Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Mengawali paparan ini, sebaiknya perlu dipertanyakan dulu: “Ingatkah akan terminologi Colour Revolution atau Revolusi Warna?”. Jika masih paham, syukurlah. Tetapi jika lupa atau kurang memahami, semoga review ini bisa membangkitkan kembali. Hal ini diperlukan karena erat kaitanya dengan materi bahasan sesuai judul catatan ini. Inilah uraian secara sederhana.
Revolusi Warna
Bermula dari istilah media-media mainstream memotret gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Sovyet, Pakta Warsawa atau Balkan dekade 2000-an dulu, sepertinya Colour Revolution memang bukan gejolak massa biasa. Ia tidak bersifat spontan, tak juga gerakan alami, namun merupakan setting politik tingkat tinggi mengatas-namakan gerakan rakyat. Entah kenapa, sebutan pada setiap gerakan selalu mengadopsi nama serta warna-warna bunga.
Tengok gerakan di negara-negara pecahan Uni Sovyet dulu. Ada Prague Spring di Czechoslovakia (1989), selanjutnya di Baltic (2000), Revolusi Mawar di Georgia (2003), di Serbia (2003), ataupun Revolusi Oranye di Ukraina (2004), kemudian Revolusi Rose di Georgia (2004), ataupun Revolusi Cedar di Lebanon (2005), di Uzbekistan muncul “Bolga” (Hammer) era 2006-an, di Belarus timbul Revolusi Denim atau Revolusi Vasilykovaya (2008), Revolusi Podsnezhnikov di Armenia (2009), di Moldova bernama Revolusi Kirpichey atau Revolusi Kafelynaya (2011-2012), Revolusi Tulip di Kyrgyzstan (2010-2011), bahkan Rusia terkena imbas gerakan bertajuk Revolusi Snezhnaya atau Myatezhom Hipsterov, kemudian Bulagria (2013) dan lain-lain.
Cina pun meski di luar jajaran Pakta Warsawa sempat terlanda revolusi “Tiananmen Square” (2001), termasuk Venezuela (2005) dan Negeri Para Mullah (Iran) melalui dua operasi yakni White Revolution (Operasi Ajax) dekade 1989 dan “Revolusi Hijau” (2009), kemudian Syria, Libya, dll. Jujur harus diakui, tatkala Revolusi Warna menjalar di luar kawasan Pakta Warsawa terbukti banyak gagal atau out of control, meski kenyataannya akhirnya kadar gerakan justru ditingkatkan menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata, sebagaimana kejadian di Libya, di Syria, dan lain-lain.
Arab Spring
Sedangkan gerakan massa di Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara), khususnya kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang hingga tulisan ini terbit masih belum ada tanda-tanda reda. Ia dijuluki oleh media-media dengan istilah Arab Spring atau Musim Semi Arab, ataupun “Kebangkitan Dunia Arab”. Jadi tidak lagi disebut sebagai Revolusi Warna. Menarik memang. Betapa “ruh” dan esensi kedua gerakan massa (Revolusi Warna dan Arab Spring) ternyata tak jauh berbeda, artinya kemasannya terkesan tak serupa namun secara hakiki jelas sama. Kesamaan ada di logo berupa “Tangan Mengepal”, dan slogan gerakan serba singkat yang dimaknai “cukup”. Awal gerakan di Mesir misalnya, berslogan Kifaya artinya cukup, gejolak di Georgia disebut Kmara juga maknanya cukup, di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan slogannya Kelkel (zaman baru) dan lain-lain.
Baik Revolusi Warna di jajaran Pakta Warsa, maupun Arab Spring yang menerjang kelompok negara Jalur Sutera, sejatinya serupa tetapi tak sama. Itulah pemaknaan mutlak yang harus dipahami bersama. Oleh sebab hampir semua gerakan memiliki ciri tanpa kekerasan (non-violent resistance), sangat berperannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya ialah kelompok pemuda serta mahasiswa sebagai ujung tombak. Barangkali perbedaan gejolak massa hanya pada waktu, tempat dan nama gerakan saja!
Gerakan Non Kekerasan untuk Ganti Rezim
Tuntutan utama dalam revolusi non kekerasan ini ialah GANTI REZIM melalui langkah awal penyebaran isue-isue lazim seperti demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), pemimpin tirani, kemiskinan, korupsi dan lain-lain. Tujuannya guna menciptakan opini publik agar menggumpal rasa “ketidakpercayaan rakyat kepada elit dan pemimpinnya”. Inilah “master virus”-nya revolusi yang harus ditancapkan di benak segenap massa di negara-negara yang menjadi target. Tak bisa tidak.
Selanjutnya, adanya kesamaan pola-pola dalam gerakan ganti rezim ini, karena mereka berpedoman pada “buku wajib” berjudul From Dictatorship To Democracy-nya Gene Sharp, sarjana senior Albert Einstein Institute (AEI). Ya. Melawan rezim tanpa senjata ialah metode baku, bahkan menjadi kunci strategi demi keberhasilan atas model gerakan semacam ini. Sasarannya ialah memanipulasi dan mencuri simpati publik melalui media massa serta media sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lain.
Tak dapat dipungkiri memang, selain hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi gerakan berbasis kurikulum pada bukunya Gene Sharp tadi, dari sisi pelatihan ternyata juga oleh lembaga yang sama yaitu Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan unjuk rasa tanpa kekerasan. Menurut beberapa sumber, CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya ialah Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan lain-lain. Retorika menggelitik pun muncul: bagaimana khabar kaum demonstran di Indonesia, apakah kalian juga termasuk yang dilatihnya?
Bersambung (2)