Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Ada berita bagus di tengah meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea antara AS versus Korea Utara (Korut) menuyusul beberapa kali uji coba rudal antarbenua intensitas program pengembangan senjata nuklir Korut maupun pernyataan provokatif Presiden AS Donald J Trump untuk melancarkan serangan balasan kepada Korut. Pada 9 Januari lalu, Korut dan Korea Selatan (Korsel) memulai babak awal perundingan damai kedua Korea yang terbelah pada akhir Perang Dunia II 1945.
“Kami datang ke pertemuan hari ini dengan pemikiran untuk memberi saudara-saudara kita , yang memiliki harapan tinggi untuk dialog ini, hasil yang tak ternilai sebagai hadiah pertama tahun ini,” begitu pernyataan Ketua Delegasi Korut Ri Son Gwon. Lebih lanjut, Ri menegaskan bahwa Korut memulai perundingan dengan sikap serius dan tulus. Adapun Menteri Unifikasi Korsel Cho Myong-gyon menyuarakan nada yang sama dengan Ri. “ Pembicaraan kami dimulai setelah Korea Utara dan Korea Selatan dipenuhi ketegangan untuk waktu yang lama, tapi saya yakin langkah pertama adalah setengah perjalanan. Akan baik kita untuk merancang hadiah bagus yang anda sebutkan tadi.”
Meskipun demikian, itikad baik yang disuarakan baik noleh Ri Son Gwon dari Korut maupun Cho Myong-gyon dari Korsel, pada prakteknya nanti tidak akan semudah membalikkan telapap tangan. Bagi Korut, kehadiran 28.500 tentara AS sebagai warisan Perang Korea 1950-1953, maupun serangkaian latihan militer gabungan antara AS dengan sekutunya Jepang dan Korsel, dipandang sebagai provokasi. Sehingga pada perkembangannya kemudian, dicanangkannya pengembangan program senjata nuklir dan uji coba rudal balistik antarbenua sejatinya merupakan aksi bela diri untuk mempertahankan kedaulatan Korut mengantisipasi kemungkinan serangan militer gabungan AS-Jepang-Korsel.
Dalam Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) bertema “Membaca Kebijaka AS terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia pada 9 November 2017 lalu, para narasumber maupun bersepakat bahwa Krisis Korea bukan sekadar pertikaian antara Korsel versus Korut. Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Teguh Santosa, mengatakan bahwa ketegangan di Semenanjung Korea yang semakin memanas saat ini sejatinya merupakan buah dari perubahan landscape geopolitik di kawasan Asia Timur yang didorong oleh kebangkitan Cina secara ekonomi maupun militer.
Menurut Teguh, apa yang dipandang sebagai ketegangan di Semenanjung Korea merupakan refleksi dari komunikasi intensif antara AS dan Cina. AS tentu tidak bisa membiarkan dominasinya di kawasan itu memudar begitu saja. Sementara di sisi lain, Cina juga memperlihatkan strategi geopolitik yang cukup agresif dan mengkhawatirkan AS.
Selain kedua negara itu, Rusia pun masih memiliki pengaruh yang besar di kawasan Asia Timur sehingga tidak akan membiarkan pertarungan geopolitik di Semenanjung Korea dimenangkan salah satu dari dua pesaingnya itu (AS dan Cina).
Pandangan Teguh Santosa memang masuk akal. Pada 14 Desember, Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan AS bahwa serangan AS ke Korut akan menimbulkan konsekuansi bencana besar. Maka itu Putin berharap Rusia dan AS dapat bekerjasama untuk menyelesaikan Krisis di Semenanjung Korea.
Sikap dasar Rusia nampaknya bertumpu pada dua pandangan. Rusia tidak mengakui Korut sebagai negara berkekuatan nuklir. Namun mengecam provokasi AS ketika berusaha memaksa Korut menghentikan program senjata nuklir dan rudal anti balistik antarbenua-nya.
Selain itu, Jepang nampaknya juga sangat berkepentingan untuk ikut mempengaruhi arah penyelesaian Krisis Korea itu. Maupun dalam memanfaatkan terjadinya Krisis Korea sebagai momentum untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya. Kelompok konservatif Jepang memanfaatkan ketegangan di kawasan Asia Timur untuk meningkatkan kapasitas militer dengan mengubah pemahaman Pasal 9 Konstitusi Jepang dari kekuatan militer yang bersifat bertahan atau self-defense, menjadi bersifat ofensif dengan kemampuan untuk melancarkan serangan militer kepada negara-negara lain.
