Indonesia Masa Depan Sebagai Negara Maritim Terbesar di Asia (Bag. I)

Bagikan artikel ini

Pada 2013 lalu, saya menulis dan menerbitkan sebuah buku  yang bertajuk: Indonesia Negara Maritim Terbesar di Asia. Bagi saya ini bukan merupakan sebuah khayalan, sepenuhnya berpijak pada kenyataan sejarah. Nenek moyang kita, para leluhur bangsa nusantara ini, sebenarnya memiliki tradisi maritim yang sudah berlansung berabad-abad yang silam. Dalam lingkup kita sebagai bangsa Nusantara, kita adalah bangsa maritim. Hal ini terbukti oleh keberadaan kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, Majapahit dan Kesultanan Demak, di Jawa, dan juga tradisi pelayaran Nusantara yang melalui berbagai sumber sejarah yang berhasil terdokumentasi, telah terbukti jauh lebih kuat dan mengakar dibandingkan transportasi darat. Dengan kata lain, Sejarah nusantara membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah berjaya sebagai negara maritim besar yang diakui seluruh dunia.

Sayangnya, pemerintah Indonesia, sejak Orde Baru sampai Era Reformasi sekarang ini, belum memiliki kepeduliaan serius untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang memungkinkan Indonesia bergerak menuju negara maritim.

Menurut pandangan saya, kita harus punya suatu tekad untuk mewujudkan kembali Indonesia sebagai negara maritim terbesar di Asia di masa depan. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, pemerintah perlu menciptakan sebuah paradigma baru dan cara pandang baru. Betapa Indonesia sebagai negara maritim selain memiliki akar kesejarahan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sekaligus  juga perlu memunculkan sebuah kesadaran baru bahwa melalui pemberdayaan sektor kemaritiman,  bangsa Indonesia akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat seperti kemiskinan, kebodohan, rasa rendah diri. Melalui pemberdayaan sektor kemaritiman, bangsa Indonesia akan kembali menemukan kebanggaan nasionalnya dalam percaturan global. Karena Indonesia sebagai negara maritim, sejatinya bersenyawa dengan takdir politik Indonesia.

Sekiltas Mengenai Hakekat Kemaritiman dan Kelautan

Sebelum beranjak lebih jauh mendalami gagasan saya untuk mewujudkan kembali kejayaan maritim Indonesia, ada baiknya sekilas saya singgung mengenai perbedaan hakiki antara kemaritiman dan kelautan. Karena belakangan ini saya sering mendengar adanya perdebatan para pakar mengenai istilah mana yang tepat antara kelautan dan kemaritiman. Menurut saya, perdebatan seringkali jadi rancu karena tidak memahami tentang apa yang dimaksud dengan kedua istilah tersebut.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian laut merupakan kumpulan air asin yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang berhubungan dengan laut.” Berhubungan di sini bisa saja diartikan sebagai dekat, menyentuh atau bersinggungan.

Pengertian ini menjelaskan bahwa istilah kelautan lebih cenderung memberikan perspektif lebih sebagai bentuk fisik, sebagai physical entity atau physical prosperity. Meski demikian, kelautan dalam arti luas dapat saja diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai kepentingan dengan laut sebagai hamparan air asin yang sangat luas, yang menutupi permukaan bumi.

Lalu bagaimana dengan makna maritim? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Maritim secara primer merupakan sifat yang menggambarkan obyek atau aktivitas berkenaan dengan laut. Istilah maritim tak hanya memiliki pengertian sempit yang berhubungan engan angkatan laut atau angkatan laut dalam hubungannya dengan kekuatan darat dan udara. Bahkan maritim lingkupnya juga lebih luas daripada sekadar berhubungan dengan angkatan laut dan semua kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan komersial non-militer terhadap laut.

