B.R. Rajo Nagari, pengamat masalah politik. Tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat
Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul telah mendeklarasikan dirinya mendukung calon presiden Joko Widodo-JK, di Horopa, Menteng, Jakarta Pusat. Setelah blak-blakan pernah menghujat Jokowi saat menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, sekarang Ruhut malah berbalik mendukung Jokowi. Setelah mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi-JK, Ruhut langsung mengkritik keras Prabowo Subianto. Ruhut mengungkapkan, dirinya sangat tidak sepakat dengan tagline dari pasangan capres Prabowo-Hatta Rajasa, karena, dia menilai, tagline ‘Indonesia Bangkit’ seakan-akan selama kepemimpinan Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Indonesia sedang tidur.
Menurut Ruhut Sitompul, tagline milik Jokowi-Jusuf Kalla sudah menerapkan ucapan Soekarno, jas merah (jangan sampai melupakan sejarah), dengan tagline ini menunjukkan Jokowi-JK rendah hati dan tidak melupakan pemimpin sebelumnya.
Hal inilah yang saya lihat tagline Jokowi dan JK, Indonesia Hebat. Artinya pasangan ini sangat rendah hati, karena pilar pertama perjalanan sejarah dimulai dari Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Pak Gus Dur, Bu Mega juga kita harus hormati dan 10 tahun SBY.
Seusai acara “Kata Hati Ruhut Sitompul”, anggota Tim Sukses Jokowi-JK Luhut Panjaitan, mengatakan; kubu Jokowi-JK berharap Badan Intelijen Negara (BIN) harus netral dalam pilpres 9 Juli mendatang. BIN tidak boleh digunakan sebagai alat politik oleh capres tertentu. “Sekarang ini saya sudah ada hitung-hitungannya, orang sudah tidak bodoh lagi bahwa posisi Jokowi-JK mendapatkan posisi bagus dan makin bagus, jika Jokowi akan memenangkan pertarungan ini, kita pasti tahu itu. Saya kan orang intelijen juga dan saya tahu juga kalau mereka tersebut bermain-main, ayo kita main-main. Kalau nanti kami menang, kami akan libas. Gitu saja,” kata Luhut Binsar Panjaitan
BIN tidak boleh melakukan manuver-manuver dalam pelaksanaan Pilpres mendatang, oleh sebab itu BIN harus taat kepada hukum dan aturan-aturan. Luhut juga menambahkan BIN harus taat kepada ketentuan dan netral. Sebab enggak mungkin hal ini ditutupi dan itu pasti ketahuan. “Apabila ketahuan berarti melanggar Sapta Marga Sumpah Prajurit kalau di TNI dan kalau di BIN, berarti telah melakukan pelanggaran umum. Ada beberapa orang Tim Sukses Jokowi-JK yang sudah ditempatkan di BIN, agar bisa mengawasi pergerakan mereka, sehingga kalau melakukan kecurangan percuma dalam Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang, sebab hal tersebut pada akhirnya tetap akan sampai ke dirinya,” ujar Luhut, yang menurut catatan penulis pernah bergabung dengan Partai Golkar ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal bulan Juni yang lalu sudah menyampaikan himbauan ini dalam pertemuan dengan sekitar 200 perwira tinggi TNI/Polri di Kementerian Pertahanan Jakarta. Langkah ini diambil oleh SBY selaku Panglima Tinggi karena erat kaitannya dengan fakta adanya jenderal aktif yang tidak netral menghadapi Pilpres 2014 mendatang. Ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mempengaruhi para jenderal aktif untuk terlibat politik praktis. Informasi tersebut bukanlah fitnah politik belaka, karena informasi tersebut sudah dicek kebenarannya. Pihak tertentu tersebut dengan berbagai cara merayu agar sejumlah perwira tinggi TNI dan Polri mendukung capres yang mereka usung.
Presiden SBY juga mengingatkan netralitas TNI/Polri harus tetap dijaga sesuai dengan konstitusi dan juga semangat reformasi TNI/Polri yang dilakukan sejak tahun 1998, disamping itu ada juga prinsip seorang perwira di dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang telah diikrarkan. Dari sumpah tersebut, diajarkan nilai dan etika yang harus dipegang kuat seorang prajurit. Tidak baik bagi para perwira yang ikut-ikutan berpolitik, tidak baik bagi lembaga TNI Polri, dan tidak baik bagi negara. Kalau prajurit TNI/Polri mau menceburkan diri dalam kancah politik boleh saja, tetapi silakan mengundurkan diri terlebih dahulu dari kedinasannya.
