Ikhwanul Muslimin vs Militer: Analisis Psikologi Politik

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y. SulaemanMahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Unpad, research associate di Global Future Institute (GFI)

Ada dua berita tentang Mesir yang menarik untuk diamati lebih dalam. Pertama, terkait dengan aksi kekerasan mahasiswa pro-IM di kampus-kampus, terutama Al Azhar. Mereka menghalangi proses perkuliahan, merusak gedung-gedung kampus, termasuk membakar dan mencoret-coret dindingnya. Beberapa mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Al Azhar menyatakan kekecewaaan mereka terhadap aksi ini di facebook. Ungkapan seperti atau “Kalau ingin meraih kekuasaan kembali, mengapa kampus dan proses perkuliahan yang diganggu?” atau “Katanya pejuang syariah, tapi mengapa perilakunya jauh dari syar’i?”

Sikap anarkhis aktivis IM, baik saat mereka berdemo di Rabaa (dokumentasi kekerasan mereka bisa dilihat di sini [1] maupun di kampus Al Azhar (videonya bisa dilihat di sini [2]),  seolah membuat sebagian pihak menjustifikasi kekerasan militer terhadap mereka, sehingga muncul kalimat semacam ini, “Pantas saja militer turun tangan membubarkan para demonstran IM karena perilaku mereka yang anarkhis!”

Para mahasiswa pro-IM membalas kecaman ini, “Yang dilakukan aktivisi IM itu masih belum seberapa dibanding kejahatan kudeta, pembunuhan, dan penangkapan para pemimpin IM yang dilakukan militer!” Meskipun ini adalah jawaban yang tidak logis karena menggunakan kaidah tabrir (menjustifikasi perilaku salah dengan menyebutkan kesalahan pihak lain), namun bukan berarti ini jawaban yang perlu diabaikan dalam analisis psikologi politik. Jawaban justifikasi ini justru menunjukkan apa yang ada dalam benak terdalam para aktivis IM.

Berita kedua adalah sebuah tulisan di The Guardian [3] (dan sejalan isinya dengan tulisan di beberapa blog orang Mesir): tentang naik daunnya Jenderal El Sisi. (Sebagian) rakyat Mesir diberitakan mengelu-elukan El Sisi dan mengharapkan dia jadi presiden dalam pemilu mendatang. Berita ini benar-benar mengacaukan logika demokrasi. Hampir tiga tahun yang lalu, rakyat Mesir berdemo massal di Tahrir Square untuk menggulingkan pemerintahan korup Mubarak; pemerintaan despotik yang sangat didukung militer (bahkan militerlah tulang punggung rezim ini). Banyak demonstran yang menjadi korban kekerasan militer waktu itu. Lalu, bagaimana mungkin kini mereka malah menganggap militer sebagai pahlawan? Bagaimana mungkin, sosok El Sisi yang jelas-jelas dididik oleh AS dan bahkan ternyata keturunan Yahudi, dan punya paman yang anggota teroris Israel, Haganah; bahkan ketahuan berkomunikasi langsung dengan Israel menjelang masa penggulingan Mursi, tiba-tiba jadi pahlawan?Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk mencari jawabannya, analisis psikologi politik agaknya menarik untuk digunakan.

Prof. Ian Robertson, pakar psikologi politik, menulis analisisnya hanya sehari setelah Mursi dikudeta, dan memprediksikan hal yang hari ini tengah terjadi: balas dendam IM [4,5]. Balas dendam ini lahir dari rasa sakit hati yang sangat dalam, akibat kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan telah sangat lama didambakan, yaitu power (kekuasaan). Menurut Robertson, tidak ada kampanye politik, propaganda, pendidikan, atau obat yang bisa sedemikian membentuk-ulang pikiran puluhan juta manusia dalam waktu yang bersamaan, selain rasa sakit hati akibat kudeta tersebut. Robertson menyebut kondisi ini ‘endowment effect’, yaitu situasi alami yang dialami manusia: terluka ketika kehilangan sesuatu yang sudah pernah mereka miliki.

Tentu saja, tidak bisa dipungkiri, perilaku Mursi-IM yang saat berkuasa selama setahun telah menjadi bensin yang sangat efektif membakar kemarahan massa non-IM sehingga mereka berdemo besar-besaran menuntut lengsernya Mursi (selengkapnya bisa baca di ‘Pemetaan Konflik Mesir’ [6]). Bila dilihat betapa banyak massa demo anti-Mursi (media memberitakan jumlah bervariasi, antara 17-20 juta), bisa disimpulkan betapa besar rasa ‘eneg’ massa terhadap Mursi dan IM.

