Kecurigaan Terhadap Intelijen Dalam Pemilu

Bagikan artikel ini

Penulis : Masdarsada, MSi *)

Dalam akun twitternya @SBYudhoyono, Presiden SBY mengatakan ada pihak yang mencurigai bahwa institusi intelijen ‘bermain’ dalam pelaksanaan Pemilu yang demokratis, karena itu SBY mempersilahkan jajaran badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu) dan masyarakat luas untuk mengawasi dengan melakukan pemantauan agar tudingan-tudingan miring seperti itu tidak datang.

 

SBY menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga terdapat saluran bagi rakyat yang akan mengadu dan menuntut bila menemukan ada sesuatu yang tidak wajar. SBY juga meminta agar Polri dan aparat keamanan lainnya harus bekerja penuh, sebelum, selama, dan setelah pemungutan suara untuk memastikan Pemilu 2014 berjalan tertib dan aman. Untuk menjaga netralitas, TNI dan Polri serta aparat intelijen tidak boleh tergoda kekuasaan. Mereka harus tetap lurus, dan tidak terlibat dalam politik praktis.

Sebelumnya di Gedung A FISIP Universitas Indonesia, Depok berlangsung diskusi ‘Manipulasi Pemilu, Pelanggaran Elektoral, dan Aparat Keamanan’. Diskusi tersebut menyoroti praktik kecurangan atau pelanggaran dalam Pemilu berpotensi terjadi di negara yang mengalami transisi demokrasi seperti di Indonesia. Karena itu pihak aparat keamanan intelijen diharapkan tidak seperti di periode Orde Baru yang melakukan pelanggaran secara terbuka. Sebelum Pemilu sudah disetting siapa pemenangnya. Menurut anggota tim peneliti Center for International Relations Studies, Edy Prasetyono sejak era reformasi netralitas aparat keamanan masih bersifat teori daripada aplikasinya. Aparat keamanan negara yaitu tentara, intelijen, dan polisi adalah aparat pemerintahan yang tergantung terhadap anggaran pemerintah. Dalam setiap Pemilu, tentara memiliki fungsi non pertahanan yang menautkan mereka dengan pemerintah atau kelompok sosial kemasyarakatan. Begitupun dengan Polri sebagai pengayom dan pelayan publik, menjadi salah satu lembaga pemangku kepentingan dalam Pemilu.

Adapun peneliti Center for International Relations Studies lain, Hariyadi Wirawan menyebut saat masa orde baru, praktik pelanggaran dalam Pemilu dilakukan secara terbuka. Pelanggaran ini tertutup untuk masyarakat, namun secara terbuka dilakukan oleh aparat keamanan negara. Perbedaan dengan sekarang hanya lebih tertutup oleh aparat keamanan tapi dilakukan lebih canggih. Kerawanan manipulasi di daerah serta persoalan informasi teknologi yang rentan disalahgunakan dalam Pemilu sekarang. Harry menekankan harus ada solusi untuk mengatasi persoalan netralitas aparat keamanan. Salah satunya, pemerintah bisa meningkatkan anggaran negara untuk kesejahteraan anggota aparat keamanan agar tidak terpencing bermain proyek. Dia juga melihat peran lembaga intelijen yang memiliki kemampuan pengumpulan dan mengolah data bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Ketakutan soal kecurangan Pemilu seharusnya tidak dikhawatirkan secara berlebihan, Presiden SBY sendiri sudah menghimbau agar Bawaslu maupun masyarakat turut berpartisipasi dengan melakukan pemantauan di lapangan, dan bila menemukan adanya permasalahan ataupun pelanggaran agar segera melaporkanya ke pihak terkait. Tidak ada alasan juga untuk mencurigai lembaga intelijen terlibat dalam manipulasi hasil Pemilu. Dalam setiap kegiatan yang bersifat sangat strategis seperti Pemilu, kelompok yang berseberangan dengan pemerintah pasti akan berupaya menunjukan eksistensinya untuk melakukan upaya-upaya yang berpotensi mengganggu jalanya Pemilu.

Terkait gangguan tersebut, aparat intelijen harus mampu mendeteksi sehingga dapat memberikan pencegahan dini. Dari sisi intelijen, BIN harus mencari tahu siapa mereka dan potensi apa saja, dan selanjutnya mereka itu menjadi ancaman atau tidak terhadap pelaksanaan Pemilu. Pada sisi inilah sebenarnya aparat inteleijen bermain, mendeteksi setiap ancaman yang dapat menganggu jalanya Pemilu, dan bukan pada upaya melakukan kecurangan terhadap hasil Pemilu seperti yang dicurigai berbagai pihak. Namun demikian, keberhasilan pengamanan Pemilu tidak berpusat pada aparat keamanan saja, tetapi penyelenggara Pemilu, Pengawas Pemilu, dan partisipasi masyarakat serta peserta Pemilu juga harus membantu aparat secara optimal.

Potensi Kecurangan Pemilu

Kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu bisa dilakukan melalui berbagai proses, permasalahan yang sampai saat ini masih belum tuntas dan ditemukan hampir di setaip daerah adalah, soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di lapangan juga ditemui ada banyak problem logistik seperti gudang tak siap, pengiriman berlebihan, atau justru pengiriman kurang.Hal itu masih ditambah fakta lainnya bahwa proses pencetakan dan distribusi logistik seperti surat suara dan formulir penghitungan suara (C1) praktis tak terawasi. Logikanya setiap perusahaan percetakan selalu mencetak lebih, kelebihan cetak itu dikemanakan.

Kecurangan lain ada di proses rekapitulasi di tingkat Kecamatan dan Kabupaten, yang juga kurang diawasi. Apabila diasumsikan kelompok yang ingin membuat curang sudah berhasil memanipulasi DPT, mendapat surat suara dan formulir C1 berlebih, mereka hanya tinggal mengganti kotak suara. Dan pengawasan untuk kotak suara sendiri sangat lemah.

Permasalahan lain bisa juga terjadi di KPU Pusat sendiri, dan seandainya diketahui ada oknum KPU daerah yang terlibat kecurangan, pimpinan akan cenderung membela hasil kerja bawahannya itu. Kalaupun mau diproses, harus menunggu DKPP dan tentunya butuh waktu sedangkan proses perhitungan suara tetap jalan.

Karena begitu besarnya potensi kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang seperti disebutkan diatas, sangat diharapkan semua pihak yang terlibat tetap bersikap netral. Aparat keamaman, TNI/Plri dan intelijen harus tetap bersikap netral. Netralitas intelijen sendiri sudah pernah diperlihatkan pada saat pemeringtahan Megawati SP. Meski Kepala BIN pada waktu itu adalah kader PDI Perjuangan, namun dalam Pilpres putaran kedua Megawati mengalami kekalahan. Itu menjunjukan bahwa lembaga intelijen sudah pernah menunjukan sikap netralitsnya dalam Pemilu di era reformasi. Penulis juga yakin, pada Pemilu 2014 nanti aparat intelijen akan menjunjukan sikap netralnya.

Kita semua tidak menginginkan peristiwa yang terjadi pada Pemilu tahun 2000 di Peru, dimana Presiden Alberto Fujimori menggunakan kepala intelijen Peru (SIN) untuk melakukan intimidasi, penyuapan kepada pemimpin parpol dalam suatu operasi, terjadi disini.

*) Penulis adalah peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD) Jakarta

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com