Toni Ervianto, alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia
Hambit Bintih adalah calon Bupati terpilih Kabupaten Gunung Emas, Kalimantan Tengah. Tidak jelas apa yang mendorong Hambit Bintih melalui seorang anggota DPR dari Fraksi Golkar yang mengenal Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, berusaha menyuap Akil Muchtar, pada hal dalam pemungutan suara ternyata ia unggul.
Kini kasusnya menjadi sebuah fenomena yang unik, karena sebagai calon bupati dalam Pemilukada Kabupaten Gunung Emas, ia unggul tetapi nampaknya dengan pertimbangan untuk mengimbangi lawannya yang menggugat ke MK, ia ikut-ikut berusaha menyuap M Akil Muchtar. Padahal tanpa menyuapun ia bakal unggul, karena hasil pemungutan suara ia unggul secara sah.
Persoalannya berubah menjadi perdebatan karena ia menang ia sesuai jadwal harus dilantik sebagai Bupati, tetapi karena ia ditahan KPK karena tersangka menyuap kasus pelantikannya menjadi terganggu. DPRD didukung Kemendagri minta agar ia dilantik di tempat tahanan KPK. Alasan Mendagri Gamawan Fauzi bagaimana mau menonaktifkan Hambit Bintih jika dilantik saja belum dilaksanakan, tetapi KPK dan sejumlah NGO yang bergerak dalam bidang pemberantasan korupsi menolak karena secara moral tidak bisa diterima.
Fenomena Berita di Media Massa
Berita soal Hambit Bintih dan kepala daerah yang tersandung kasus korupsi jelas menjadi headline sejumlah media massa, dengan pertimbangan mengapa mereka yang sudah dipercayai oleh rakyat untuk memimpin daerah, malah “mencaplok dan memakan sendiri” uang yang sebenarnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat tersebut.
Menurut pemberitaan kompas.com tanggal 26 Desember 2013, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memutuskan menolak permohonan izin pelantikan Bupati Gunung Mas terpilih Hambit Bintih di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan. Hambit mendekam di tahanan sebagai tersangka kasus suap terkait penanganan perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas di Mahkamah Konstitusi.
Dia diduga menyuap Ketua MK Akil Mochtar melalui anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Khairun Nisa. “Terkait dengan itu, pimpinan KPK telah menentukan sikap atas permintaan DPRD meminta izin pelantikan tidak disetujui oleh pimpinan KPK,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Kamis (26/12/2013). Menurut Johan, surat resmi pemberitahuan penolakan izin ini akan disampaikan KPK kepada DPRD Gunung Mas secepatnya. Johan juga meluruskan informasi yang menyebutkan bahwa KPK telah menerima surat permintaan izin pelantikan Hambit dari Kementerian Dalam Negeri. Menurut Johan, surat izin pelantikan bukan dikirimkan oleh Kemendagri, melainkan DPRD Gunung Mas. Dari Kemendagri, lanjut Johan, KPK hanya menerima Surat Keputusan Pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Kabupaten Gunung Mas. “Jadi, surat pemohon izin melakukan pelantikan datangnya dari DPRD, bukan dari Kemendagri,” ujar Johan.
Sementara itu, rimanews.com tanggal 27 Desember 2013 memuat berita, kontroversi terkait pelantikan Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit Bintih, terus berlanjut, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto meminta kontroversi ini, tidak ditimpakan kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Niat melantik Hambit jadi panjang urusannya karena dia kini mendekam di Rutan KPK terkait statusnya sebagai tersangka penyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam perkara pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Menkopolhukam menyatakan, Jumat 27 Desember 2013, Mendagri hanya mengeluarkan surat yang menyatakan Hambit adalah pemenang Pilkada Gunung Mas.