Secara psikologis, kesalahan politik Mursi-IM selama setahun itu lahir dari ketidakmampuannya ‘bermain’ dalam atmosfer euforia demokrasi. Selama 30 tahun rakyat Mesir berada dalam cengkeraman sebuah  rezim yang diktator, lalu tiba-tiba ‘lepas’ dan mereka bebas mengungkapkan apa saja. Dan sebagaimana kita saksikan juga di Indonesia pasca reformasi, semua orang tiba-tiba menjadi pakar politik, bebas berkomentar, dan apa saja yang dilakukan pemerintah selalu disalahkan. Komedi macam Sentilan-Sentilun yang menyindir pemerintah pun menjadi bagian dari demokrasi. Sayangnya Mursi-IM terlihat gamang menghadapi debat, oposisi, bahkan juga ejekan-ejekan dalam siaran komedi di televisi. Kultur pendidikan politik IM adalah kultur antikritik yang yang sangat menjunjung tinggi patronase (antara lain dengan istilah doktrinasi ‘tsiqah’, percaya saja pada apa yang dilakukan pemimpin, umat manut saja, pasti hasilnya akan baik) sulit bernegosiasi dengan kultur eforia demokrasi. Dan terjadilah apa yang terjadi: IM yang selama puluhan tahun dibungkam penguasa, justru melakukan upaya-upaya pembungkaman suara oposisi, termasuk menangkap Dr Bassem Youseff, komedian televisi yang dituduh menghina presiden.

Yang paling fatal adalah Dekrit November 2012 yang dikeluarkan Mursi,  yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Argumen yang diberikan aktivis IM atas dekrit ini adalah: kalau parlemen terus-terusan diganggu oposisi dan keputusannya bisa dibatalkan, kapan pemerintahan akan jalan? Tapi apapun juga argumennya, yang jelas dekrit ini semakin menambah masif gelombang demo anti-Mursi.

Di sini pula kita bisa menganalisis, apa yang sebenarnya terjadi dalam benak para demonstran anti-Mursi. Menurut Prof. Robertson, power (kekuasaan) bisa mendistorsi pikiran dan emosi massa. Ketika mereka berdiri dalam jumlah jutaan di Tahrir Square muncul rasa solidaritas, sekaligus power, yang sangat besar. Sayangnya, pada saat yang sama, muncul pula keinginan yang lebih besar untuk melihat orang di luar kelompok mereka menderita. Situasi ini menunjukkan bahwa kekuatan massa pun ternyata bisa menjadi kekuatan korup (perusak).

Distorsi pikiran dan emosi massa yang merasa memiliki kekuasaan ini pula agaknya yang membuat mereka mengambil keputusan irrasional, yaitu menyerahkan kedaulatan kepada pihak yang sebelumnya telah merepresi kedaulatan itu sendiri: militer. Mereka membiarkan militer menangkap presiden yang mereka pilih sendiri dalam pemilu dan memaafkan pembunuhan yang dilakukan militer terhadap para aktivis IM. Mereka membiarkan media-media IM dibredel dan membiarkan media massa pro-militer mencekoki rakyat dengan narasi-narasi versi mereka. Akibatnya, tak heran bila dukungan terhadap militer semakin besar.

Inilah kondisi rusaknya kemampuan abstraksi rakyat Mesir terkait demokrasi. Dalam alam demokrasi ada pola pikir abstrak yang seharusnya dimiliki semua pihak: saya tidak suka kalah, tapi saya menghormati proses demokrasi. Menurut Robertson, fitur utama demokrasi adalah bahwa ego individual dan ego massa harus tunduk pada prinsip hukum dan prinsip demokrasi. Inilah yang akan menjinakkan ‘angkara murka’ psikologis manusia, yaitu nafsu untuk mencapai kekuasaan yang dibarengi dengan keyakinan bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan itu. Artinya, setiap faksi politik punya nafsu untuk berkuasa dan secara psikologis ada potensi untuk meyakini bahwa kekuasaan bisa dicapai dengan kekerasan. Demokrasilah yang dianggap bisa menghalangi perilaku seperti ini.

Sayangnya, situasi di Mesir memperlihatkan penurunan kemampuan berpikir abstrak-demokrasi telah melanda hampir setiap elemen yang berseteru: pemerintah interim yang di-backing militer terus merepresi aktivis IM dan pihak anti-IM yang kehilangan orientasi: mendukung militer, membiarkannya (dan membenarkan) melakukan apa saja terhadap IM,  dan melupakan apa yang mereka perjuangkan tiga tahun sebelumnya (penggulingan Mubarak yang didukung militer selama puluhan tahun). Di saat yang sama, IM terus melakukan aksi-aksi pembangkangan terhadap pemerintah interim walau itu berujung pada semakin kerasnya represi militer terhadap mereka; dan memunculkan antipati massa yang lebih besar.

Perdamaian di Mesir tampaknya masih lama akan terwujud. Perseteruan masih akan terus berlanjut, selain karena kemampuan berpikir massa yang terdistorsi, juga karena menyembuhkan luka di hati jutaan orang yang merasa ‘barang berharga’-nya telah dirampas bukanlah pekerjaan mudah. []

[1] http://opegypt.wordpress.com/2013/07/25/pro-morsi-peacefulness/

[2] http://www.youtube.com/watch?v=KBQ3QiWsskY&feature=youtu.be

[3] http://www.theguardian.com/world/2013/oct/20/egypt-general-sisi-mania

[4]  http://professorianrobertson.wordpress.com/2013/07/04/mob-power-can-corrupt-too-bad-news-for-egypts-future/

[5] http://professorianrobertson.wordpress.com/2013/08/16/egypts-psychological-furies/

[6] http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/07/28/pemetaan-konflik-mesir/

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com