Drs Slamet Sutrisno MSi, Dosen Kebudayaan Indonesia Fakultas Filsafat UGM
ALANGKAH hebatnya SBY dan alangkah bangganya kita mendengar presiden kita ini termasuk dalam tokoh kaliber dunia versi majalah TIME. Majalah bergengsi itu dalam edisi awal April 2009 menetapkan SBY sebagai satu diantara 100 tokoh dunia yang berpengaruh. Bahkan, rankingnya jauh mengungguli Presiden Barrack Obama yang bertengger di angka 20—sementara SBY di urutan 9 persis di angka kesayangan presiden asal Pacitan itu.
Namun demikian, sementara kalangan toh terbelalak sembari menyoal validitas ketokohan dunia itu. Dalam tayangan Metro-TV belum lama, mantan anggota DPR/MPR Ichsanurddin Noorsy mengaitkan terpilihnya SBY sebagai tokoh dunia itu dengan tendensi politik sebagai bagian dari operasi intelijen asing. Konteksnya tidak lain ialah berlangsungnya Pemilu Presiden 2009 berkenaan dengan tim sukses SBY yang ditengarai memang merambahi lingkungan strategis dunia.
Dalam prolog penetapannya nama SBY tidak tercantum dalam 208 tokoh yang dinominasikan. Namun, secara ajaib –demikian narator Metro-TV—nama presiden kita tertera dalam urutan ke sembilan dari 100 tokoh dunia. Jika redaktur Metro-TV mengaitkannya dengan kinerja konsultan asing yang berwajib mendongkrak citra SBY di dunia internasional, Ichsanurddin mengorelasikan dengan kelayakan majalah besar taraf dunia itu dengan “apa yang dibaliknya.” Tidak sulit untuk mengerti bahwa pencantuman nama SBY itu tidak akan terlepas dari bagian pencitraan berhubung pencitraan media selama ini memang amat segmental dalam strategi kampanyenya.
Memang memadaikah personalitas SBY, di antara ciri penting dalam opini publik sebagai peragu menyandang predikat tokoh dunia yang berpengaruh? Budaya Jawa yang amat kaya kata-kata bijak atau unen-unen mempunyai dua frasa untuk dipakai sebagai kacamata analisis, yakni gendhulak-gendhulik dan laku dom sumuruping banyu.
Yang pertama adalah peran sikap dan kepribadian personal manusia (diarahkan SBY) dan frasa kedua adalah peribahasa atau pepatah
(dimaksudkan kepada tendensi tindakan siluman majalah TIME). Ihwal gendhulak-gendhulik adalah unen-unen yang bersifat dialek yang dikenal bagi komunitas Jawa tertentu dan mungkin kurang dikenal bagi komunitas Jawa lainnya.
Kita tahu bahwa Jawa tidaklah menjanjikan diskripsi seragam dari sudut budaya; ada perangan tertentu semisal Jawa Yogya Mataraman, Jawa Solo, Jawa Banyumasan, Jawa Madura. Di sisi lain dikenal Jawa pedalaman atau pegunungan dan Jawa pesisiran. Gendhulak-gendhulik agaknya lebih dominan pada Jawa pedalaman, Jawa Solo- Yogya dan sekitarnya.
Yang unik serta membanggakan adalah, frasa khas Jawa itu lebih populer pada lantunannya dalam sebuah lagu karawitan dengan notasi: nem lu ma lu nem ji ro; nem nem lu ma lu nem ma lu (6 3 5 3 6 1 2 6 6 3 5 3 6 5 3 ) dengan titi laras slendro. Unen-unen tersebut menjadi syairnya dengan seselan “a” di tengahnya begini: gen dhu lak a gen dhu lik (6 3 5 3 6 1 2)—lantas disambung syair: apa sida apa ora (6 6 3 5 3 6 5 3). Adapun maknanya, unen-unen gendhulak-gendhulik itu ditujukan kepada sifat ragu-ragu; sering maju-mundur dengan kelambanan mengambil keputusan. Sifat itu memang kurang mengenakkan lingkungan sosial semisal pertemanan, kekeluargaan dan keorganisasian, berhubung dengan dampak ketidakpastian yang kadang menjengkelkan.
Dalam kelindan ekstremnya, pribadi gendhulak-gendhulik meriskir sifat tidak konsisten dan secara lebih tajam konektif dengan ciri tak mudah dipegang pembicaraan dan janjinya. Ada gendingan khas pedesaan semacam ini: wit gedang awoh pakel (ngomong gampang, nglakoni angel) dan di lingkungan kediaman penulis, seni menyebutnya sebagai berikut: cangkem karo silit kuwi adoh.