Surat itu selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan Hambit dan pasangannya, Anton Dohong, sebagai pemenang. Sementara usul untuk melantik Hambit datang dari DPRD Gunung Mas dan Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang. “Pemahaman ini yang luput oleh media dan masyarakat. Maka jangan lalu dilarikan ke Mendagri. Tanyakan ke Pak Gubernur dan DPRD,” kata Djoko usai menggelar pertemuan dengan Mendagri dan pimpinan DPR di Gedung DPR, Jakarta. Sebelumnya, KPK tak mengizinkan Hambit dilantik menjadi bupati untuk periode keduanya karena dia tersangkut perkara suap. Jika Hambit tetap dilantik, KPK menilai telah terjadi skandal moral di negeri ini. Namun Mendagri memaparkan kendala teknis apabila pelantikan hanya dilakukan terhadap Wakil Bupati Gunung Mas. “Hambit dan Anton adalah satu paket. Tidak ada pemilihan yang memilih wakilnya saja. Ini soal administrasi,” kata Gamawan Fauzi. Apabila alasan yang diajukan untuk tidak melantik bupati adalah karena bupati terkait berhalangan tetap, tetap ada kendala. Ini karena dalam undang-undang, yang masuk kategori berhalangan tetap adalah meninggal dunia, sakit yang tidak bisa melaksanakan tugas sama sekali, dan hilang. “Jadi (Hambit Bintih) tidak bisa ditafsirkan berhalangan tetap. Ini jadi kajian kami. Masyarakat mungkin tidak peduli (dengan undang-undang atau prosedur). Tapi pemerintah bekerja dengan undang-undang. Aspirasi jadi masukan penting, tapi undang-undang perlu diperhatikan seksama,” ujar Gamawan.
Harus Segera Diputuskan
Ketika dilakukan test penelitian Hambit Bintih adalah sebagai calon bupati sebagai tokoh yang bersih, tetapi ketika akan dilantik ternyata ia cacat hukum melakukan penyuapan. Jadi sebenarnya DPRD Gunung Emas lah yang kurang bijaksana, seharusnya DPRD Gunung Emas tidak bisa mengajukan permohonan untuk dilantik, karena secara hukum cacat, sehingga secara normatif, seseorang yang ternyata cacat hukum, maka jelas ia tidak mungkin dilantik. Sedangkan disisi yang lain, Kemendagri ternyata juga kurang menguasai situasi, tidak mampu memberikan arahan yag tepat kepada DPRD Gunung Emas, apa yang harus dilakukan.
Maka kini masalah politik dan hukum yang lebih rumit adalah bagaimana prosedurnya membatalkan kemenangan Habit Bintih sebagai calon bupati terpilih, karena tidak bisa dilantik, disebabkan cacat hukum. Mendagri bertahan dari pendekatan hukum, Hambit Bintih bisa dilantik. Tetapi KPK bertahan Hambit Bintih tersangka upaya suap, sehingga secara moral tidak bisa dilantik, karena cacat hukum. KPK menolak Hambit Bintih dilantik di tempat tahanan KPK, Guntur. Nampaknya argument masing-masing pihak mengandung kebenaran, sehingga akibatnya justru tidak bisa dicari jalan tengah pemecahannya.
Nampaknya kuncinya hanya pada adanya pejabat yang harus mengambil alih persoalan dan mengambil keputuan yang bersifat jalan tengah, dalam arti tanggung jawab Mendagri dan KPK diambil alih oleh pejabat lain yang lebih tinggi kewenangannya. Dalam hubungan ini satu-satunya pejabat yang mempunyai kewenangan memutuskan atas kewenangan Menteri Dalam Negeri dan KPK hanyalah Presiden sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali Presiden mengambil keputusan jalan tengah terhadap masalah ini.
Dan, keputusan terbaik Presiden terkait masalah Hambit Bintih ini adalah mendukung langkah KPK yang menolak pelantikan calon bupati terpilih Kabupaten Gubung Emas tersebut, karena mendukung langkah KPK dalam memberantas korupsi adalah stressing point dari Presiden SBY itu sendiri dan itu harus dibuktikan dengan all out berada di garda terdepan bersama KPK dalam berperang melawan koruptor. Jika seseorang tersangkut korupsi, maka yang “membelenggunya” adalah aturan-aturan terkait dengan penanganan korupsi yang itu sudah diserahkan dan diamanahkan warga bangsa ini kepada KPK sebagai “avant guard” nya. Apapun keputusan Presiden SBY dalam kasus ini, akan dicatat dalam sejarah negara ini sebagai legacy dalam memecahkan permasalahan ketatanegaraan ini. Semoga.