Hubungan Indonesia dengan Timor Leste pasca lepas dari naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, nampaknya tidak serumit dan penuh komplikasi seperti halnya hubungan antara Republik Federasi Rusia dengan Ukraina yang merupakan pecahan dari Uni Soviet.
Menyusul bergabungnya kembali Semenanjung Crimea dengan Rusia, Ukraina secara aktif melancarkan kampanye anti-Rusia di berbagai forum internasional seperti Perseritana Bangsa-Bangsa dan UNESCO, dengan menggulirkan isu hak-hak asasi manusia.
Misalnya saja setahun yang lalu Ukraina bersama-sama dengan Turki mengorganisir aksi informasi (information campaign) melalui sebuah platform yang bernama discrimantion of Crimea tatar people.
Tentu saja yang jadi soa di sini bukan pada isu adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Namun sebagaimana beberapa sumber yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, warga Tatar di Crimea sampai saat ini dijamin hak-hak konstitusionalnya sebagaimana penduduk Crimea lainnya.
Pada 2021 lalu, Ukraina sempat membujuk Indonesia agar secara aktif mendukung platform discrimantion of Crimea tatar people tersebut, namun pemerintah Indonesia menolak dengan tegas karena bertentangan dengan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif. Sebab mendukung platform rancangan Ukraina dan sekutu-sekutnya dari AS dan Blok Barat, berarti Indonesia akan condong mendukung skema kebijakan luar negeri AS dan Blok Barat.
Yang mana diyakini bahwa AS dan Uni Eropa n berada di balik manuver-manuver pemerintah Ukraina untuk meng-internasionalisasikan adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap penduduk Tatar yang dilakukan oleh pemerintah Rusia seturut dengan bergabungnya Crimea kepada negara Beruang Merah itu.
Sudah barang tentu bujukan pemerintah Ukraina agar Indonesia mendukung platform discrimantion of Crimea tatar people, ditolak mentah-mentah oleh Indonesia, karena bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia itu sendiri. Lebih dari itu, bisa dipastikan akan memperburuk hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia.
Apalagi menurut agenda resmi yang sudah disepakati antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Rusia, pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 atau G-20 Summit yang akan diselenggarakan pada November 2022 mendatang, pemerintah Indonesia dan pemerintah Republik Federasi Rusia direncanakan akan menandatangani Perjanjian Kerjasama Strategis (Strategic Cooperation Agreement).
Maka itu, menolak persuasi diplomatik Ukraina agar Indonesia mendukung platform discrimantion of Crimea tatar people, selain bertentangan dengan Politik Luar Negeri RI Bebas dan Aktif, juga akan merusak hubungan baik RI-Rusia, sehingga penandatangan Perjanjian Kerjasama Strategis kedua negara terancam batal.
Betapa tidak. Sejak bergabungnya Crimea kepada Rusia seturut dengan kejatuhan pemerintahan Presiden Viktor Yanukovich, Ukraina secara gencar melancarkan aksi propaganda anti Rusia di berbagai forum internasional seperti United Nations (PBB) dan UNESCO. Yang mana dalam propaganda tersebut, mengutuk Rusia yang seakan-akan telah merusak khazanah budaya dan benda-benda bersejarah di Crimea.
Padahal berdasarkan sumber-sumber yang cukup kredibel, pemerintah Rusia justru dengan berbagai cara berupaya melindungi dan merawat, bahkan merestorasi dan merekonstruksi dari pengrusakan dan vandalism semasa Crimea masih berada dalam kekuasaan pemerintah Ukraina. Oleh sebab pemerintah Ukraina tidak peduli untuk melindungu peninggan-peninggalan budaya maupun benda-benda bersejarahnya.
Menilai dan menyikapi berita-berita media arus utama Barat yang membangun kesan seakan Rusia melakukan pelanggaran hak-hak asasi terhadap penduduk Tatar di Crimea, masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional sebaiknya membaca dan menyimak secara kritis. Dan jangan sampai mudah terpengaruh.
Dina Y Sulaeman, dalam sebuah artikelnya bertajuk: Nasib Muslim Tatar: Isu Jihad Baru di Ukraina?, di jurnal The Global Review Quarterly terbitan April 2014, menulis bahwa berbeda dengan Suriah yang perlu dua tahun sebelum (sebagian) publik menyadari konspirasi Barat, di Ukraina, kecurangan Barat terungkap dengan sangat cepat.
Secara lebih rinci Dina Sulaeman lebih lanjut menjelaskan:
“belum lagi pemerintahan interim berjalan stabul dan menerima pengakuan internasional sesaat setelah jatuhnya pemerintahan Yanukovich, mereka sudah mau menerima bantuan utang dari IMF. Orang-orang Ukraina pro Uni-Eropa yang lugu dan percaya saja pada provokasi Barat, kini mulai merasakan akibatnya: uang pension dipotong 50 persen, berbagai subsidi dicabut(ini adalah kewajiban semua negara yang mau berutang pada IMF, termasuk Indoneasia), dan privatisasi. Ukraina adalah lumbung pangan Eropa, dan kini lahan-lahan pertanian mereka akan segera pindah tangan ke korporasi-korporasi agribisnis milik Amerika.”
Menariknya, dalam membaca konteks manuver pemerintah Ukraina membela hak-hak asasi manusia warga Tatar di Crimea, yang seakan-akan lebih memilih bergabung dengan Ukraina, pakar hubungan internasional Dina Y Sulaeman punya sudut pandang analisis yang cukup menarik.
Dina memandang manuver Ukraina mengangkat isu Islam dengan dalih membela hak-hak konstitusional suku Tatar sebagai senjata untuk membangun citra buruk kepada Rusia, sama persis seperti AS dan Blok Barat memperalat kaum Muslim berhaluan Jihadis ketika mendorong mereka untuk memberontak terhadap pemerintahan Suriah yang sah dibawah pimpinan Presiden Bashar al Assad.
Dalam kasus Ukraina indikasinya antara ketika ada seruan dari kelompok neo-Nazi pro Uni Eropa kepada Doku Umarov, agar bergabung dalam perang melawan Rusia. Umarov yang dijuluki “Bin Laden of Russia,” merupakan Jihadis Chechen yang selama ini mengaku bertanggungjawab atas berbagai aksi bom bunuh diri di Rusia.
Berarti jelas sudah, bahwa manuver Ukraina menginternasionalisasikan isu pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap suku Tatar di Crimea, sejatinya merupakan propaganda anti-Rusia sekaligus mengupayakan agar Crimea bergabung kembali ke Ukraina, sesuai skema kepentingan AS dan Uni Eropa untuk menancapkan pengaruhnya yang semakin kuat di Ukraina pasca kejatuhan Presiden Viktor Yanukovich.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)