Dengan demikian, saya berpandangan bahwa jika Indonesia berupaya untuk memanfaatkan laut, maka istilah maritim jauh lebih tepat. Indonesia harus menjadi negara maritim, bukan sekadar negara kelautan. Sebab negara maritim merupakan negara yang mempunyai sifat memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya, sedangkan negara kelautan lebih menunjukkan kondisi fisiknya, yaitu negara yang berhubungan, dekat dengan atau terdiri dari laut.

Indonesia sebagai negara maritim, karena hal ini menunjukkan aktivitas dan pemberdayaan manusia yang berkenaan dengan laut. Indonesia sebagai negara maritim berarti menaruh kepeduliaan dan mampu untuk mengolah sumber daya kekayaan dari dasar hingga permukaan lautnya dan bahkan hingga lautan samudra, dalam berbagai aspeknya baik ekonomi, geopolitik maupun militernya.

Maka GeoEkonomi  dalam perspektif Indonesia sebagai negara maritim, bisa dairtikan sebagai sebuah aktivitas kombinasi faktor ekonomi dan geografis yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Sedangkn geopolitik dan militer dalam perspektif Indonesia sebagai negara maritim, diartikan sebagai aktivitas sejumlah faktor yang bertumpu pada kondisi Indonesia baik secara geografis, ekonomi dan demografi dalam menentukan arah politik dan militer, termasuk politik luar negeri kita sebagai bangsa dan negara.

Atas dasar pandangan tersebut, jika Indonesia bertekad untuk mewujudkan dirinya kembali sebagai negara maritim terbesar di Asia, maka perlu sebuah gerakan penyadaran dan bahkan aksi untuk mewujudkan Indonesia masa depan sebagai negara yang memiliki paradigma kemaritiman, sehinggga terjadi transformasi besar-besaran baik secara ekonomi, geopolitik, dan militer, menuju Indonesia sebagai negara maritim terbesar di Asia.

Konsepsi Negara Maritim Indonesia Dan Wawasan Nusantara

Pada masa awal kemerdekaan, para pimpinan nasional seperti Sukarno, Muhammad Yamin, dan  Chairul Saleh sangat bergairah untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pada 1957, lahirlah Wawasan Nusantara, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Juanda. Konsep Wawasan Nusantara ini memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pada 1960 dibentuk Dewan Maritim yang tertuang dalam Perpres No 19 Tahun 1960 tentang Pembentukan Dewan Maritim. Dalam konsideran Perpres itu di antaranya berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh.

Dalam pembukaan National Maritime Convention (NMC) pada 1963 Sukarno menegaskan, untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan nation building bagi negara Indonesia, maka negara harus menguasai armada yang seimbang. Saat membia Lemhanas pada 1965 Sukarno kemnbali mengingatkan bahwa tujuan geopolitik Indonesia adalah maritim.

Konsep Wawasan Nusantara ini kemudian mendapat pengakuan dunia dengan ditetapkannya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada Konferensi PBB tentang Hukum Laut III pada 1982 di Motego Bay, Jamaica. UNCLOS tidak saja menguntungkan Indonesia, tetapi juga negara-negara kepulauan seluruh dunia.

Seturut dengan perkembangan tersebut, telah menunjukkan bahwa spirit awal yang dibawa untuk memasuki era kemerdekaan sangat positif, penuh percaya diri dan sekaligus mandiri.

Sayangnya, semangat nasionalisme kebaharian atau maritim ini, kemudian memudar, ketika berbagai perspektif baru muncul merespons situasi dan problem-problem yang dihadapi bangsa Indonesia.

Paradigma dan Strategi Pembangunan Berorietasi Darat Mengabaikan Gagasan Masyarakat Maritim

Ketika pemerintahan Suharto mengambil-alih dari Sukarno sejak 1967, maka Suharto merestrukturisasikan politik dan ekonomi dengan dua tujuan: Tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Pertumbuhan ekonomi yang relatif  tinggi di Indonesia dengan bertumpu pada paradigma kapitalisme, tidak berarti melahirkan pemerataan atau keadilan sosial, yang justru seharusnya menjadi pondasi dari berdirinya bangsa dan negara Indonesia.