Dus, seorang yang dikenal berwatak gendhulak-gendhulik adalah pribadi peragu, banyak pernyataan tetapi kurang bukti, sering kurang mampu bertanggung jawab. Begitukah seorang SBY? Barang tentu orang tak boleh sepihak dalam pernilaian. Deskripsi perlu dibangun dengan lebih dahulu memberi respek dimana SBY dikenal luas sebagai seorang tokoh nasional simpatik selalu bersenyum ramah; tinggi kesantunan dan ucapan maupun tindakannya ‘terukur’. Tampilan fisik dan parasnya mudah memesona kaum ibu.
Namun demikian sejalan dengan “hukum besi” bahwa tidak ada gading yang tak retak dan ‘rumus’ bahwa seseorang memuat dalam dirinya kelebihan dan kekurangan; SBY tak bisa dikecualikan dari hukum dan rumus itu. Barangkali falsafah Cina pas untuk disebut; bahwa manusia sebagai kompleks sinergis mikrokosmik tak terlepas dari modalitas (ke-cara berada-an) kesisteman Yin-Yang.
Berikut ini beberapa hal yang mungkin mendukung kritik Ichsanurddin Noorsy dalam rubrik Secret Operation Metro TV tersebut di muka. Dalam duet kepresidenan SBY- JK, tak sedikit khalayak menyimpulkan betapa justru JK justru lebih artikulatif dalam kinerja kenegaraan—yang terkenal ialah penyelesaian masalah GAM di Aceh. Namun, apa lacur? Malahan SBY-lah yang dinominasikan menyabet Nobel Perdamaian tahun silam!
Kedua, dalam amatan Buya Syafii Ma’arif yang dikenal bijak itu, JK disebutnya sebagai ‘The Real President’ dalam kepemimpinan kenegara-bangsaan sekarang ini. Dan manakala mesti dituntut pemuncakan tanggung jawab atas permasalahan besar yang berdampak aib di mata dunia; musibah Lumpur Lapindo dan kekisruhan massif pemilu 2009 (DPT, ketidakruntutan kerja KPU) tidakkah presiden sebagai kepala pemerintahan adalah penanggungjawab puncak? Wajarlah, untuk kekisruhan pemilu, Prabowo Subianto menuntut agar presiden tidak lempar tanggung jawab (‘Merdeka,’ 18 April 2009).
Tulisan ini berpendapat, di antara enam presiden RI, hanyalah Sukarno layak dinobatkan sebagai presiden kaliber dunia, terbukti dalam
kepemimpinan tiga benua (Asia, Afrika dan Amerika Latin) bersama Naser (Mesir), Tito (Yugoslavia) , Nehru (India), Moh.Ali (Pakistan) dan Nkrumah (Ghana). Soeharto berada diseputar level kepemimpinan ASEAN (yang amat disegani oleh Lee Kuan Jew dan Mahatir Mohammad). Taraf dunianya seorang Habibie dan Gus Dur bukan pada kepresidenannya, Habibie dalam keahlian teknologi kedirgantaraan dan Gus Dur dalam kepemimpinan nonformal pluralisme keagamaan dan perdamaian.
Maka itu, bila TIME kok menorehkan skor begitu tinggi atas kepemimpinan SBY, memang bukan mustahil jejak semacam itu dalam budaya Jawa dikategorikan dalam laku dom sumuruping banyu, yakni laku siluman terkait kompleks operasi intelijen asing yang dalam bahasa Jawa disebut kompleks telik-sandi.
Jika benar begitu, sebetulnya tidaklah sulit untuk memahami berkenaan dengan fakta sejarah betapa strategisnya Indonesia bagi kekuatan-kekuatan besar dunia sehingga mereka berupaya untuk menggaet ke dalam political bahkan ideological sphere masing-masing pihak adidaya itu. Mantan Rektor UGM Prof Soeroso (alm) dalam pidato pengukuhan profesornya menyatakan bahwa sejak 1950-an Indonesia bukan saja terseret dalam political sphere Amerika, melainkan juga ke dalam academic sphere-nya.
Dus, dalam konteks interaksi antar-bangsa operasi intelijen asing mana pun sah-sah saja dialamatkan ke suatu negara, sejauh hukum negara itu tidak dilanggar—atau dilanggar tetapi tidak konangan, atau aparatur negara ethok-ethok tidak ngerti karena menguntungkan.