Jangan Politisir Masalah Syiah

Bagikan artikel ini

Toas H, pemerhati masalah sosial keagamaan. Tinggal di Jakarta

Grand Syekh Al Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb mengatakan bahwa umat Islam yang berakidah Ahlussunah bersaudara dengan umat Islam dari golongan Syiah. “Sunny dan syiah adalah saudara,” terang Syekh Ath-Thayyeb saat dimintai pandangannya oleh Dirjen Bimas Islam Machasin terkait permasalahan Sunny dan Syiah saat melakukan pertemuan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (22/02). Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta sejumlah ulama dan tokoh cendekiawan muslim.

Menurut Syekh Ath-Thayyeb, Islam mempunyai definisi yang jelas. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan salat, berpuasa, berzakat, dan beribadah haji bagi yang mampu. “Mereka yang melaksanakan lima hal pokok ini maka dia muslim. Kecuali mereka yang mendustakan,” tegasnya.

Grand Syekh menilai bahwa tidak ada masalah prinsip yang menyebabkan kaum Syiah keluar dari Islam. Bahkan, banyak ajaran Syiah yang dekat dengan pemahaman Sunny. Perbedaan antara Sunny dan Syiah dalam pandangan Syekh Thayyeb hanya pada masalah imamiah. “Syiah mengatakan imamiah bagian dari Ushuluddin, kita mengatakan sebagai masalah furu’,” terangnya. “Kalau kita membaca kitab-kitab Syiah yang lama, mereka secara umum menghormati para sahabat,” tambahnya lagi.

Bagaimanapun juga, baik kelompok Sunni maupun Syiah perlu menyadari bahwa sebenarnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam masalah agama adalah suatu kenyataaan yang tak terbantahkan. Hal itu karena pada qodratnya manusia berbeda-beda secara fisik maupun non fisik termasuk tingkat kecerdasannya. Sangat boleh jadi perbedaan-perbedaan itu telah termaktub dalam “buku induk” Lauhil Mahfuzh sebagai skenario ilahi untuk menjaga kehormatan manusia sebagai ciptaan terbaikNya.

Menurut Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin, umat Islam di Indonesia yang berlatar belakang suku, adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda, tersusun dalam bangunan sosial yang potensial bisa retak. Ini disebabkan antara lain karena masih ada dari mereka yang terlalu terbenam dalam kesadaran masa lalu, dan dalam waktu bersamaan tidak mengembangkan karya-karya baru yang lebih inovatif sesuai konteks tempat dan waktu. Tidak mengherankan kalau diantara mereka yang melihat sesuatu yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah dianggap sebagai buatan manusia belaka sebagai Pancasila dan NKRI adalah kreasi bangsa karena adanya kebutuhan mendesak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi perintah agama. Demokrasi juga demikian, dianggap pemerintahan kafir. Padahal pemerintahan berbasis rakyat diadakan karena kebutuhan mendesak menghindarkan mudlarat yang lebih besar yang ditimbulkan dari pemerintahan bentuk lain.

Menurut penulis, mereka yang mengkritik dan menuduh Syiah sebagai aliran sesat tidak mencerminkan Islam, karena akar kata yang membentuk kata “Islam” ada empat yang berkaitan satu sama lain yaitu aslama artinya menyerahkan diri, salima artinya selamat, sallama artinya menyelamatkan orang lain dan salam artinya aman, damai dan sentosa.

Dalam buku “Syiah Menurut Syiah (2014), Sunni dan Syiah adalah dua persepsi relatif yang terstruktur tentang mekanisme mendekati wilayah kesucian. Keduanya bukan agama melainkan interpretasi terhadap agama. Keduanya hanyalah mazhab. Sunni dan Syiah sama-sama memahami adanya penghubung antara umat dengan Nabinya, karena Nabi adalah seorang yang mutlak benar. Persoalannya adalah ada orang-orang tertentu yang menolak hukum relativitas ini, baik implisit maupun eksplisit, dengan mengatakan bahwa apa yang dipahaminya tentang Al-Qur’an dan Al-Hadist itu persis sebagaimana yang diterima oleh Nabi. Hal ini terjadi baik di kalangan Sunni dan Syiah, karena kesadaran adanya relativisme ini dihilangkan, sehingga muncullah fanatisme dan ekstremitas. Syiah tidak menjalankan hadis terkenal “ikutilah sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku”, bukan karena tidak mempercayai khafilah pengganti nabi, namun hadist ini berkonsekuensi logis turunnya pangkat kenabiaan atau naiknya pangkat kekhalifahan, artinya tingkatan seorang nabi tidak bisa digantikan oleh siapapun dari umatnya yang tidak suci. Baik Sunni maupun Syiah, yang sama-sama bukan sahabat dan bukan imam, tidak perlu saling bersikeras. Yang Sunni bukan sahabat Nabi, sehingga tidak memiliki konsekuensi “adil”, dan yang Syiah juga bukan imam, yang tidak memiliki konsekuensi suci, karena sama-sama tidak memiliki keadilan dan kesucian, maka Sunni dan Syiah sama-sama tetap relatif.

Jangan Politisir Masalah Syiah

Sebenarnya, ada perbedaan antara Syiah dan Sunni yaitu Syiah mempelajari Islam menurut apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh keluarganya, sedangkan Sunni mempelajari Islam dari Nabi Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh sahabatnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam kelompok Syiah itu sendiri menurut pengakuan kalangan Syiah, ada yang menganut paham takfiri yaitu paham yang selalu menyalahkan kelompok lain. Syiah takfiri dikembangkan oleh YH (Inggris), ST (Australia) dan di Indonesia dikembangkan kelompok ER.

Menurut salah seorang tokoh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), kedatangan Islam ke Indonesia dibawah oleh Syiah maupun Sunni, seperti Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan di Peureulak, Aceh adalah Syiah yang menyebarkan Islam ke Indonesia. Hanya saja, Syiah selalu menjaga tradisi-tradisi Islam seperti berjiarah ke makam Nabi Muhammad SAW, tahlilan, sholawat, tawasul, doa qumail di masjid, ziarah ke kuburan dll, dimana kegiatan tradisi ini hendak dihancurkan oleh kelompok Wahabi Takfiri.

Oleh karena itu, penulis sangat menyayangkan jika sekarang ini terjadi pengkubuan yaitu kelompok Syiah di satu sisi dengan kelompok anti Syiah disisi yang lain, dimana dalam beberapa kasus menunjukkan kelompok Syiah sebagai kelompok minoritas yang selalu disudutkan bahkan dianggap sebagai sesat. Bahkan, beberapa ormas keagamaan Islam yang cukup disegani “terlibat” dalam polemik ini dengan menyatakan Syiah sebagai kelompok sesat. Sejatinya, permasalahan Syiah dan anti Syiah jangan diperlebar, karena isu sensitif dan strategis ini tidak menutup kemungkinan sebagai bentuk “proxy war” yang merusak NKRI, setidaknya merusak ukhuwah Islamiyah itu sendiri. Perbedaan penafsiran dalam ajaran agama adalah sah dan wajar, namun menjadi tidak wajar dan mengecewakan jika diikuti dengan tindakan anarkis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com