Ibuku Tidak Membaca Das Kapital

Bagikan artikel ini

Aku belum genap sepuluh tahun. Baru pertama kali mendengar kata klas dari mulut ibu pengasuhku. Istri bapakku yang pertama yang tidak melahirkan anak.

Waktu itu ditahun 1970 di Jogyakarta kota pelajar, kota kebudayaan dan kota yang memiliki dua Kraton. Kraton Ngayojakarto Hadiningrat dan Puro Pakualaman. Dihebohkan dengan berita pemerkosaan. Seorang penjual telor, bernama Sumkuning diperkosa oleh sekelompok pemuda dari golongan atas. Mereka adalah anak-anak orang yang berkuasa, kaya dan terpandang dalam masyarakat.

Membaca berita itu dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat ibuku berkata lirih. “Klas atas yang semestinya menjadi teladan, malah menunjukkan perilakunya yang bejat.” “Klas itu apa bu?, aku sekarang kelas 3 mau naik kelas empat ya,” sahutku tidak nyambung pada perkataan ibuku.

Tentu saja yang dimaksud ibuku pasti kelas dalam stratifikasi sosial. Ada kelas atas yang mewakili orang berkuasa dalam negara atau orang kaya yang bermodal. Dua klas dalam masyarakat itu saling bertentangan. Klas atas menghisap klas bawah.

Ibuku menjelaskan kata klas dengan sederhana padaku. “Kelas atas itu yang punya uang dan kuasa le, bukan kelas tiga atau empat dalam tingkatan sekolahmu.” “Ngono ya bu, aku ora ngerti.”

Aku menghentikan pertanyaan dan tidak mengerti jawaban dari ibuku waktu itu. Ingatan itu hadir, ketika aku mengulangi membaca buku Islam dan Marxisme karya Maxim Rodinson.

Ibuku pastinya tidak membaca DAS KAPITAL, karya Karl Mark. Akupun baru kali itu mendengar kata klas dalam pengertian sosial. Ketika ibuku menyebutkan bahwa klas atas semestinya menjadi tauladan dalam masyarakat, baru sekarang aku mengerti maknanya. Yang kaya dan berkuasa itu mengandung makna moral dan etika.

Kalau orang yang berkuasa dan punya uang atau punya uang dan berkuasa, harus bermoral utama dan menjunjung etika. Tidak boleh berlaku tidak pantas apalagi melanggar moral baik dan etika baik. Berlaku bejat hanya dikenakan pada yang tidak berpendidikan dan orang jahat.

Peristiwa yang menghebohkan waktu aku masih kecil, berita anak pejabat tinggi memperko penjual telor, merupakan pelajaran moral dan etika publik yang saya dengar langsung dari ibuku. Lebih lagi kata “klas” dalam terminologi marxis. Marsisme tidak mengenal klas menengah. Yang ada hanya klas atas dan bawah. Klas berkuasa dan klas yang dikuasai. Klas bermodal dan klas buruh(kaum pekerja).

Ibuku menyebutkan klas atas semestinya menjadi teladan. Artinya di dalam pengertian klas itu mengandung moral dan etika. Berkuasa, beruang secara inheren menjunjung moral dan etika. Kalau kenyataannya justru sebaliknya itulah tugas kita untuk terlibat dalam upaya penjegahan dan pendidikan.

Analisis klas diajarkan dalam Marxisme. Walaupun ibuku tidak baca buku – buku kiri, tapi nalurinya tahu kalau kelas atas semestinya menjadi teladan. Bukan malah menjadi contoh buruk dalam masyarakat.

Isti Nugroho, pegiat sosial-budaya asal Yogyakarta

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com