Meningat kenyataan bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II Jepang merupakan sekutu strategis AS dalam bidang keamanan dan pertahanan, maka peningkatan postur pertahanan Jepang akan dibaca oleh Cina yang saat ini merupakan pesaing global AS, sebagai provokasi untuk mendominasi Semenanjang Korea bersama-sama dengan AS dan Korsel. Sekaligus ditujukan untuk mengisolasi dan memblokade kekuatan militer Korut.
Maka itu, sebagaimana kesimpulan dari seminar terbatas GFI, pembicaraan dan perundingan terkait denuklirasasi dan perdamaian di Semenanjung Korea selain harus melibatkan enam negara yakni AS, Cina,-Rusia,-Jepang-Korsel-Korut sebagai para pihak yang berkepentingan, maka agar bisa lebih efektif dan menghasilkan persetujuan damai yang menguntungkan semua pihak, perlu melibatkan negara baru yang terlibat aktif namun tidak punya kepentingan secara langsung dalam konflik di Semenanjung Korea. Dan Indonesia berpeluang besar dan sangat layak untuk tampil sebagai mediator atau the honest broker antara Korut dan Korsel. Maupun dalam memediasi kepentingan-kepentingan strategis negara-negara adikuasa yang terlibat dalam persaingan global di Semenanjung Korea seperti AS, Cina, Rusia dan Jepang.
Selain itu, seminar GFI tersebut juga mendesak untuk menginspirasi dari Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 dan Gerakan Non-Blok Beograd 1961 sebagai landasan untuk memainkan peran aktif Indonesia dalam mengajukan solusi-solusi dan terobosan-terobosan baru dalam menyelesaikan krisis Korea yang bisa diterima oleh para pihak yang terlibat dalam konflik di Semenanjung Korea.
Sayangnya, sejak ketegangan di Semenanjung Korea semakin meningkat hingga kini, sepertinya isu Korut tidak masuk dalam agenda utama yang jadi prioritas Kementerian Luar Negeri. Bahkan dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri pada 9 Januari lalu, isu Korut sama sekali tidak jadi sorotan utama. Selain isu Palestina dan soal Jerusalem, Menlu Retno Marsudi malah lebih fokus pada Krisis Rohingya di negara bagian Rakhine di Myanmar. Dan ASEAN sebagai bentuk kerjasama di kawasan Asia Tenggara.
Sebenarnya melalui mekanisme ASEAN ini, Menlu RI maupun Kemlu bisa mempertegas penyikapan Indonesia dalam penyelesaian Krisis di Semenanjung Korea. Sebab seperti uraian Menlu Retno, ASEAB dalam usianya yang mencapai 50 tahun, sudah memberikan kontribusi yang besar bagi terciptanya ekosistem perdamaian, stabilitas dan kemakmuran Asia Tenggara.
Adapun untuk 50 tahun ke depan, Menlu Retno mengatakan bahwa selain berkontribusi untuk kawasam, ASEAN harus mampu meningkatkan sumbangsihnya bagi perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Melalui frase ini, seharusnya ASEAN oleh Kementerian Luar Negeri RI dikondisikan sebagai landasan sekaligus “pintu masuk” Indonesia memainkan peran aktif dalam penyelesaian damai di Semenanjung Korea.
Apalagi dalam Seminar GFI membahas Krisis Korut itu, Dirjen Strahan Kemhan RI Mayjen TNI Yoedhi Swastanto mengatakan, Indonesia harus memainkan peran aktifterutama melalui forum regional ASEAN. Dimana Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan masih tetap punya pengaruh kuat di kalangan negara-negara ASEAN. Selain itu Indonesia harus tetap menjaga komunikasi dengan Korea Utara. Sebab Modal hubungan itu sudah ada sejak era Presiden Sukarno dan Presiden Kim Il Sung.
Karena itu menurut Yoedhi, Indonesia dapat menggunakan ASEAN dan menjadikan dirinya sebagai the leading sector dalam proses menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.
“Kita harus bisa memanfaatkan keberadaan Indonesia di ASEAN untuk berperan aktif menjaga stabilitas. ASEAN bisa memainkan peran positif. Kalau kita mampu menjadi mediator.
Terkait hal ini, Global Future Institute mendesak Kementerian Luar Negeri untuk segera mengeksploasi potensi dan kemungkinan melibatkan Indonesia sebagai mediator dalam Krisis Korea, baik melalui mekanisme ASEAN maupun dalam lingkup yang lebih luas, yaitu melalui kerangka KAA Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Beograd 1961.