Pada kenyataannya, ketika kapitalisme dijalankan dengan ketat di Indonesia, yang tumbuh kemudian adalah konglomerasi, yang dengan kekuasaan modal serta kerakusannya, justru membuat mayoritas sosial terpinggirkan. Konglomerasi di Indonesia pada era Orde Baru tidak ada hubungannya dengan keunggulan lingkup ekonomi, melainkan pola patron-client yang dilahirkan oleh Suharto sendiri, yang memainkan dirinya sebagai patron.

Di Indonesia, kehadiran konglomerasi lebih disebabkan oleh dua hal. Lobi dan peranan perbankan dalam membesarkan konglomerasi. Selama era Orde Baru, yang terlihat jelas adalah struktur konglomerat itu hanyalah cost-saving dan efisiensi dalam hal melakukan lobi kepada penguasa dan birokrat. Untuk menjamin keberhasilan suatu bisnis, kemampuan dalam melakukan lobi untuk lisensi, pendanaan dari bantuan pemerintah, pejabat hukum, dan birokrat sangatlah penting. Singkat kata, peluang bisnis yang punya potensi keuntungan besar dan pendanaan yang besar didistribusikan dan dikontrol dari pusat.

Yang tak kalah penting, di era Orde baru paradigma dan strategi pembangunan dilaksanakan berorientasi ke darat (Continental Oriented Development). Padahal paradigma terestrial atau pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan daratan yang bersifat feodalistik merupakan produk pendudukan kolonial Belanda (VOC) atas Indonesia. Akibatnya, paradigma dan strategis semacam ini telah membentuk mentalitas kerdil sehingga melemahkan gagasan pemikiran dan jiwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim yang egaliter dan berorientasi kosmopolitan serta memiliki kekayaan sumberdaya laut yang melimpah.

Penyebab lain dari melemahnya gagasan dan semangat masyarakat maritim Indonesia adalah, akibat pengaruh mitologi budaya sebuah kerajaan Jawa yang gemah ripah lih jinawi (subur makmur) yang sepenuhnya bersifat agraris. Sehingga ketika mitologi ini diterjemahkan ke dalam kebijakan ekonomi yang dirancang oleh Mafia Berkeley, maka seluruh Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang ada di zaman Suharto, menempatkan bidang pertanian sebagai fokus utama.

Itupun, mimpi jadi negara agraris yang gemah ripah loh jinawi akhirnya sirna ketika sejak 1989 Indonesia menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Selain daripada itu, perlu juga saya catat di sini, bahwa kebijakan pertanian yang ada sepenuhnya bersifat top down, di mana pemerintah bersifat otoriter “memaksa” petani untuk mentaatinya.

Laut Adalah Kunci Kejayaan Sebuah Bangsa

Begitulah. Ketertinggalan Indonesia dengan negara-negara lain di Asia, tak dapat dilepaskan dari penggunaan paradigma pembangunan yang berorientasi daratan. Sehingga berakibat terciptanya struktur berfikir dan semangat rakyat yang bermental agraris, tidak mau bersusah-payah mencari tantangan demi memperoleh kemajuan demi mewujudkan harkatnya sebagai bangsa besar.

Mentalitas inilah yang ditanamkan secara kuat oleh penjajah Belanda dengan kebijakan umumnya de-maritimisasi secara sistematik, sehingga wawasan dan aktivitas rakyat terisolasi, dalam kotak-kotak daratan dengan memuaskan diri hidup secara agraris.

Menurut saya ini patut disayangkan. Justru ketika Indonesia telah merdeka, dan dengan kehendaknya sendiri, justru bergerak ke agraris dan mencerabut akar-akar kultural maritimnya.

Jika situasi ini dibiarkan terus, mungkin Indonesia akan jadi negara yang  memiliki pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dinyatakan dalam permainan angka-angka para ekonom kapitalis, namun negara besar ini justru akan terus semakin jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia.

