Indonesia Harus Perjuangkan Kedaulatan Pangan dan Kebijakan Pertanian Pro Rakyat di KTT APEC Bali 2013

Bagikan artikel ini

“The world is looking to APEC as the engine for global growth because the Asia Pacific region has demonstrated its resilience in the wake of the most recent financial crisis” President Susilo Bambang Yudhoyono at the APEC CEO Summit 2012 Vladivostok.

Kalau kita mencermati beberapa agenda strategis yang dipersiapkan para pemangku kebijakan ekonomi dan politik luar negeri Indonesia menyongsong keketuaan dan ketuanrumahan Indonesia pada pada KTT APEC Oktober 2013 mendatang, sebenarnya cukup menjanjikan.

Setidaknya dalam forum pertemuan para pejabat senior APEC 2013 di Surabaya 7-19 April lalu, telah mencanangkan beberapa isu prioritas yang mencakup antara lain:
1. Pembangunan dan investasi infrastruktur
2. Program pemberdayaan perempuan dalam perekonomian
3. Peningkatan daya saing UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
4. Perluasan akses kesehatan
5. Promosi kerja sama pendidikan lintas negara
6. Rencana kerangka konektivitas di Asia Pasifik yang akan memberikan kemudahan bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat Asia Pasifik untuk berpergian dan melangsungkan perdagangan.

Dari enam agenda yang secara eksplisit telah disampaikan oleh Yuri O Thamrin, Ketua Sidang Pejabat Senior APEC 2013 yang juga menjabat Direktur Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, kiranya sudah cukup jelas secara konseptual.

Namun dari penilaian Global Future Institute, terkesan agenda-agenda strategis tersebut tidak ditempatkan dalam kerangka strategi kebijakan luar negeri dan sudut pandang geopolitik untuk memberdayakan posisi tawar Indonesia dalam menghadapi kepentingan-kepentingan strategis korporasi-korporasi global asing, terutama Amerika dan Uni Eropa.

Sehingga dikhawatirkan Indonesia justru akan masuk dalam perangkap skema dan strategi kebijakan kapitalisme global di Washington dan Uni Eropa yang tergabung dalam G-7.

Maka sebagai latarbelakang dan pemetaan masalah sebelum kita sampai pada perumusan agenda-agenda strategisnya, ada baiknya para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan kebijakan strategis pada KTT APEC mendatang untuk mendalami terlebih dahulu kondisi obyektif yang berkembag di tanah air saat ini.

Mari kita simak kondisi obyektif di sektor pertanian, sekadar sebagai contoh.

Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian dan Pangan Indonesia

Pertama, saat ini Indonesia yang merupakan negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan dan bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia sungguh besar, yatu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk menghasilkan produk yang bervariasi juga terbuka luas.

Kedua, dengan merujuk pada pendapat Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial Agraria “Agricola”, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban? Yang jadi korban adalah para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.

Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Maka, monopoli tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.

Kartel Pangan

Sementara itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Sementara informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.

Amerika Serikat Tekan Indonesia Agar Cabut Pembatasan Impor Holtikultura

Masih soal holtikultura, satu lagi kenyataan obyektif yang kiranya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perekonomian perlu mencermati secara seksama. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia akhirnya mengalah menyikapi laporan Pemerintah Amerika Serikat ke Badan Perdagangan Dunia (WTO), atas peraturan impor hortikultura dengan melakukan pelarangan dan pembatasan buah dan sayuran. Karenanya, Pemerintah akan melakukan revisi Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).

Hal ini terkait dengan langkah Indonesia memberlakukan Permentan No. 60 tahun 20012 tentang pembatasan impor Holtikultura (sayur dan buah), sehingga AS) gencar memprotes aturan tersebut. Bahkan Indonesia diadukan ke WTO. Setelah melakukan pertemuan antara perwakilan AS dan Indonesia di Jenewa beberapa waktu lalu akhirnya pemerintah indonesia berencana merevisi aturan tersebut.

Pemerintah mengeluarkan aturan Permentan 60 Tahun 2012 dan Permendang Nomor 60 Tahun 2012 terkait pengaturan importasi 20 komoditas hortikultura.

Aturan tersebut dikeluarkan karena dianggap produksi dalam negeri masih mencukupi sehingga pemerintah melarang 13 komoditas hortikultura masuk ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu, diantaranya durian, nanas, melon, pisag, mangga, pepaya, kentang, kubis, wortel, cabe, krisan, anggrek dan heliconia.

Sementara 7 komoditas hotrikultura yang dibatasi jumlah impornya di antaranya Bawang yang diterdiri dari bawang bombay, bawang merah dan bawang putih, kemudian Jeruk yang terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon, dan grapefruit atau pamelo, anggur, apel dan lengkeng.

