkitan Russia di Eropa timur, dan keduanya mengejutkan dunia dengan keadaan yang secara langsung mengundag semua kutub untuk bangkit dalam menapaki kerjasama win-win tanpa dikotomi. Secara regional ASEAN berada dalam pusaran benturan geopolitik China dan AS, yang dapat menimbulkan persoalan baru dari aspek-aspek pilar Masyrakat Ekonomi ASEAN. Sebagai poros perdamaian, lebih pentingnya Dassasila Bandung dapat di jadikan instrumen atau weapon geopolitk Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Dalam sekma multilateralisme akan tetap menghadapi sepak terjal kebijakankebijakan yang selama ini di anggap sebagai pokok dari sebuah konflik, yakni salah satunya unilateral yang berkemungkinan mengganngu stabilitas hubungan mutilateralisme. Dalam kondisi tertentu, unilateral yang di dalam terintegrasi kelompok-kelompok G7, mengupayakan membrikan sinyal pada negara-negara yang berada pada plan perencanaan. Yang selanjutnya ASEAN akan menarik BRICs dan juga G7 memenuhi ketentuan yang di amanatkan oleh ASEAN. Problemnya, China dan juga AS belum dipastikan akan `mengemukakan kesamaan kondisi ekonomi yang di persengketakan beberapa tahun belakangan, untuk itu sarana-sarana yang dapat di dorong secaara opsional oleh negaranegara Asia Tenggara salah satunya Indonesia untuk dapat memberi resolusi dalam prinsip yang berkesinambungan dengan perkembangan kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Dan sebagai instrumenya, dapat digali lewat panduan Dasasila Bandung untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan negara-negara lain dalam suatu kerja sama dalam semua aspek.
Roslan Samad
Biodata Singkat
Roslan Samad adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Jurusan Hukum Tata Negara di Fakultas Ilmu Hukum. Dan pegiat geopolitik global dari semenjak 2015 hingga sekarang.
bersambung bagian 3….
Referensi:
About asean the founding of asean.https://asean.org/ (diakses pada 8 Desember 2022). Andrian Desmond S, International Women University,Upaya Reorientasi Studi Hubungan Internasional Indonesia melalui marhaenisme sebagai Sumber Belajar Hubungan Internasional di Indonesia. desmond@iwu.ac.id.
Backman Michael (2008). ASIA FUTURE SHOCK: Gejolak, Peluang, Kegoncangan, Ancaman Masa Depan Asia. Jakarta: Ufuk Press.
Hendrajit & M.Arif Pranoto (2016). PERANG ASIMETRIS & SKEMA PENJAJAHAN GAYA BARU. Jakarta : Global Future Institute. KAA dan Dasasila Bandung 1955 Sebagai Senjata Geopolitik Masih Relevan.
https://www.theglobal-review.com/2020/07/03 (diakses pada 8 Desember 2022)
Museum Konperensi Asia-Afrika, Sejarah Konferensi Asia Afrika-KONDISI DUNIA
INTERNASIONAL SEBELUM KONFERENSI ASIA AFRIKA. https://www.asiaafrcamuseum.org
(diakses pada 8 Desember 2022).
News letter issue global economi crisis. https://thetricontinental.org/2022/06/23 (diakses pada
8 Desember 2022)
Sulaiman Dina Y (2103). PRAHARA SURIAH Membongkar Pesekongkolan Multinasional. Depok : Pustaka IIman
Tamburaka Apriadi S.IP (2011). REVOLUSI TIMUR TENGAH Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Negara-negara Timur Tengah, Yogya karta : Narasi