“Hukum Palu Godam”

Bagikan artikel ini
Dongeng Kecil Politik Jelang Saur
Menurut KBBI, godam adalah palu besar. Titik. Tak ada keterangan lanjutan. Sedangkan menurut Wikipidea, palu godam sering disebut hanya sebagai godam, adalah kepala palu besar yang biasanya terbuat dari logam, walaupun beberapa terbuat dari batu yang dilekatkan pada gagang yang panjang. Gagang panjang yang dipadukan dengan kepala palu kecil, yang dirancang untuk menancapkan paku.
Berbeda dengan jenis palu lainnya yang memusatkan kekuatan di permukaan relatif kecil, palu godam memiliki kemampuan untuk menyebarkan kekuatan di permukaan yang luas.
Analogi di dunia hukum dan kekuasaan, praktik palu godam mirip anomali hukum (bahkan lebih daripada sekedar anomali). Ya. Palu godam merupakan fenomena hukum dan kekuasaan. Realitasnya, meski nyaris tanpa landasan yuridis namun ia terjadi dan berlaku. Seperti Omnibus Law misalnya, atau UU Outsourching dan lain-lain. Kedua contoh tadi, kendati diunjuk rasa sekian kali dengan ribuan massa toch diketok pula di malam hari. Sekarang sah dan berlaku sebagai hukum positif.
Atau, yang teraktual ialah UU Pemilu dan PKPU yang mensyaratkan usia minimal calon presiden/wakil adalah 40 tahun, toch MK membolehkan usia 36 tahun mendaftar jadi wakil presiden (vide isu Gibran). Itulah praktik operasional hukum palu godam.
Namun, hukum palu godam tidak selalu bermakna ‘negatif’. Ada pula makna dan isu ‘positif’-nya, contoh, tanpa Dekrit Presiden 1959, Indonesia mungkin sudah jatuh di jurang perpecahan. Ya. Dekrit 59 itu palu godam. Atau, tanpa Konsensus Nasional — permintaan mundur Pak Harto pada 21 Mei 1998— kemungkinan akan banyak korban dari mahasiswa. Nah, Konsensus Nasional (mundurnya Pak Harto bukan di depan MPR) merupakan bentuk hukum palu godam, bersifat menyebarkan kekuatan di permukaan yang luas serta meluas dan sah!
Kita masuk dinamika politik praktis pasca Pilpres. Dari perspektif UUD NRI 1945 produk amandemen alias UUD 2002, meski KPU telah mengumumkan (20/3) pemenang Pilpres bagi Pasangan Calon (Paslon) 02 yakni Prabowo-Gibran, akan tetapi — permainan kekuasaan justru baru dimulai. Ibarat menaiki tangga, Pilpres itu baru tangga pertama. Masih ada beberapa tangga yang mutlak ditempuh hingga 20 Oktober 2024, yaitu tahapan Pelantikan Presiden/Wakil Presiden.
Bagi followers Paslon manapun, jika tanpa pemahaman mendalam dunia politik praktis, siap-siap kehilangan jejak para elit politik, idolanya, dan ujungnya kecewa lagi nelangsa. Misuh-misuh. Kenapa begitu? Betapa jurus ‘sein kiri belok kanan’ bukan cuma domain emak-emak dalam berkendaraan motor, namun jurus tersebut sudah menjadi paradigma di dunia politik praktis. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan yang abadi.
Permainan kedepan bukan tentang tuntutan Tim Hukum 01 dan 03 ke MK atas dugaan teknis kecurangan dalam Pilpres, atau isu hak angket dan seterusnya. Bukan. Sekali lagi, bukan! Yakinlah, isu-isu dimaksud akan selesai dengan sendirinya karena sifatnya ‘abang-abang lambe’ dan juga akan berhadapan dengan hukum palu godam.
Ya. Permainan lanjutan lebih kepada deal politik dan kompromi antar-para pihak, lobi-lobi elit politik dan lainnya. PDI-P misalnya, kendati perolehan suaranya menurun jauh daripada 2019, ia masih partai pemenang. The ruling party. Jatah di depan mata adalah Ketua MPR RI. Urutan kedua (Golkar) sebagai Ketua DPR RI. Nah, Gerindra yang kini melorot ke urutan ketiga di bawah Golkar, no problem, Ketuanya menjadi Presiden. Suara Demokrat menurun jauh, namun AHY (Ketua Umum) menjadi Menteri ATR. Kekecewaan dibayar kontan. Lumayan walau hanya beberapa bulan. Minimal untuk menghilangkan ‘stigma mayor’-nya, maksimal berpeluang masuk kabinet baru pasca Jokowi nanti. Lalu, PPP? Amblas menjadi partai gurem. Tak masuk parliamentary threshold.
Demikian dongeng kecil tentang hukum palu godam dan kilas balik dinamika politik terkini jelang saur hari ke-17 ramadhan.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com