Dari 300 Komoditas hanya 90 sampai 92 komoditas yang diperdagangkan. Dari jumlah itu 20 komoditas yang diatur dalam Permentan nomor 60 Tahun 2012. Dari 20 komoditas tersebut 7 komoditas hortikultura yang dibatasi jumlah kuota impornya.

Dari gambaran tersebut di atas, pemerintah Indonesia sudah seharusnya menyadari adanya sisi rawan dari kedaulatan kita di sektor pertanian dan sektor pangan, akibat kuatnya pengaruh dan tekanan korporasi-korporasi asing dalam pembuatan kebijakan strategis di sektor pertanian dan pangan.

Dan yang yang mengecewakan kami dari Global Future Institute, pemberdayaan sektor pertanian dan pangan sama sekali tidak dimasukkan sebagai salah satu isu prioritas sebagaimana disampaikan oleh Yuli O Thamrin pada Sidang Pertemuan Pejabat Senior APEC di Surabaya April lalu.

Padahal, berdasarkan data kementerian Pertanian menunjukan perkembangan impor buah dan sayur mengalami perkembangan yang sangat drastis. Pada tahun 2008, nilai impor produk hortikultura mencapai 881,6 juta dollar AS, tetapi pada 2011 nilai impor produk hortikultura sudah mencapai 1.7 miliar dollar AS (dengan kurs Rp. 9.500, sekitar Rp 16,15 triliun).

Komoditas hortikultura yang di impornya paling tinggi adalah bawang putih senilai 242,4 juta dollar AS (sekitar Rp. 2,3 triliun), buah apel sebanyak 153,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,46 triliun), jeruk 150,3 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,43 triliun) serta anggur sebanyak 99,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 943 miliar).

Karena itu kita kiranya cukup beralasan dengan membanjirnya produk holtikultura impor. Seakan produk holtikultura tidak mampu bersaing, padahal kita sangat mampu bersaing di tingkat internasional.

Padahal pada kenyataannya, Komoditas hortikultura lokal selama ini telah memberikan pendapatan yang besar bagi negara, Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 sebesar Rp 61.729 miliar meningkat menjadi Rp 88.334 miliar pada tahun 2010. Dengan PDB terbesar di sumbang dari komoditas buah, disusul sayuran, hias dan tanaman obat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Maka penyebabnya adalah besarnya pengaruh skema kapitalisme global lewat beberapa korporasi asing, sehingga holtikultra produk import bisa merajalela di Indonesia.

Pada tataran ini, Indonesia dalam KTT APEC 2013 harus punya kontra skema untuk mematahkan monopoli kartel-kartel asing tersebut. Sehingga agenda-agenda strategis Indonesia pada KTT APEC 2013 mendatang benar-benar membumi.

Kontra Skema Indonesia dalam KTT APEC 2013 harus didasari gagasan untuk melakukan proteksi terhadap kelompok-kelompok ekonomi menengah dan kecil. Pada tingkatan ini, merumuskan perlunya peningkatan daya saing UKM dimasukkan dalam salah satu isu prioritas kiranya sudah berada di jalan yang tepat. Hanya saja belum tergambar secara jelas strategi pemerintah Indonesia dalam menjabarkan isu tersebut pada KTT APEC 2013 mendatang.

Dalam hal kedaulatan atau kemandirian pangan, misalnya, harus didasari untuk melindungi kepentingan para petani. Program kemandirian pangan berarti juga harus diikuti dengan diberlakukannya kebijakan melarang pemberlakuan bebas bea masuk pangan impor. Sehingga skema kedaulatan ekonomi dan khususnya pangan, akan mampu membendung gempuran produk-produk impor dari luar negeri terhadap produk dalam negeri.

Dalam hal memberlakukan kebijakan proteksi terhadap pertanian dalam negeri, ada baiknya mencontoh Cina dan Rusia. Bagaimana kedua negara tersebut ketika memberlakukan kebijakan pertanian pro rakyat dalam bidang unggas misalnya, pakan pun diproteksi, bahkan diberikan secara gratis, untuk melindungi para petaninya.

Dengan mengambil inspirasi dari Cina maupun dari Rusia, yang kebetulan saat ini menjadi menjadi Ketua APEC menyusul KTT APEC di Vladivostok tahun lalu, sudah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pangan yang pro pertanian. Dengan memberikan perlindungan terhadap petani mulai dari harga jual, bibit, pakan, bahkan hingga kebijakan agro industri yang melindungi petani.

Apalagi diperkuat oleh berbagai fakta yang disampaikan beberapa pakar bahwa pangan lokal ternyata memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia dan mikrobiota lokal Indonesia.

Saatnya pemerintah harus tegas dan konsisten dengan target pencapaian kedaulatan pangan. Jangan mau diatur-atur oleh para importir. Dalam fluktuasi harga pangan, sudah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu karena Indonesia tidak mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir saat terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.

Ferdiansyah Ali dan Hendrajit, Peneliti Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com