Indonesia Harus Konsisten Dalam Garis Non-Blok di Tengah Pertarungan Dua Kutub Adidaya

Bagikan artikel ini

Faizal Rizki, Redaktur Senior Majalah Aktual

(Disampaikan dalam Seminar: Revitalisasi DASA SILA BANDUNG 1955, Selasa 14 April 2015).

Kalau dalam KAA ini akhirnya Indonesia ternyata memutus dan memilih untuk “bergabung” dengan kelompok tertentu, maka terjadilah sebuah kecelakaan besar sejarah.

Mengapa 29 negara Asia-Afrika bersedia hadir di Bandoeng saat itu?

Ideologi mereka berbeda dengan Indonesia saat itu. Mereka tak menganut falsafah Pancasila. Ada yang komunis. Ada yang pro AS atau Eropa. Ada negara yang miskin. Bahkan ada yang masih dijajah dan belum merdeka.

Ternyata Indonesia menawarkan sebuah visi universal dalam konferensi itu. Sebuah visi yang pasti diterima oleh semua negara yakni kesamaan derajad di muka bumi.

Presiden RI saat itu, Ir Soekarno ingin seluruh negara bangsa yang ada di dunia ini hidup dalam sebuah taman perdamaian. Tidak ada lagi sebuah negara menjajah negara lain. Tidak ada lagi bangsa yang merasa lebih besar dari bangsa lain. Tidak ada lagi sebuah negara bangsa besar dan makmur karena menghisap kemakmuran milik negara bangsa lain.

Bung Karno ingin seluruh negara bangsa yang ada saling tolong menolong. Saling gotong royong membagikan potensi kemakmurannya kepada negara lain. Yang kaya menolong yang miskin. Yang berlebih sumber daya alam, membagikan ke negara lain yang membutuhkan. Bukan penghisapan sebuah negara atas negara lain.

Semua negara yang hadir di Konferensi Asia Afrika saat itu berharap agar konferensi ini bisa membawa perubahan penting dalam tata dunia saat itu. Perang Dingin, ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur ternyata tidak menguntungkan sebagian besar negara-negara di Asia dan Afrika yang masih dalam tekanan kemiskinan, perang, kolonialisme dan imperialisme.

Jalan Non Blok-nya Bung Hatta dibalik visi kesamaan derajad yang digaungkan di KAA Bandoeng menjadi sangat strategis. Indonesia menjadi pelopor untuk sebuah perubahan tata dunia baru saat itu. Nama Ir Soekarno jadi ikon penting negara-negara di Asia dan Afrika untuk keluar dari tekanan kolonialisme, imperialisme, kemiskinan dan peperangan.

Tahun 2015. Setelah 60 tahun berlalu, Konferensi Asia Afrika kembali akan diselenggarakan di Indonesia.

Meskipun berlangsung dalam situasi geopolitik global yang berbeda namun suasana konferensi kali ini tetap sama dengan yang lalu yakni terjadi pengelompokan kekuatan ekonomi politik global pada dua negara yakni Tiongkok (plus Rusia) dan AS.

Apapun sebutannya, dua kekuatan besar itu berusaha berebut pengaruh baru di negara-negara di Asia dan Afrika lewat penguasaan kapital dan sumber daya alam.  Dalam konteks ini, ruh dan semangat Konfrensi Asia Afrika di Indonesia kali ini harusnya diletakkan.

Bisakah ruh KAA di Bandoeng mampu ditangkap? Dan mampukah diwujudkan? 

Dulu, orang penting dibalik kesuksesan KAA Bandoeng adalah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Soal visi dan integritas, kita tidak perlu memperdebatkannya. Ali adalah salah satu tokoh penting pergerakan menuju Indonesia Merdeka. Salah satu tokoh penting Partai Nasionalis Indonesia bentukan Bung Karno ini adalah salah seorang diplomat ulung yang pernah dimiliki Indonesia.

Perdana Menteri Ali membawa arah konferensi sesuai dengan visi besar Non Blok-nya Bung Hatta. Tidak condong ke Russia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau condong ke Amerika Serikat. Ali memikul beban mulia saat itu, membawa negara-negara yang tertindas saat untuk keluar dari lingkaran ketertindasan. Ini yang membuat AS dan Russia saat itu “kaget” dan “takut”.

KAA kali ini, Presiden Jokowi lewat Kepres No 3 Tahun 2015 menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ali Sostroamidjojo-nya perhelatan penting itu. “Panitia Nasional bertugas mengadakan persiapan dan penyelenggaraan KTT Asia Afrika Tahun 2015 dalam rangka Peringatan Ke-60 Konferensi Asia Afrika dan Peringatan Ke-10 New Asian-African Strategic Partnertship, pada bulan April 2015 di Jakarta dan Bandung dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat berjalan dengan aman, lancar, dan tertib,” begitu bunyi Pasal 2 Keppres tersebut.

Sebagai penanggung jawab, Luhut setidaknya harus paham dengan substansi dan arah KAA Bandoeng. Jangan sampai, KAA ini justru menjadi alat dan kepentingan asing untuk mendorong Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika untuk condong ke AS ataupun Tiongkok plus Rusia. Bahasa singkatnya, Indonesia harus konsisten memilih garis dan visi Non Blok di tengah dua pengelompokan besar saat ini. Indonesia juga yang akan memelopori negara-negara Asia Afrika untuk tidak mengelompok dan menyerah atas desakan dan tekanan geopolitik AS dan Tiongkok plus Rusia.

Kalau dalam KAA ini akhirnya Indonesia ternyata memutus dan memilih untuk “bergabung” dengan kelompok tertentu, maka terjadilah sebuah kecelakaan besar sejarah.

Sumber :Aktual.co

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com