Iran Pun Bergolak?

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman – Pemerhati Masalah Internasional

Beberapa hari terakhir, media-media mainstream (yang kemudian disebarluaskan ulang media-media lainnya) menurunkan berita tentang memanasnya situasi di Iran, seolah-olah gelombang kebangkitan Mesir dan Tunisia kini mulai melanda Republik Islam itu. Padahal, kebanyakan berita-berita yang dirilis media-media Barat tidak bersumber langsung dari wartawan mereka sendiri. Reuters pun mengutip dari ‘media semi-resmi’ Teheran. Gambar yang ditampilkan Reuters, AFP, dan beberapa media lain hanyalah sebuah tong sampah yang terbakar, namun secara tendensius berita mengarahkan pembaca untuk yakin bahwa ada peristiwa besar di Teheran. Channel 7News menayangkan gambar yang sangat singkat dari aksi demo di Tehran, jumlahnya telihat sedikit, lalu menggabungkannya dengan gambar aksi massa yang masif di Kairo.

Anehnya, hanya dengan sumber yang sumir begini, Obama langsung angkat suara dan menyebut-nyebut adanya penembakan yang dilakukan oleh militer Iran. Sungguh berbeda dengan sikapnya terhadap Tunisia dan Mesir. Obama harus menunggu Ben Ali kabur sebelum menyatakan dukungannya pada gerakan reformasi rakyat Tunisia. Di Mesir, Human Right Watch melaporkan lebih 200 orang tewas selama aksi-aksi demonstrasi di Mesir akibat peluru karet dan tembakan gas air mata dalam jarak dekat. Obama saat itu diam saja. Ketika rakyat Mesir tak juga mau menyerah dan tak ada yang bisa diperbuat oleh militer Mesir untuk membungkam mereka, barulah Obama bersuara lunak menyatakan dukungan kepada rakyat Mesir, dengan syarat, “Transisi harus dilaksanakan secara perlahan.” Bahkan, kemudian, Obama setuju-setuju saja ketika pemerintahan transisi Mesir akhirnya diserahkan kepada militer. Padahal, sejarah militer Mesir dipenuhi sejarah suram pemberangusan dan penyiksaan terhadap para aktivis penentang Mubarak. Perlu pula dicatat, selama 30 tahun terakhir, militer Mesir adalah salah satu dari lima negara terbanyak menerima bantuan dari AS, selain Israel (penerima bantuan terbesar), Jordan, Tunisia, dan Columbia. AS yang selama ini membantu militer Mesir untuk memberangus kebebasan rakyat Mesir, kini berkoar-koar tentang kebebasan bagi rakyat Iran.

Demonstrasi tanggal 13 Februari di Teheran disebut oleh Reuters dihadiri oleh ribuan orang. Apa benar ribuan orang? Tidak ada foto dan video yang mendukung klaim ini. Kalaupun benar ada ribuan orang turun ke jalan, mengapa Reuters tidak memberitakan demonstrasi besar-besaran yang dihadiri jutaan orang di Teheran dan di seluruh penjuru Iran yang berlangsung hanya dua hari sebelumnya? Tidakkah demo seperti itu justru seharusnya menjadi berita yang jauh lebih penting? Tentu saja, demo 11 Februari menjadi tidak penting bagi Barat karena demo itu bertujuan untuk merayakan hari kemenangan Revolusi Islam Iran.

Bila jutaan rakyat Iran bisa dengan spontan turun ke jalan, mengapa mereka tidak sekalian berdemo saja menentang pemerintah? Di Mesir dan Tunisia, rakyat tumpah ruah ke jalan tanpa bisa dicegah oleh bedil dan tank. Bahkan setelah ditembaki dan disemprot gas air mata pun, mereka tetap bertahan di Tahrir Square. Di Iran, seandainya benar mereka tertindas di bawah pemrintahnya, apa yang bisa menghalangi mereka untuk tumpah ruah di jalanan menggulingkan pemerintah? Mereka toh pernah dengan gagah berani berdemo di tahun 1979 menuntut mundurnya Shah Pahlevi. Militer rezim Pahlevi saat itu sama bengisnya militer Tunisia atau Mesir, karena juga sama-sama dilatih oleh CIA dan dikucuri dana bantuan oleh AS. Tapi, tak ada satupun media mainstream yang memberitakannya. Kita, warga Indonesia yang punya parabola, bisa menyaksikannya secara langsung dari channel Jame Jam atau Press TV.