Apa yang perlu kita sadari adalah suatu prinsip bahwa perubahan bisa terjadi hanya karena berjalannya waktu, menyerahkan takdir bangsa Indonesia dalam alirah sejarah yang dikendalikan asing.

Karena itu, saya berpandangan bahwa hal yang terpenting adalah, kita harus punya kehendak untuk berubah dan juga berani mengubah paradigma pembangunan dengan berorientasi maritim. Saya berkeyakinan, sampai kapan pun juga suatu bangsa tidak akan berubah jika mereka tidak memiliki kehendak untuk berubah, termasuk Bangsa Indonesia.

Sejarah kebesaran bangsa kita adalah ketangguhan sebagai bangsa maritim. Beberapa kerajaan besar di Nusantara pernah berjaya kareka kekuatan maritimnya. Sebut saja misalnya Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Demak, Makassar, Ternate, Tidore, Malaka, Samudera Pasai, Banten, Cirebon dan yang lain.

Bahkan jauh sebelum itu, Dick Read dalam penelusurannnya menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara pada awal abad masehi telah menaklukkan samudra Hindia dan berlayar sampai Afrika, jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dab Cina memulai penjelajahan maritim mereka. Abad V-VII, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Adalah kenyataan bahwa kapal-kapal Cina saat itu ternyata mengadopsi teknologi kapal Nusantara, misalnya kapal Jung.

Dapat saya katakan, bahwa maritim dan semangat maritim merupakan faktor penentu bagi eksistensi sebuah kerajaan atau negara. Semakin tinggi semangat maritim suatu negara atau kerajaan, maka akan semakin tinggi pula eksistensi diri kerajaan atau negara tersebut di antara negara-negara lainnya. Sebaliknya, jika semangat maritim menyusut atau lenyap, maka dapat dikatakan bahwa kerajaan atau negara tersebut akan menyusut bahkan kehilangan eksistensinya.

Laut merupakan kunci kejayaan, siapa menguasai laut  maka dia menguasai urat nadi kehidupan. Majapahit dan Sriwijaya telah membuktikannya dengan menjadi kerajaan ekspansionis dan peradaban yang gemilang, yang bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Dharmawangsa dari Mataram Hindu dan Kartanegara dari Singasari menyadari hal itu.

Mereka mengirimkan ekspedisi untuk menguasai Melayu dan Selat Malaka. Karena Melayu memiliki posisi yang strategis dan memungkinkan untuk mengontrol semenanjung Malaka yang ramai oleh lalu-lintas perdagangan.

Sebaliknya sejarah juga kemudian membuktikan bahwa kelemahan di sektor maritim itu pula yang menyebabkan kerajaan-kerajaan itu menyurut dan akhirrnya hilang berganti cerita dan legenda. Hal terlihat jelas dalam kasus Kerajaan Demak, yang setelah mengalami perang saudara dalam perebutan kekuasaan, ibu kota kerajaan kemudian dipindahkan menjauh dari laut, ke Pajang lalu Mataram. Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak.

Ketika kerajaan Islam ini berada di pedalaman, maka secara praktis ia telah kehilangan orientasi maritimnya dan sibuk dengan dirinya sendiri. Warisan nilai-nilai Islam yang universal secara perlahan redup dan kembali kepada mistisisme dan bahkan percaya pada keris dan batu keramat, serta jebakan mitologis Ratu Laut Selatan.

Pelararan sejarah penting dari kisah ini, betapa Laut tidak hanya memberikan kehidupan dengan sumberdaya yang luarbiasa, tetapi juga menjadi jaminan dari kegemilangan suatu bangsa. Visi dan semangat Maritim akan mentransformasikan suatu bangsa menjadi bangsa yang memiliki wawasan luas, terbuka, dinamis dan sekaligus imajinatif.

(Bersambung ke  bagian II)

Penulis: Isran Noor, Mantan Bupati Kutai Timur

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com