Sangkaan Tim Sukses Jokowi-JK terhadap keberpihakan anggota BIN dalam Pilpres mendatang sebelumnya sudah diluruskan oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marciano Norman, netralitas TNI/Polri dan BIN dalam Pilpres adalah suatu keharusan, untuk menjaga netralitas tersebut juga dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk memantaunya. Netralitas TNI-Polri itu mutlak. Kenetralan TNI maupun Polri dalam Pilpres 2014 juga harus dikawal secara bersama oleh semua pihak. Dengan adanya pengawalan terhadap kemutlakan netralitas tersebut, maka TNI dan Polri juga akan berjalan pada trek yang telah ditentukan sesuai aturan yang ada. Marciano juga mengatakan, akan berdampak buruk bila masyarakat meragukan kenetralan aparat, namun hingga saat ini iklim dari kampanye Pilpres 2014 dinilai masih cukup kondusi.
Selain itu Marciano Norman mengingatkan dari berbagai laporan yang masuk dan analisis yang dilakukan, masih terdapat beberapa potensi kerawanan yang dapat berpengaruh terhadap keamanan dan lancarnya pelaksanaan Pemilu Presiden 9 Juli 2014 mendatang. Akhir-akhir ini terlihat adanya kekhawatiran terjadinya konflik horizontal yang melibatkan para pendukung pasangan capres-cawapres. Kepala BIN juga mengemukakan soal beredarnya rumor dan perang opini serta kampanye hitam mendominasi media sosial. Selain itu, juga terdapat kelompok-kelompok ideologis radikal kanan yang menolak demokrasi sebagai pilihan sistem politik. Mereka dengan tegas menyuarakan penolakan terhadap pelaksanaan Pilpres bahkan diantaranya disertai ancaman melakukan aksi-aksi kekerasan dan teror guna menggagalkan pelaksanaan Pilpres 9 Juli 2014. Marciano juga menegaskan intelijen tentunya telah melakukan semua langkah antisipatif yang dipandang perlu dalam menyikapi berbagai hal yang dapat membahayakan dan mengganggu keamanan negara serta kelancaran Pemilu Presiden.
Marciano menyebutkan BIN mengoordinasikan berbagai langkah upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara intelijen dan pemangku kepentingan atau “stakeholders” keamanan lainnya, yaitu TNI-Polri serta aparatur sipil negara (ASN), guna terwujudnya pemilu yang aman, jujur, dan adil. Langkah-langkah intelijen tersebut tentunya dilaksanakan secara profesional, objektif, dan akuntabel serta tidak memihak pada pihak manapun. Ia juga menegaskan bahwa pimpinan BIN dan juga atas nama penyelenggara intelijen, tetap bersikap profesional dan netral dalam pelaksanaan Pemilu 9 Juli 2014.
Membaca pernyataan tim sukses Jokowi-JK, Luhut Panjaitan, terhadap ketidak netralannya BIN tidaklah mendasar, karena beberapa pernyataan Kepala BIN Marciano, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Luhut Panjaitan. Jika Jokowi-JK menang maka orang-orang yang berpihak di kelompok Prabowo-Hatta akan dilibas dan bagaimana sebaliknya kalau Prabowo-Hatta yang menang, bagaimana nasib orang-orang Luhut Panjaitan yang ada di BIN, apakah mau dilibas juga?
Sebagai seorang pensiunan Jenderal, Luhut Panjaitan tidak perlu melontarkan kata-kata atau tudingan seperti itu, apa lagi tudingan tersebut ditujukan kepada salah satu lembaga negara. “Kepala boleh panas tetapi hati harus lapang/longgar”, apa bila kalimat ini dijadikan salah satu kompas bagi salah satu tim sukses maka kemenangan sudah hapir di depan mata, namun sebaliknya jika masih melontarkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang tidak sepantasnya dilontarkan oleh seorang pensiunan jenderal, maka kekalahan sudah menganga/terbuka lebar didepan mata. Siapapun pemenangnya dalam Pilpres mendatang sebagai masyarakat yang patuh dan taat akan aturan akan tetap menghormati pemimpin yang terpilih, karena hal tersebut merupakan mandat dari masyarakat Indonesia.
Dan, menurut logika penulis, sebagai lembaga negara maka BIN tentunya juga akan mendukung atau menjaga stabilitas pemerintahan dari presiden yang memenangkan Pilpres 2014, sehingga menurut penulis, Luhut Binsar Panjaitan tidak perlu “kebakaran jenggot” dan percayalah BIN tetap dapat menjaga netralitasnya, apalagi berdasarkan UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara jelas menggambarkan BIN harus netral, profesional, menjujung tinggi hukum dan HAM dalam menjalankan tupoksinya.