Sungguh, kehipokritan ini sudah sedemikian sering terulang. Karena itu kali ini saya juga ingin sedikit mengulang apa yang pernah saya tulis sebelumnya.

Pertama, sistem pemerintahan di Iran berbeda dengan pemerintahan Timur Tengah lainnya. Republik Islam Iran didirikan melalui referendum dengan pengawasan PBB. Lebih 90% dari rakyat Iran tahun 1979 berkata “YA” pada Republik Islam Iran. Jadi, dalam kacamata Barat, negara Iran dibentuk secara demokratis. Bila mereka memilih membentuk sebuah republik Islam, mengapa Barat harus protes?

Kedua, sistem pemerintahan Iran meletakkan posisi presiden di bawah posisi Leader (dalam bahasa Persia disebut Rahbar). Presiden mengemban kekuasaan eksekutif, Leader mengawasi keseluruhan jalannya pemerintahan, hukum, dan legislasi agar tetap berada di jalur syariat Islam. Dengan kata lain, Iran memosisikan ulama sebagai penjaga demokrasi. Tentu saja, di titik ini, banyak orang yang menyatakan ketidaksetujuan. Konsep bahwa ada ulama yang paripurna dan mampu mengambil keputusan politik yang benar-benar sejalan dengan hukum Islam, sungguh bagaikan utopia bagi sebagian besar manusia. Apalagi bagi masyarakat Barat yang sudah muak dengan kasus-kasus cabul para pendeta mereka.

Tapi, bila Iran percaya pada utopia semacam itu, mengapa kita sebagai orang luar harus protes? Dan media Barat, kembali bersikap hipokrit dengan tidak menyiarkan betapa masifnya massa yang turun ke jalan untuk menunaikan sholat Jumat bersama Leader pada hari Jumat 4 Februari lalu. Mereka membentuk shaf hingga berkilo-kilo meter di jalanan seputar Universitas Teheran. Mereka mencintai dan percaya pada Leader mereka, lalu apa yang harus kita perbuat? Mengata-ngatai mereka fanatik dan bodoh, mau-mau saja dibohongi ulama? Bila Anda mengikuti berbagai pemberitaan seputar pencapaian ilmu dan teknologi di Iran, sulit sekali menyebut mereka orang-orang bodoh.

Ketiga, ada fakta yang tidak banyak diketahui orang, yaitu bahwa Leader pun (saat ini dijabat oleh Ayatullah Khamenei) dipilih melalui pemilu. Para ulama di seluruh penjuru Iran bisa mencalonkan diri (atau dicalonkan rakyat) untuk menjadi anggota Dewan Ulama (Assembly of Expert/Majlis-e Khubregan). Rakyat pula yang memberikan suara, untuk memilih 86 ulama dari ratusan ulama yang ikut pemilu. Dewan Ulama ini yang memilih Leader dan mereka pula yang mengawasi kinerja Leader; termasuk berhak memakzulkan Leader bila dianggap melanggar amanah jabatan.

Jadi, atas nama HAM dan kebebasan, bukankah adalah hak dan kebebasan bangsa Iran untuk mencintai ulama mereka, untuk tetap memilih setia pada sistem pemerintahan Islam yang dulu mereka pilih sendiri, dan menjaga tegaknya sistem itu, termasuk dengan cara membubarkan aksi-aksi demo anarkhi yang jelas-jelas dibiayai AS?

Saya tutup tulisan ini dengan mengutip artikel Paul Craig Roberts, “President Obama called on the Iranian government to allow protesters to control the streets in Tehran. Would Obama or any US president allow protesters to control the streets in Washington , D.C. ?”

Catatan: artikel ini pernah dimuat di IRIB

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com